Hong Tjhin
Making Life Meaningful

“Di Tzu Chi, yang pertama, kita belajar untuk menghargai berkah yang sudah ada,” terang Hong Tjhin tentang perubahan dirinya setelah mengenal Tzu Chi....

Bagi lidah Indonesia, tidak mudah untuk mengingat dan mengucapkan namanya. Ketika sedang mengunjungi anak asuh Tzu Chi di Pati, Jawa Tengah pada April 2007 lalu, ia memulai kebiasaan itu. “Tikus apa yang kakinya dua?” ia bertanya kepada orang-orang yang berkumpul di Vihara Eka Dharma Loka, Desa Glagah. Ada beberapa orang yang mencoba menjawabnya, tapi tak ada jawaban yang tepat. Akhirnya ia pun menjawab sendiri pertanyaan tersebut, “Mickey Mouse.” Lalu, ia bertanya lagi, “Kalau bebek yang kakinya dua, apa?” Kali ini, orang-orang menjawab serempak, ”Donald Bebek.” Ia segera menimpali, ”Salah.. Semua bebek kakinya dua.” Orang-orang pun tersenyum menyadari kekeliruan mereka.

”Mickey Mouse dan Donald Bebek,” ia menambahkan, ”yang paling dekat dari sini ada di Hong Kong (Disneyland -red). Kalau ingat nama saya ingatlah Hong Kong, tapi belakangnya diganti Tjhin, Hong Tjhin.” Begitulah cara Hong Tjhin memperkenalkan diri. Kesibukan laki-laki kelahiran Semarang, 14 Januari 1967 bernama lengkap Tjhin Hong Ling itu kini sedang mencapai puncaknya. Sebagai Direktur DAAI TV Indonesia, sebuah stasiun televisi milik Tzu Chi, yang pada bulan Agustus – September 2007, mulai mengudara di Jakarta pada channel 59 UHF setelah sebelumnya pada tanggal 30 Juni 2007 telah mengudara di Medan pada channel 51 UHF. Namun kesibukannya tersebut tidak menghilangkan derai tawanya yang lepas, salah satu ciri yang mudah diingat dari dirinya.

Benchmark Cinta Kasih
Tahun 1998, Indonesia mengalami resesi ekonomi dahsyat yang berujung pada kerusuhan massal pada bulan Mei. Kerusuhan tersebut makin memperburuk keadaan. Grup Sinarmas, tempat Hong Tjhin bekerja, berupaya ikut peduli terhadap penderitaan masyarakat. Mereka akhirnya memilih untuk bergabung dengan Tzu Chi yang membagikan 100 ribu paket sembako. Karena saat itu jumlah relawan Tzu Chi masih terbatas, karyawan Sinarmas dihimbau untuk membantu. Hong Tjhin adalah salah satunya. “sinarmas punya cara sendiri, Tzu Chi juga punya cara sendiri. Butuh waktu 3 bulan hanya untuk membuat modul pembagian beras ala Tzu Chi,” kenang Hong Tjhin tentang awal keterlibatan dirinya, dan juga Sinarmas, dengan Tzu Chi.

Meskipun telah mulai terlibat dalam aktivitas Tzu Chi, namun ia masih belum memahami Tzu Chi sampai akhirnya ia bersama sekitar 500 relawan lain dari Sinarmas mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang Tzu Chi, barulah ia mulai mengerti. Ikut langsung melakukan survei dengan relawan Tzu Chi yang sudah lebih dulu bergabung membuatnya semakin memahami Tzu Chi. “Yang menarik dari Tzu Chi adalah punya prinsip-prinsip dasar dalam memberikan bantuan. Memberikan sesuatu yang layak, memberikan sesuatu dengan rasa hormat. Menghargai dan menghormati. Kita yang memberi, kita yang berterima kasih,” jelas laki-laki yang sejak SMA hingga pascasarjana menempuh pendidikan di Amerika Serikat ini. Atasannya sekarang, Franky O. Widjaja, yang juga Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia memberinya sebuah analogi. “Pak Franky bilang kalau di dalam agrobisnis, Sinarmas Agrobusiness adalah benchmarknya. Di dalam berbuat baik, Tzu Chi adalah benchmarknya,” tutur Hong Tjhin.

Pemahaman Hong Tjhin terhadap Tzu Chi mengalami kemajuan selangkah lagi ketika Jakarta dilanda banjir besar pada tahun 2002. Tzu Chi membantu relokasi penduduk di bantaran Kali Angke yang terkena dampak banjir paling parah dan membantu Pemerintah DKI Jakarta menyediakan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. “Kalau bagi beras, setelah selesai ya sudah, tapi kalau Kali Angke itu kan proyek yang berkesinambungan karena sekarang pun masih jalan,” jelas laki-laki yang hobi membaca ini. Pikirannya bukan hanya tercurah agar program tersebut berjalan lancar, namun juga berpikir keras tentang apa yang Tzu Chi lakukan dimana dirinya terlibat di dalamnya. Ia mulai bertanya-tanya untuk apa semua itu dilakukan?

Ia juga menjadi berpikir tentang cara membagi waktu karena tanpa ia sadari waktu untuk berkumpul dengan keluarganya sangat tersita. Kehidupannya terbagi menjadi tiga, yaitu keluarga, pekerjaan, dan Tzu Chi. Kebetulan aktivitas Tzu Chi kebanyakan pada akhir pekan sehingga ia berinisiatif untuk mengajak istrinya, Tinnie Tiolani, untuk ikut dalam kegiatan Tzu Chi. Ternyata, dengan cara ini, ia tetap bisa beraktivitas di Tzu Chi tanpa kehilangan waktu bersama istri. Sejak saat itu pula Tinnie yang ia nikahi pada tahun 1999 mulai aktif menjadi relawan Tzu Chi dan kini lebih banyak terlibat di bidang pendidikan.

Mertua dan saudara iparnya pun sekarang juga telah menjadi relawan Tzu Chi, begitu juga dengan adiknya.

Berbagi Kebahagiaan
“Di Tzu Chi, yang pertama, kita belajar untuk menghargai berkah yang sudah ada,” terang Hong Tjhin tentang perubahan dirinya setelah mengenal Tzu Chi. “Saya rasa yang memperkokoh atau meletakkan pondasi saya tentang keyakinan di jalan Tzu Chi adalah dengan turun ke lapangan, survei kasus (pasien penanganan khusus -red),” Hong Tjhin mencoba menganalisa.

Ia lalu memberi contoh. Beberapa tahun lalu, di Tangerang, ia bertemu seorang pasien penanganan khusus, seorang pemuda yang baru berumur sekitar 30 tahun menderita kanker getah bening stadium akhir. Ketika Hong Tjhin dan relawan Tzu Chi hendak pulang, pemuda tersebut merengkuh tangannya dan menahan kakinya. “Pak, saya masih muda, saya masih ingin hidup,” ratap pemuda itu memelas. Dengan berat hati Hong Tjhin dan relawan lain hanya bisa memberikan penghiburan, karena memang kanker pemuda tersebut sudah stadium akhir. Dan ternyata benar, sebulan kemudian pemuda tersebut menghembuskan nafas terakhir. “Kadang kita harus seperti dokter yang menyelamatkan pasien, tapi ada juga yang tidak bisa diselamatkan,” ujar Hong Tjhin pelan.

Bergabung di Tzu Chi menyebabkan Hong Tjhin makin menyadari bahwa hidup bukan hanya untuk diri sendiri atau keluarga, namun juga untuk membantu dan membimbing orang lain agar memahami arti kehidupan. “Sekarang aspirasinya untuk diri sendiri tidak macam-macam, dan lebih fokus memikirkan bagaimana agar lebih bermanfaat bagi masyarakat,” urainya. Walaupun sedari dulu ia bukan tipe orang yang banyak maunya, tidak neko-neko, kini ia menjadi lebih anteng menjalani hidup karena lebih memahami makna kehidupan. “Ini lho kehidupan yang sederhana tapi bermakna, tahu menghargai berkah, dan merasa puas. Setelah kita merasa puas, merasa bahagia, selanjutnya bagaimana membagi kebahagiaan kepada yang lain. Making life meaningful,” ujarnya berbagi pandangan hidup.

Berharganya Waktu
Ketika tsunami menghantam Aceh 26 Desember 2004 lalu, Hong Tjhin bersama beberapa relawan Tzu Chi telah menjejakkan kaki di sana tanggal 28 Desember. Awan gelap bencana begitu tebal yang melingkupi Aceh ketika itu menekan mental siapa saja, bukan hanya para korban, namun juga para relawan dari berbagai organisasi dan negara yang berduyun-duyun datang mengulurkan bantuan. “Dalam sekejap mata, ketidakkekalan sangat nyata,” ujar Hong Tjhin. Sebuah pelajaran kehidupan begitu terbentang, betapa rapuhnya kehidupan. “Kita menjadi sadar bahwa segala sesuatu tidak kekal dan hidup itu pendek. Sekarang (saya menjadi) lebih bisa menghargai waktu. Dalam waktu yang sangat terbatas, what can we do?” imbuhnya.

Keterlibatan Tzu Chi dalam bantuan bagi korban tsunami tersebut mengilhami Tzu Chi untuk membentuk tim bantuan tanggap darurat. “Saya ikut mengimplementasikan kebijakan Tzu Chi tentang bantuan darurat,” kata Hong Tjhin. Seringnya ia terlibat dalam tim tanggap darurat membawanya menjadi pelaksana tim tanggap darurat.

“Intinya bukan tanggap darurat semacam SAR (Save and Rescue), tapi bagaimana mengimplementasikan prinsip-prinsip Tzu Chi, yaitu bagaimana memberikan bantuan secara langsung, memberikan bantuan dengan cinta kasih, menghormati penerima bantuan, dan lain-lain,” jelasnya.

 

Konsep tentang tanggap darurat Tzu Chi yang ideal tersebut ia temui ketika ia menjadi bagian dalam bantuan tanggap darurat gempa bumi di Pakistan pada Oktober 2005. Selama 9 hari ia harus naik turun daerah yang berbukit untuk menyalurkan bantuan bersama relawan Tzu Chi dari Taiwan, Yordania, Turki, dan Malaysia. Menurutnya, jarak antar wilayah yang terkena bencana sangat jauh sehingga penyaluran bantuan logistik menemui banyak hambatan. Berat badannya sampai berkurang hingga 5 kg. “Elevasinya tinggi sehingga gampang kehabisan nafas,” terangnya.

Di sana yang dibutuhkan waktu itu adalah tenda, tapi produksi tenda di seluruh Pakistan tidak mencukupi dan telah dipesan oleh militer. Tantangannya adalah bagaimana mendapatkan tenda di luar yang diproduksi di Pakistan. Menggunakan pesawat pasti mahal, dan pasti memakan waktu lama. Untuk mengirim selimut saja tertunda terus, apalagi untuk mengirim tenda yang lebih berat, sementara jalur darat tertutup. “Jadi, di sana, kerjaan kita siang hari naik turun gunung, malamnya mikir jalur logistik. Gudang dan trasportasi harus dipikir sendiri,” jelas Hong Tjhin.

Yang meninggalkan kesan mendalam bagi Hong Tjhin adalah selain kerja sama tim, masyarakat setempat menerima kehadiran Tzu Chi dengan sangat terbuka. Mereka tahu bahwa Tzu Chi datang jauh-jauh untuk membantu. “Di situlah makna kita satu keluarga di dunia benar-benar terasa,” ujarnya.

Posko Tzu Chi berada agak di ujung belakang komplek PBB, tapi para korban lebih memilih posko Tzu Chi untuk berobat. Ternyata, ada nilai plus yang diberikan oleh Tzu Chi kepada para korban. “Kita lebih welcome, lebih manusiawi, lebih mau ngomong padahal mesti pakai penerjemah. Dokter lain hanya pengobatan, sedangkan dokter kita bisa menjadi teman bicara juga. Pada waktu itu 70% korban hanya butuh pengobatan yang simpel, tapi mereka butuh teman bicara. Kalau tidak, (mereka) bisa stres, terutama orang-orang tua. Jika tidak (diajak bicara), mereka akan trauma,” jelasnya panjang lebar.

Dari situlah ia menjadi benar-benar memahami konsep tanggap darurat yang dijalankan Tzu Chi. “Tanggap darurat ala Tzu Chi yang terpenting adalah budaya kemanusiaan. Bantuannya penting, tapi itu hanya alat. Bagaimana kita bisa memberikan bantuan dengan tepat, memberikan perhatian dan menyemangati mereka dengan suatu kehangatan adalah hal yang bermakna dengan tetap menghormati budaya setempat,” ia menyimpulkan.

Februari 2007, ketika banjir besar melanda Jakarta, Hong Tjhin juga terlibat dalam pemberian bantuan, namun ia sudah bukan lagi menjadi pelaksana tanggap darurat karena ia ingin berkonsentrasi menjalankan tugas barunya yang tidak kalah menantang sebagai Direktur DAAI TV Indonesia meskipun sebenarnya ia lebih menyukai turun langsung dalam pemberian bantuan.

Mendidik Masyarakat Melalui DAAI TV
Masih muda tapi memiliki karier cemerlang, keluarga bahagia, dan aktif berbuat kebajikan, apalagi yang dicari oleh Hong Tjhin? “Bisa menghargai dan bagaimana menggunakan berkah tersebut menjadi berkah orang lain, masyarakat Indonesia, dan segenap makhluk hidup,” jawabnya.

Sekitar 5 tahun lalu, Wang Ying-jin, kepala sekretariat kantor pusat Tzu Chi di Hualien, Taiwan, pernah menanyakan hal serupa kepadanya. “Waktu itu saya berpikir untuk bersumbangsih kepada masyakat Indonesia dalam hal pendidikan dengan membangun sekolah, bukan hanya pendidikan yang mengajarkan pengetahuan, namun juga yang mengajarkan dasar-dasar budi pekerti,” kenang Hong Tjhin. Tapi bukan melalui sekolah akhirnya ia mewujudkan keinginan mulia tersebut. Jalan yang kemudian ia jalani secara sepintas sepertinya tak ada kaitannya, namun justru sebenarnya lebih memiliki banyak kemungkinan. Jalan tersebut bernama DAAI TV Indonesia.

Tahun 2004, Hong Tjhin bersama relawan Tzu Chi Indonesia lainnya, pergi ke Hualien, Taiwan untuk menyampaikan country report kepada Master Cheng Yen. Salah seorang relawan, Michael Lee, mengusulkan program bercocok tanam bagi masyarakat plural, di luar kota bagi masyarakat Indonesia. Dasar pemikirannya karena Indonesia adalah negara agraris sehingga jika Tzu Chi hendak membantu mencerahkan Indonesia, aspek yang perlu dibantu adalah ekonomi yang di bawah garis kemiskinan harus diangkat. Pelaksanaannya adalah dengan membantu bibit, teknologi pengolahan, teknologi panen, hingga teknik pemasaran. Setelah mendengar paparan rencana tersebut, Master Cheng Yen memberi penekanan pada aspek sumber daya yang mengerjakan dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. “Menurut beliau, problem di Indonesia bukan masalah bagaimana caranya untuk bercocok tanam, melainkan cara berpikir,” kata Hong Tjhin. Untuk mengubah cara berpikir itu salah satunya adalah dengan media, khususnya televisi. Pada waktu itulah ide tentang pendirian DAAI TV di Indonesia mulai digulirkan.

Ide ini makin diperkuat oleh presentasi Eric Yao, direktur Da Ai TV Taiwan waktu itu yang berargumen bahwa media adalah sesuatu yang penting bagi masyarakat, terutama dalam memberikan arahan cara berpikir yang positif.

Ide tersebut tak perlu terlalu lama mengapung karena sejak Oktober 2005, tim dokumentasi Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia mulai membuat tayangan untuk ditayangkan di Da Ai TV Taiwan. Yang pertama adalah Berita ASEAN. Itulah cikal bakal hingga akhirnya ide mendirikan DAAI TV Indonesia benar-benar direalisasikan. Awalnya Hong Tjhin lebih banyak terlibat di pengurusan izin pendirian, namun sejak Mei 2006 ia dipercaya menjadi Direktur DAAI TV Indonesia.

Menjadi direktur sebuah stasiun televisi bukan berarti Hong Tjhin kehilangan idealisme dalam bidang pendidikan. “Kalau satu sekolah, murid hanya seratus dua ratus, maka DAAI TV adalah pendidikan bagi masyarakat yang mungkin bisa menjangkau ratusan ribu (orang),” jelasnya.

Meskipun menjadi seorang direktur televisi, Hong Tjhin mengaku tidak banyak menghabiskan waktu di depan layar TV. “Saya jarang nonton TV karena acaranya begitu-begitu saja,” ia beralasan. Tak banyak acara TV yang ia tonton. Ia hanya menyebut MetroTV, CNN, BBC, Al Jazeera, National Geographic, atau Discovery Channel sebagai saluran TV yang masih ia tonton. Itu pun menurutnya ia menontonnya hanya sepotong-sepotong. “Saya menonton TV rata-rata sekitar 1,5 jam,” ujarnya. Tontonan favoritnya adalah berita dan feature. “Saya nonton talk show bukan karena enjoy, tapi untuk mengerti tastenya,” ia menambahkan. Maklum, bersama Chia Wen-yue, relawan yang juga tercatat sebagai karyawan Grup Sinar Mas, Hong Tjhin menjadi host Meniti Harapan, sebuah talk show di DAAI TV yang membahas tentang Kali Angke dari berbagai sudut.

Dari dulu Hong Tjhin memang tidak banyak menghabiskan waktu di depan layar kaca. Mungkin karena kesibukan begitu menyita waktunya, atau mungkin karena acara-acara TV, terlebih di Indonesia, kurang mendidik dan hanya menjual impian. “Tanpa maksud menegatifkan mereka, kenyataannya program-programnya cenderung untuk ikut-ikutan. Mungkin karena desakan komersial,” ucapnya. Ironisnya, pemirsa televisi di Indonesia tergila-gila dengan tayangan yang mengandung kekerasan, menjual mimpi, ataupun sensasi tersebut. Gayung pun bersambut karena stasiun televisi berlomba-lomba untuk meraup ceruk pasar tersebut agar tidak ditinggal pengiklan. Jika di dalam setiap keluarga setiap hari disuguhkan tayangan-tayangan seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana masa depan bangsa ini. Karena alasan inilah DAAI TV perlu hadir di Indonesia. “Untuk membangun masyarakat yang baik, hal-hal positif dalam setiap manusia, dalam setiap keluarga perlu diulas juga. Dibangkitkan dan diberikan contoh bahwa hal positif ada juga di diri kita dan layak untuk ditayangkan supaya menjadi contoh yang baik. Dengan adanya kebutuhan bahwa media elektronik, khususnya TV, menjadi suatu sarana pendidikan masyarakat ke arah yang lebih baik, atas dasar hal itu DAAI TV perlu hadir di Indonesia,” jelas Hong Tjhin.

DAAI TV telah secara resmi melebarkan sayapnya di Indonesia karena sejak tanggal 30 Juni 2007 lalu, DAAI TV Medan telah mengudara pada gelombang 51 UHF, sedangkan DAAI TV Jakarta yang mengudara pada gelombang 59 UHF telah dilakukan soft launching pada tanggal 25 Agustus 2007.

Hong Tjhin mengemukakan beberapa hasil survei yang menyatakan bahwa sebetulnya banyak pemirsa, khususnya ibu-ibu yang mempunyai anak, mendambakan hal-hal yang positif di layar kaca.

“Mereka juga menginginkan pada waktu anaknya menonton, mereka bisa biarkan dengan hati tenang. Bahkan kalau bisa ada tontonan yang bisa ditonton bersama-sama. Sekarang ini banyak yang was-was,” terang Hong Tjhin. Ia bisa berbicara seperti itu karena ia juga seorang ayah dari 3 anak yang masih kecil: Elia (7), Eisen (5), dan Elsen (4 bulan). Ia juga merasa was-was jika anak-anaknya menonton TV sendirian.

Menurutnya, yang membedakan DAAI TV dengan stasiun TV lain adalah DAAI TV memfokuskan kepada kebaikan mendasar yang ada pada setiap orang dan nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat, serta kebaikan yang ada di Indonesia, misalnya gotong royong, tata krama, peduli terhadap orang lain, dan lain-lain. Ada 3 prinsip utama yang dipegang: kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Kebenaran berarti setiap tayangan selalu berdasarkan kisah yang nyata, termasuk untuk sinetron. Kebajikan berarti tayangannya tidak hanya mengulas dan memberitakan, tapi juga membina dan membimbing. Sedangkan keindahan berarti selain enak ditonton, namun juga memberikan contoh yang baik bahwa dengan santun kita bisa membangun masyarakat yang baik.

Hong Tjhin sadar bahwa bukanlah tugas mudah untuk memimpin stasiun televisi yang justru melawan arus yang sedang trend di dunia pertelevisian. “Kita sedang menciptakan gaya baru yang tersendiri,” begitu ia mengistilahkannya. “Kalau kita mengemas dengan baik dan alur ceritanya juga dirancang dengan baik, ada hal-hal yang menarik sebenarnya dari kehidupan sehari-hari karena dari kehidupan sehari-hari kita bisa belajar hal-hal yang berguna,” ujarnya yakin. Banyak hal yang Hong Tjhin merasa masih perlu pelajari dalam kehidupan agar hidupnya kian berarti bagi semua makhluk. Dan kini Hong Tjhin melakukannya di DAAI TV.

Seperti dituturkan kepada Sutar Soemithra
Foto: Dok. Tzu Chi

 

 

Mendedikasikan jiwa, waktu, tenaga, dan kebijaksanaan semuanya disebut berdana.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -