Elly Widjaya
Menemukan Kebahagiaan Sejati Setelah Membuka Diri


Pada 24 Mei 1979, saya menikah di Medan dan dikaruniai tiga anak: dua laki-laki dan satu perempuan. Saat menikah kondisi ekonomi kami bisa dibilang serba berkecukupan dan harmonis, serta dikelilingi anak-anak yang baik. Di tahun 2005, prahara pun datang mengguncang kehidupan rumah tangga kami. Entah mengapa tiba-tiba mulai tidak ada komunikasi yang terjalin antara saya dan suami.

Pada tahun 2006, saya memutuskan pindah ke Jakarta, menemani anak-anak yang saat itu bekerja di sana. Kala itu saya merasa tidak ada yang salah di antara kami dan tetap berharap dapat kembali lagi bersama. Dalam kondisi pikiran yang kalut, saya mencoba menyibukkan diri dan mencari ketenangan. Kebetulan saat itu saya tinggal bersama anak-anak di Tanjung Duren dan dekat dengan Wihara Ekayana. Di sana saya ikut menjadi relawan yang membagikan buku kepada umat dan merapikan tempat duduk. Kondisi saya yang tidak bekerja saat itu membuat saya memiliki banyak waktu luang sehingga dapat datang setiap hari ke wihara. Saya juga  belajar membaca Sutra hingga dapat menghafalnya.

Namun usaha saya menyibukkan diri ini belum juga berhasil membuat saya tenang. Saya sering bertanya dalam hati mengapa hal ini terjadi, mengapa saya harus memulai dari nol lagi. Kerisauan dan ketidakpuasan masih terus membayangi hati.

Cahaya itu Kembali Bersinar

Pada akhir tahun 2008, kakak saya datang ke Jakarta dan mengajak saya berkunjung ke rumah teman lamanya: Xia Ling. Saat kami berbincang, Xia Ling bercerita bahwa ia adalah relawan Tzu Chi. Saya langsung merasa tertarik saat mendengar ceritanya meski saat itu hanya sebatas tahu bahwa Tzu Chi adalah sebuah yayasan sosial. Oleh karena itu pada November 2008, saya mengikuti sosialisasi Tzu Chi di ITC Mangga Dua. Sejak itu saya pun mulai membagi waktu antara aktif di wihara dengan di Tzu Chi.

Kegiatan pertama yang saya ikuti adalah baksos kesehatan di Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat. Awalnya saya bingung dan tidak tahu apa yang saya lakukan hingga saya bertanya ke Lani Shijie yang saat itu menjadi koordinator dan diminta untuk membantu pasien mengenakan sepatunya setelah menjalani pemeriksaan. Saat itu saya berpikir, wah kerja relawan sampai seperti ini ya perhatiannya. Setelah itu semakin lama saya semakin aktif di Tzu Chi. Saya mengikuti berbagai kegiatan seperti survei kasus, Ai De Xi Wang (Kelas Budi Pekerti), bedah buku, pelestarian lingkungan, hingga shou yu (bahasa isyarat tangan).

Salah satu kegiatan yang sering saya ikuti adalah survei kasus. Melalui kegiatan ini saya melihat kondisi orang-orang yang ternyata hidupnya lebih susah dari saya. Waktu itu saya melihat banyak orang yang tinggal di pinggir rel kereta api dan beratapkan terpal plastik, saya pun berpikir walau masih sewa rumah, tetapi kondisi saya masih lebih baik dan tidak kehujanan. Saya yang tadinya merasa tidak puas karena harus memulai dari nol pun mulai belajar bersyukur.

Aktivitas saya di kegiatan Tzu Chi juga mendapat dukungan dari anak-anak. Ini karena mereka melihat perubahan saya yang awalnya murung dan terlihat tidak puas kini menjadi lebih bersemangat dan ceria.

Mengenal Master Adalah Jodoh yang Baik

Master Cheng Yen selalu mengingatkan kita bahwa apa pun yang kita lakukan saat ini, itulah yang akan kita terima di akhir nanti. Oleh karena itu saya merasa harus banyak menanam berkah, karena seperti yang Master Cheng Yen katakan, dalam kehidupan kita tidak hanya membaca Sutra saja, namun juga harus mendengar dan merenungkan Dharma, setelah itu kita harus mempraktikkannya. Pernah saya ingat sekali saat banjir besar melanda rumah saya dan saya merasa sangat sedih karena harus mengungsi. Saat itu saya membaca buku Master Cheng Yen yang saya bawa, dan saya tersadarkan sebenarnya masih banyak bencana di dunia ini yang lebih besar selain banjir. Oleh karena itu, jika banjir datang saya menerimanya dengan hati lapang dan tidak merasa risau lagi.

Pada akhir tahun  2011 saya diberi tahu jika akan dilantik menjadi calon komite Tzu Chi. Saat itu saya merasa belum siap mengemban tanggung jawab dan belum pantas sehingga saya terus menolak mengikuti training pertama calon komite. Hingga akhirnya Elly Chandra, salah satu calon komite lainnya mengatakan bahwa  yang penting saya ikut training dulu, masalah dilantik atau tidak itu urusan nanti. Mendengar perkataan Elly Chandra, saya lalu memutuskan mengikuti training. Setelah mengikuti training saya tersentuh membaca satu kalimat dari salah satu pengisi sharing tentang menjadi murid teladan yang Master Cheng Yen impikan. Saat membaca kalimat tersebut saya tersentuh dan menangis. Sejak saat itu saya tidak ragu lagi untuk mengemban tanggung jawab dan mau menjadi murid sejati Master Cheng Yen.

Setelah dilantik dan disematkan pita yang bertuliskan “Hati Buddha Tekad Guru”, perasaan saya sangat senang luar biasa dan terharu. Saya merasa telah masuk seutuhnya ke dalam dunia Tzu Chi. Saya juga bertekad untuk terus mengikuti langkah Master Cheng Yen. Saya sekarang juga memiliki kebiasaan baru yakni mengikuti kegiatan Xun Fa Xiang (Menghirup Keharuman Dharma di Pagi Hari). Menurut saya mendengar Dharma sangat bagus untuk memupuk kebijaksanaan dalam diri. Tak lupa saya berpesan kepada insan Tzu Chi lainnya agar tidak takut memikul tanggung jawab dan mengerjakannya dengan hati yang tulus. Jika hati semua orang bersatu, maka misi-misi dan visi Tzu Chi agar masyarakat aman dan tenteram, serta dunia terhindar dari bencana akan terwujud.

Apa yang kita lakukan hari ini adalah sejarah untuk hari esok.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -