Like Hermansyah
Semua Berawal dari Tekad

Sama-sama menjadi supplier untuk Department Store Matahari, pertemanan Like Hermansyah dan Lulu awalnya terjalin biasa-biasa saja. Di tahun 1998. Mereka sempat berkomunikasi melalui telepon mengenai anak mereka yang hendak melanjutkan kuliah di luar negeri. Di satu perbicangan, topik obrolan mereka beralih tentang yayasan sosial. “Kita sempat ngobrol-ngobrol, waktu itu kita sama-sama mencari sebuah yayasan sosial karena kita dasarnya seneng dengan sosial,” tutur Like. Belum lama sebelumnya mama Lulu sempat menerima pendampingan dari sebuah yayasan di Amerika Serikat. Menurut kabar, yayasan tersebut juga memiliki cabang di Indonesia. “Dia mau cari, saya bilang ‘Ya deh, nanti kalo udah dapet kasih tau saya’,” pinta Like pada Lulu saat itu.


Alhasil, yayasan yang dimaksud Lulu adalah Yayasan Buddha Tzu Chi. Di tahun 1998 juga, saat kerusuhan massal merebak, Like masuk dan bergabung di Tzu Chi. Partisipasi awalnya saat survei pembagian kupon dan sembako di daerah Kapuk, Jakarta Barat. Walau saat itu, Like sebenarnya sibuk sekali dengan usahanya. ia tetap menekadkan diri terjun.


Yang Penting Bilang ”Iya” Dulu

Pertama kali mengunjungi kantor Tzu Chi yang saat itu berlokasi di Kelapa Gading tiada banyak kesan yang Like rasakan. Baru saat kantor Tzu Chi di lantai 5 ITC Mangga Dua Jakarta, ia mulai sering diajak meeting oleh Lulu. Saat itu pun, ia belum memiliki kesan apa-apa. “Kayaknya just do it aja yah,” jelas Like. Awal-awal bergabung, Like lebih banyak menghabiskan waktunya turun ke lapangan, melakukan survei pembagian kupon, pembagian beras, dan mengikuti. Kesan pertamanya mengikuti Tzu Chi adalah happy. “Kalo nggak tidak mungkin saya bertahan sampe saat ini,” ujarnya beralasan.

Sebagai orang lapangan dan suka bekerja, Like lebih banyak berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Ia mulai beradaptasi dengan peraturan di Tzu Chi. “Awalnya sih ada kesannya gini kok pake seragam, macem-macem amat. Udah pake seragam rambut juga mesti diiket. Kayaknya ga leluasa banget. Kita mau kerja sudah bagus, kok masih banyak peraturan,” tukasnya. Tetapi karena ia termasuk orang yang mau belajar dan sering pula berdiskusi dengan Lulu, ia pun dapat menerima budaya Tzu Chi tersebut. Saat itu, relawan Tzu Chi tidaklah sebanyak saat ini. Dan karena Like tipe orang yang aktif maka ia tak kekurangan pekerjaan. “Jadi saya bisa cari kerjaan,” paparnya.

Karena terus-menerus berkutat dengan kerja lapangan, Like menyadari pemahamannya dalam hal Dharma Master Cheng Yen sedikit sekali. Baru sejak 2-3 tahun terakhir, saat Ji Shou Shixiong dari Malaysia datang, Like sering mengikuti diskusi yang membahas Dharma Master Cheng Yen melalui bedah buku. Dari situlah pemahamannya terus meningkat ditambah lagi dengan mulai dijalankannya konsep 4 in 1 (pembagian relawan komunitas dalam fungsi He Xin, He Qi, Hu Ai, Xie Li) di Tzu Chi. Sebagai Ketua He Qi, mau tak mau ia harus mulai belajar memahami Tzu Chi dan mendampingi relawan di lapangan. “Tidak lagi belajar kerja lagi, kalau sekarang setidak-tidaknya (saya) harus baca lebih banyak,” kata Like yang memang punya hobi bekerja ini. Hal lain yang membuatnya tertarik bergabung dengan yayasan sosial adalah usianya yang semakin bertambah. Sebelum bergabung dengan Tzu Chi, ia biasa melewatkan akhir minggu dengan berolahraga atau malah pergi dengan teman-teman untuk menikmati hidup. “Kalo sayanggak masuk Tzu Chi mungkin hari ini saya nggak tau gimana,” renungnya.

Sesungguhnya dengan kesibukannya mengurus bisnis konveksi, banyak alasan bagi Like untuk menolak terjun dalam dunia sosial. Namun ia sudah bertekad, ketika ada ajakan, maka ia akan menjawab ”iya” terlebih dahulu. Jika sudah mengiyakan, otomatis akan memotivasi dirinya untuk menepati janji. ”Boleh kata memaksa karena sudah mengiyakan jadi tidak enak jika harus membatalkan janji yang telah dibuat,” kata Like. Dari tekad ”iya” itulah, ia akhirnya betul-betul masuk menjadi relawan Tzu Chi.


Setelah beberapa lama aktif dalam kegiatan, Like terpilih menjadi Koordinator Relawan dan memegang tanggung jawab tersebut untuk waktu yang cukup panjang. Waktu itu, dalam rapat ia diminta oleh relawan lain untuk menjadi koordinator. ”Saya juga ngga ngerti jadi ketua relawan itu kerjanya apa,” akunya. ”Disuruh ya sudah gitu. Tanpa sadar ya jalanin aja. Yang pasti saat itu kalo dipikirin, bener-bener ngga mungkin dengan pekerjaan saya yang sangat sibuk,” pungkas perempuan kelahiran Singkawang ini. Like masih ingat jelas seorang shijiesempat membela dan menyampaikan bahwa Like akan kesulitan kalau harus menjadi koordinator relawan. ”Ibu Like tidak mungkin lah. Dia sangat sibuk,” jelas shijie tersebut. Ini dikarenakan shijie tersebut pernah datang ke kantor Like hingga ia mengetahui padatnya aktivitas Like. Namun semua berjalan lancar seperti sudah jodoh baginya. Sebab itu, banyak teman-temannya yang bingung. ”Ga salah mau masuk ke dalam badan sosial? Kamu khan sudah sangat sibuk,” timpal mereka. Dalam kenyataan seperti itu, tanpa sadar Like kini telah belasan tahun menjadi relawan Tzu Chi.

Sewaktu mulai menjadi koordinator, relawan Tzu Chi terbagi dalam beberapa kelompok sesuai wilayah tinggal mereka. Dengan adanya pembangunan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng dan Muara Angke, dan juga pembagian beras cinta kasih, jumlah relawan terus bertambah. Tahun 2005, Tzu Chi Indonesia mulai mengadopsi sistem relawan komunitas yang disebut 4 in 1. Sistem relawan komunitas ini membagi tugas koordinasi relawan dalam 4 fungsi yaitu He Xin, He Qi, Hu Ai, dan Xie Li. He Xin memiliki fungsi menerjemahkan misi dan filosofi dasar Tzu Chi, He Qi berfungsi mengarahkan kegiatan agar sesuai dengan misi Tzu Chi, Hu Ai berfungsi mengkoordinasi kegiatan, dan Xie Li sebagai pelaksana. Sistem ini bersifat vertikal sekaligus horisontal. Like diserahi tanggung jawab menjadi Ketua He Qi Utara, mencakup sebagian Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.

Terus Belajar di Tzu Chi
”Waktu awal di Tzu Chi, saya cuma melihat Ibu Su Mei (Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia –red). Satu perempuan, kecil lagi orangnya, kasihan saya pikir. Dia begitu rela demi Tzu Chi Indonesia. Masa sih saya diam aja,” Like menerangkan. Setelah sekian lama. Ia pun lalu mengenal Master Cheng Yen, seorang biksuni yang menurutnya memiliki karisma luar biasa. Like takjub melihat beliau yang sangat sederhana namun dapat mendirikan Tzu Chi yang begitu besar. ”Master (Cheng Yen) selalu memperhatikan orang lain dulu,” ujarnya. Di masa-masa awal, Like juga sempat berpikir Indonesia urusannya apa dengan Taiwan ini. Ia heran mengapa ada orang-orang dari Taiwan yang begitu memperhatikan masyarakat Indonesia. Rasa heran ini berbalik menjadi introspeksi diri lalu membangkitkan semangat untuk turut serta bersumbangsih.

Like semakin merasa respect kepada Tzu Chi karena melihat dan merasakan kehangatan antar relawan laksana keluarga sendiri. Relawan Tzu Chi dengan penuh semangat membantu korban bencana hingga ke luar negeri, dan dilakukan sampai tuntas. Itu membuat Like terkagum-kagum. Satu pengalaman pribadi yang ia rasakan terhadap salah satu Kata Perenungan Master Cheng Yen yang berbunyi, ”Berbuat bajik dan tidak berbuat kejahatan tidaklah cukup, namun mulut juga harus mengucapkan kata-kata yang baik. Jika mulut masih mengeluarkan kata-kata tidak baik maka belum dapat dikatakan orang baik”. Karena Kata Perenungan ini, Like yang dahulu berpikir bahwa berbuat baik dan tidak jahat terhadap orang lain itu sudah cukup mulai mengubah pandangannya.

Jika di rumah, tak seorang pun yang pernah dan berani memarahi Like. Sebaliknya, selama 11 tahun menjadi relawan, Like pernah juga dimarahi relawan lain. Setelah melalui latihan demi latihan, Like belajar menerimanya, ”Itu pelatihan diri buat saya. Jika tak ada mereka mana bisa saya belajar.” Namun itu tak menyurutkan dedikasinya kepada Tzu Chi. Like mengenang bahwa dirinya yang dulu sangat berbeda. Dahulu kalau merasa benar namun dipersalahkan, ia tidak segan untuk secara terang-terangan membantah dan membuktikan bahwa dirinya benar. Meski sesekali, ia masih pernah memperingatkan relawan lain bila terjadi kesalahan. Ia termasuk orang yang bicara blak-blakan, namun masalah yang sudah lewat tak lagi diingat ataupun diungkitnya lagi.

Like juga mengakui bahwa di Tzu Chi ia belajar banyak, apalagi setelah menjadi koordinator relawan. Ia harus belajar mengecilkan diri (ego). ”Jika sombong, siapa sih yang mau saya rangkul. Maka kita harus melakukan sendiri dan jadi contoh,” ujarnya Jika di rumah ia tak pernah mengepel dan mencuci piring karena ada pembantu, di Tzu Chi Like melakukan itu semua. ”Karena ini tempat kita belajar,” tandasnya. Ada satu kisah mengenai ini. Saat terjadi banjir besar di Tangerang, relawan memberikan bantuan makanan hangat pada para korban. Kali itu mereka memasak di rumah U Mei Ing Shijie. Karena memasak nasi goreng, usai acara maka rumah Mei Ing pun berminyak semua. Walau seusai memasak, relawan telah membersihkan, tetap saja masih berminyak. Like tidak tega, maka ia langsung turun tangan mengepel lantai dan mencuci sendiri rumah Mei Ing dengan menggunakan sabun.
 
 

”Saya merasa kalau saya yang punya rumah, gimana yah bisa kesel juga. Rumahnya blepetan minyaknya dimana-mana. Saya ngga mau orang lain kecewa. Memang saya sudah minta relawan membersihkan, namun sebagai ketua relawan, saya harus bertanggung jawab, dan itu salah satu sarana bagi saya untuk melatih diri mengikis kesombongan kita,” tandasnya.

Menggenggam Jodoh Baik
Bagi Like, Tzu Chi kini telah menjadi prioritas pertamanya, kecuali untuk orangtua dan keluarga. Sikap hidup ini sejalan dengan dharma Master Cheng Yen untuk mengutamakan bakti pada orangtua. Kini setiap saat, Like senantiasa berpikir mengenai Tzu Chi. Apalagi sekarang anak-anaknya sudah menyelesaikan pendidikan sehingga bisa membantu usahanya. ”Saya harus menomorsatukan Tzu Chi karena ini Master (Cheng Yen) punya. Kalau saya punya berkurang ngga apa-apa. Kalau Master (Cheng Yen) punya ngga boleh. Kita kan harus tanggung jawab sama Master (Cheng Yen),” urainya menjelaskan.

Tak mudah baginya untuk mengagumi apalagi “mematuhi” orang lain, namun Like memandang Master Cheng Yen sosok yang luar biasa. ”Sulit diungkapkan karena seumur hidup saya belum pernah mendengar ada yang sehebat Master (Cheng Yen),” ujarnya. Maka Like sangat bersyukur dapat mengenal beliau, dan ia pun benar-benar menggenggam kesempatan di dalam kehidupan ini karena memiliki jodoh dengan Master Cheng Yen. Sewaktu ada kegiatan Tzu Chi yang mendesak, tanpa ragu Like meninggalkan urusan perusahaannya. Apalagi dengan keputusannya meninggalkan perusahaan pun ternyata tak membuatnya kehilangan keuntungan. ”Semua itu ada jodohnya, Kalau ini milik saya ya milik saya, kalau bukan ya bukan. Saya percaya bahwa ada kekuatan seperti itu,” pikirnya. Jika yang dikorbankan itu untuk sesuatu yang baik, Like percaya jodoh yang terjalin akan menjadi baik pula.

Maka ia pun semakin giat mendalami dharma Master Cheng Yen. Di rumah pun ia berusaha mendengarkan ceramah Master Cheng Yen dalam program Lentera Kehidupan. Like menjelaskan, ”Pada umumnya relawan lebih suka bekerja. Kalau kita ngga mendalami ajaran Master (Cheng Yen), kita akan gampang mundur dan menyerah ketika menghadapi masalah. Tapi kalau kita tahu bahwa semua yang terjadi adalah proses dalam menjalankan ajaran Master (Cheng Yen) laksana ujian di sekolah, maka kita akan lebih kuat,” paparnya memberi masukan untuk relawan Tzu Chi Indonesia. Like pun berpendapat baginya landasan berpikir yang harus dimiliki saat menjadi relawan adalah untuk belajar di Tzu Chi, bukan untuk membantu. ””Tidak ada halangan bagi yang sehat maupun tidak untuk kerja di Tzu Chi,” tandasnya. Sedemikian dalam ”hubungan batin” yang dibangun Like dengan Master Cheng Yen, lantas bagaimana jika suatu hari nanti Master Cheng Yen tiada? ”Saat itu semangat Master (Cheng Yen) pun harus selalu ada di dalam hari kita,” tegasnya. Ia menambahkan kita yang masih hidup tetap dapat melihat film-film, dokumentasi dan baca-baca bukunya.

Master Cheng Yen pernah mengatakan bahwa menjalin hubungan baik adalah penting. Karena rasa tanggung jawab yang dimilikinya, Like merasa pengembangan relawan adalah bagian dari tanggung jawabnya. Dan untuk itu dibutuhkan pengorbanan. ”Iya dong. Kalau mengajak sebanyak mungkin orang bergabung di Tzu Chi itu tentu butuh pengorbanan, (korban) waktu lah, itu sudah harus. Dan terhadap orang harus ada perhatian, kalo sudah ada tanggung jawab itu kita akan berusaha lebih mengenal semua orang,” tandasnya. Itu semua dilakukan karena sesuai dengan visi Tzu Chi menyucikan hati manusia. Agar lebih paham Tzu Chi, Like selalu membawa buku dan membuat catatan di setiap kesempatan. Ia menganggap hal ini penting untuk membantunya agar tidak lupa. ”Kata Master Cheng Yen, beliau khawatir apakah kebijaksanaan para relawan bertambah atau tidak? Makanya saya harus rajin belajar,” ucapnya.

Like bertutur bahwa sebenarnya tidaklah sulit untuk mengajak orang bergabung dan menjadi relawan Tzu Chi. Yang dibutuhkan adalah kesabaran, ketekunan ditambah adanya jalinan hubungan yang baik. ”Kalo sekali diajak ngga bisa mungkin karena orang itu benar-benar ada keperluan, namun lama-lama orang itu akan ’keluar’ juga. Kecuali memang ngga ada niat. Yang ngga punya niat pun kalau kita ajak ngobrol, lalu ngobrolnya udah enak, saya rasa dia tidak mungkin tolak terus,” ujarnya memberikan tips. Ia sangat menghayati bahwa dalam berhubungan dengan orang lain, kita harus memiliki ”investasi” cinta kasih lebih dulu, barulah dapat menggugah mereka untuk bergabung dengan Tzu Chi. Investasi dalam arti positif dan tulus tentunya.

Tidak Lagi Merasa Kurang
Karena mendengar ceramah Master Cheng Yen yang mengatakan bahwa anak itu memiliki hoki masing-masing. Pola pikir Like tentang anak-anak pun berubah. ”Jika dahulu terhadap anak saya seperti berpikir ’Kamu adalah saya punya, saya lahirin saya besarin. Kamu semua harus nurut sama saya.’ Sekarang saya tidak seperti itu ya,” tandasnya. Rasa sayang anak yang menjadi alasan Like bekerja begitu keras mengembangkan usaha konveksinya, supaya kelak mereka tidak mengalami kekurangan. Tapi sekarang hal tersebut tak lagi terlalu dipikirkannya. Soal kekayaaan materi pun, ”Dahulu saya rajin banget cari uang tapi perasaan saya masih kurang saja. Sekarang lebih mensyukuri hidup lebih sederhana,” ujarnya. Semakin lama ia aktif di Tzu Chi, dan kurang aktif di perusahaan, ia merasa cukup, tak merasakan kekurangan. ”Justru pengeluaran saya ke tempat yang lebih bermanfaat. Dahulu suka shopping, sekarang tidak lagi. Sekarang uangnya lebih baik untuk bantu orang lain,” paparnya.

Saat ini, perlahan usaha Like mulai beralih ke anak-anaknya, karena ia ingin mereka ke depan dapat hidup mandiri. Sudah cukup lama Like memiliki keinginan untuk full time di Tzu Chi, dan beruntung respon sang suami baik-baik saja. ”Doa saya, suatu hari nanti ia (suami –red) dapat masuk dan bergabung menjadi relawan Tzu Chi,” ujarnya berharap. Sekarang ketika suaminya bersedia menjadi donatur dan mendukung untuk aktif di Tzu Chi pun, Like merasa sangat bersyukur. Namun ini pun kemungkinan karena Like mengalami perubahan karakter dalam keluarga. Dahulu ia suka ribut dengan suami karena lebih banyak menuntut, sekarang sudah jauh lebih bisa menerima dan mengerti.


”Namun, bukan berarti saya sekarang sudah bagus,” selorohnya. Kepada anak-anak, ia juga pernah mengatakan bahwa sisa hidupnya akan diberikan untuk Tzu Chi. Meski anak-anak tidak protes, Like pun menyadari ia juga harus berusaha ekstra keras untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di anak-anaknya jika dibutuhkan. ” Saya tidak mau anak-anak beranggapan mama mereka sibuk terus demi Tzu Chi. Kok kita ngga diperhatikan,” tukasnya.

Belum lama ini, Like mengambil keputusan besar dengan menjadi Rong Dong. Ini adalah istilah penyerahan sumbangan senilai 1 juta dolar Taiwan (sekitar Rp 300 juta) kepada Tzu Chi. Sumbangan dalam jumlah besar ini akan digunakan untuk mendukung rencana pembangunan rumah sakit, gedung Griya Perenungan Tzu Chi di Indonesia, dan program lainnya. Sebenarnya niatan untuk menyumbang Rong Dong telah ada sejak tahun 2007. Lulu pernah memberi dorongan. Bahkan Sugianto Kusuma, Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia pun telah menganjurkannya. ”Katanya, ’Jika kita ingin memotivasi orang lain, kita harus melakukannya dahulu.’ Saya sadar banget hal itu,” urai Like sambil mengulang kata-kata Sugianto. Usai anak-anaknya lulus, Like mulai merasakan ia harus mewujudkan janji yang telah ditanamkan dihati.

Rong Dong ini diserahkan Like dalam 2 tahap. Meski saat itu dana cair yang ia miliki masih dipergunakan untuk memperluas bisnis, karena tak ingin menunda lagi Like kemudian menjual deposit emas yang dimilikinya. ”Saya merasa ngga boleh menunda-nunda. Saya harus langsung lunasi saja,” imbuhnya. Ia nyaris tak sabar menunggu hingga sanggup melunasi jumlah itu. ”Saya takut jodoh ini (menjadi Rong Dong) ngga sampe,” kata Like yang tahun ini genap berusia 53 tahun menjelaskan. Ia berharap perbuatannya ini akan menjadi motivasi bagi relawan yang lain. Saat ini, Tzu Chi Indonesia benar-benar perlu membangun dan untuk itu dibutuhkan dana yang banyak. Maka Like terus memotivasi lebih banyak orang lagi untuk menjadi Rong Dong. Ini satu bentuk latihan melepaskan materi secara sukarela. Like masih menyimpan satu keinginan, yaitu sekali lagi menyumbang Rong Dong atas nama mama tercintanya.

Seperti dituturkan kepada Himawan Susanto / Ivana
Foto: Dok. Tzu Chi
 
 

Menyayangi dan melindungi benda di sekitar kita, berarti menghargai berkah dan mengenal rasa puas.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -