Berkumpul dan Berlatih dalam Jaringan


Tidak pernah tebersit dalam pikiran kita bahwa terdapat pandemi yang berdampak global dan menghentikan hampir semua langkah kita, termasuk aktivitas relawan Tzu Chi. Di masa ini para relawan tidak bisa berkumpul seperti sebelumnya, namun akhirnya mendapat jalan keluar melalui kemajuan teknologi.
*****

“Dengan adanya pandemi ini membuat kita hening dan merenung kembali, memberi kita pelajaran besar agar kita berpikir kembali apa yang semestinya kita lakukan di masa mendatang. Hendaknya kita bisa merenung dan sadar,” tutur Liu Su Mei, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia pada sesi pelatihan relawan secara online tanggal 30 Mei 2020

De Chen Shifu yang mengisi materi pada hari itu juga berpesan, “Dengan kemajuan teknologi yang dimanfaatkan dengan bajik maka di situlah ruang pelatihan kita. Master (Cheng Yen) mengimbau agar pandemi ini dijadikan pelajaran besar bagi kita, menyerap Dharma ke dalam batin dan praktikkan dalam tindakan nyata. Pertobatan besar, berdoa dengan tulus, bervegetaris, adalah obat mujarab menghadapi pandemi ini,” tegas De Chen Shifu meneruskan pesan Master Cheng Yen kepada seluruh relawan Tzu Chi Indonesia.

Terhitung sejak hari itu, Sabtu 30 Mei 2020, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia telah mengadakan 5 kali pelatihan relawan Tzu Chi seluruh Indonesia. Melalui aplikasi Zoom dan Youtube, para relawan menembus dimensi ruang dan waktu untuk mengikuti pelatihan. Persiapan panitia dibalik itu pun tidaklah mudah.

“Ada saja kendala karena sulit berkumpul di masa pandemi ini, jadi kami lebih banyak meeting melalui online, bahas materi, rundown. Kendala lain, tidak semua relawan mengerti tata cara pertemuan online, jadi kita edukasi lagi. Secara koneksi (internet) juga tidak semuanya seragam, belum lagi masalah biaya, harus beli pulsa, ini juga suatu beban buat relawan,” ujar Haryo Suparmun, Wakil Ketua Pelatihan Relawan Tzu Chi Indonesia.

Pekerjaan panitia di balik layar juga cukup menantang, terutama menyiapkan beberapa ruang virtual sekaligus. Karena satu ruang hanya menampung 500 partisipan, sedangkan peserta selalu di atas 700, belum lagi pemisahan ruang khusus bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia.

“Itu juga satu tantangan ya, bagi kita itu relatif hal baru. Lalu audionya juga, pencahayaan buat MC dan pembicara, itu semua kita testing dulu. Terus terang panitia tidak pengalaman, jadi kita belajar,” ungkap Haryo. Akhirnya dibentuk satu tim khusus yang selanjutnya bertanggung jawab menangani broadcast dan lainnya secara teknis.

“Masalah absensi juga ada tantangan sendiri, karena banyak yang gaptek, tidak ngerti cara mengetik, jadi akhirnya kami memperbolehkan relawan di komunitasnya yang lebih ngerti untuk bantu,” ujar Haryo.

Dari sisi persiapan materi juga ada tantangan tersendiri, karena sebagian materi diambil dari Taiwan. “Terus terang itu juga kendala, karena banyak relawan kita yang tidak mengerti mandarin, apalagi pembicara Taiwan ngomongnya cepat sehingga translatenya itu kadang tidak keuber (terkejar), juga ada gangguan terputus koneksi. Akhirnya kita tidak Live lagi dengan Taiwan, kita tetap ambil materi Taiwan tapi pilih yang bagus, kemudian sudah dubbing jauh hari sebelum training,” jelasnya.

Belajar Bersama di Komunitas

Agar relawan seluruh Indonesia dapat berkumpul dan berlatih dalam jaringan, Haryo Suparmun beserta tim melakukan adaptasi dan tak jarang menemukan hal-hal baru yang cukup menantang dan solusinya.

Di samping pelatihan yang diadakan kantor pusat, tiap komunitas juga mengadakan BB (Belajar Bersama) secara rutin. Topik BB diambil dari Lentera Kehidupan, Master Cheng Yen Bercerita, Sanubari Teduh, dan topik menarik lainnya yang berhubungan dengan belajar Dharma dan menumbuhkan kebijaksanaan.

“Sebenarnya BB ini kan sudah ada dari dulu, hanya menggantikan saja lokasinya dari darat menjadi udara (online). Tapi bagusnya dengan adanya teknologi, jumlah peserta BB ini jadi lebih banyak, mungkin biasanya dalam satu komunitas hanya 20-30 orang, sekarang bisa mencapai 70 orang. Kalo topiknya menarik bisa mencapai 100 orang,” jelas Haryo.

Selain pelatihan internal relawan, juga ada pertemuan online bersama masyarakat umum. Sejak tanggal 27 Juni 2020, diadakan Tzu Chi Talks setiap hari Sabtu, dan rata-rata dihadiri 300 partisipan.

“Kita terpikir sudah lama sekali tidak mengkomunikasikan program-program dari Tzu Chi Indonesia dengan semua orang, termasuk relawan, donatur, dan masyarakat umum. Maka topik-topik dari Tzu Chi Talks itu lebih umum, berhubungan dengan isu terkini, misalnya pembelajaran jarak jauh, menghadapi covid, mengenai kesehatan, itu sangat diminati,” ujarnya. Haryo sendiri mengisi Opening Remarks di setiap sesi Tzu Chi Talks. Kesibukan pekerjaan dan kegiatan Tzu Chi membuatnya pernah melakukan pertemuan virtual hingga 9 kali dalam sehari.

Menghirup Keharuman Dharma
Selama pandemi ini, relawan juga rajin mengikuti Xun Fa Xiang (Menghirup Keharuman Dharma), yaitu mendengarkan ceramah pagi dari Master Cheng Yen secara Live dari Taiwan jam 04.20 WIB, yang isinya membahas Sutra Bunga Teratai. Juga ada sesi Xun Fa Xiang (XFX) di jam 06.40 WIB yang sudah ada subtitle Indonesia. Adalah Januar Tambera Timur dan Shu Tjeng beserta tim relawan Tzu Chi Medan di balik subtitle ini.

Sejak pandemi, XFX Medan yang sedianya diadakan di Jing Si Books & Café Medan pun berpindah ke ruang virtual. Dan karena online maka relawan dari berbagai kota di Indonesia juga dapat berpartisipasi.

“Kita mulai kerja pada jam 4 pagi, jam 04.20 WIB Master (Cheng Yen) mulai ceramah. Jam 04.20 Shu Tjeng Shixiong akan menerjemahkan langsung. Tapi naskah Sutra disiapkan terjemahannya sehari atau beberapa hari sebelumnya,” terang Januar yang mempelopori kegiatan XFX di Medan.

Menurut Januar, tidak mudah untuk menerjemahkan naskah sutra dan penjelasannya, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Mandarin kuno yang sulit dimengerti. Bagian yang sulit ini menjadi tanggung jawab Januar yang sudah berpengalaman menerjemahkan Lentera Kehidupan sejak tahun 2006.

Ibarat peramal cuaca, Januar juga menggunakan cara yang sama yaitu melihat data. “Jadi kita melihat data-data dari buku referensi yang dipakai Master. Buku pertama, yang paling banyak dipakai Master adalah Penafsiran Kalimat Demi Kalimat Sutra Teratai [法華經句解] yang ditulis oleh Master Wen Da dari Dinasti Song. Kedua adalah Ikhtisar Sutra Teratai [法華經大成] oleh Master Da Yi dari Dinasti Qing, dan buku ketiga Catatan Penjelasan Sutra Teratai [法華經講演錄] oleh Mahabhiksu Tai Xu,” ungkap Januar.


Kegiatan Xun Fa Xiang Tzu Chi Medan yang sedianya diadakan di Jing Si Books & Café Medan (foto kanan) berpindah ke ruang virtual. Dan di balik itu, Januar Tambera Timur (kiri) dan Shu Tjeng (kanan) bertanggung jawab sebagai penerjemah.

Dari naskah sutra dan penjelasan yang sudah disiapkan itu, Januar akan mencocokkan lagi dengan catatan tangan Master Cheng Yen yang biasanya tampil di awal ceramah. Hasil terjemahan Januar ini lalu diteruskan ke Shu Tjeng yang kemudian membaca dan menghafal semua kosakatanya, sehingga sudah lancar saat membuat subtitle di pagi itu.

Shu Tjeng awalnya tidak mengerti bahasa Mandarin maupun bahasa Taiwan Master Cheng Yen, karena suatu jalinan jodoh sepulangnya dari Taiwan, ia pun bertekad memperkaya diri dengan Dharma melalui XFX. Karena memegang tanggung jawab di kegiatan XFX maka ia mencari cara bagaimana memahami ucapan Master Cheng Yen. Dari teks Mandarin, Shu Tjeng mencari sendiri arti dari istilah-istilah tersebut dan dikumpul dalam satu file.

“Saya kumpulkan, sekarang sudah ada ribuan kata, bahkan sekarang sudah tidak perlu lihat itu lagi, karena setiap hari mendengar, ulang-ulang melihat kata itu, otomatis terukir dalam batin saya,” kata Shu Tjeng.

Kemajuan di Dalam Dharma
“Dari Taiwan meminta kita tetap menyerap Dharma selama masa pandemi. Yang saya lihat XFX ini semakin banyak partisipannya. Sekarang ini hampir semua relawan jadi sangat familiar dengan yang namanya Sutra Teratai, ini suatu hal yang sangat bagus. Jadi dampaknya dalam beberapa bulan ini sangat besar. Ditambah lagi dengan beberapa kali review oleh Shu Tjeng yang mengupas dari Bab 1. Juga ada sesi rutin dari Si Hao Shixiong setiap hari Kamis,” tukas Haryo.

Haryo menilai sharing Si Hao sangat original dan diminati relawan, pasalnya Si Hao adalah Qing Xiushi yang setiap hari ada di lingkungan Griya Jing Si dan dekat dengan Master Cheng Yen sehingga tahu akan kegiatan beliau dan juga para shifu di sana.

Sharing Si Hao ini sebenarnya sudah masuk tahun ketiga, isinya mengupas lebih rinci dan detail mengenai pembabaran Sutra Teratai oleh Master Cheng Yen selama satu minggu itu, sehingga lebih mudah dipahami. Awalnya sesi sharing ini diadakan di kantor yayasan di Tzu Chi Center Jakarta, namun sejak pandemi semua relawan mengikuti secara online dari rumah masing-masing, partisipan pun rata-rata mencapai 300 orang.

“Efeknya, sekarang semua orang jadi makin pengen tahu, makin pengen banyak belajar mengenai Sutra Teratai. Dengan adanya pertemuan-pertemuan online ini, saya juga merasa para relawan jadi lebih saling mengenal dan lebih dekat dengan relawan dari berbagai kota,” kata Haryo.

Harapan Haryo, dengan adanya kelas-kelas online di masa pandemi ini, para relawan tetap bisa mengikuti perkembangan Tzu Chi, dan yang paling penting adalah batin bisa terjaga dengan baik sehingga kesehatan fisik juga tetap baik.

Penulis: Erli Tan, Fotografer: Dok. Tzu Chi Indonesia
Hanya orang yang menghargai dirinya sendiri, yang mempunyai keberanian untuk bersikap rendah hati.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -