Tjioe Soh Khiem
Menjadi Lebih Sabar

Saya mengenal Tzu Chi dari  Da Ai TV Taiwan. Di situ saya melihat ada seorang master (biksuni-red) yang bimbingannya sangat bagus dan selalu membantu orang yang membutuhkan bantuan. Saya bilang ke suami kalau Tzu Chi sangat bagus dan kegiatannya sangat mengharukan. Apalagi ada bimbingan Master Cheng Yen yang sangat bagus. Dari situ saya berjanji dengan diri sendiri jika ada Tzu Chi di Kota Padang maka saya akan bergabung. Suami pun sangat mendukung. Tidak disangka pada tahun 2005, Padang dilanda bencana gempa bumi. Saat itu Tzu Chi memberikan bantuan kepada para korban bencana dan menggalang relawan setempat. Suami saya ikut menjadi relawan, tapi saat itu saya belum bisa bergabung karena anak-anak masih sekolah. Setahun kemudian, jodoh saya dengan Tzu Chi  pun matang dan pada tahun 2006, saya bergabung menjadi relawan Tzu Chi.

Sejak bergabung, saya mengikuti semua kegiatan Tzu Chi. Apa saja saya kerjakan. Jika ada survei pasien calon penerima bantuan maupun kunjungan kasih ke rumah pasien pengobatan jangka panjang selalu saya ikuti. Begitu juga dengan daur ulang dan kegiatan yang lainnya. Semua kegiatan yang diadakan Tzu Chi saya selalu berusaha ikut terlibat di dalamnya. Saya juga mengemban tanggung jawab sebagai koordinator isyarat tangan karena saya bisa berbahasa Mandarin. Awalnya saya tidak mengerti apa isyarat tangan, lalu dijelaskan dan diajarkan oleh relawan Tzu Chi Jakarta. Namun, sejak suami saya meninggal pada bulan Mei 2015 lalu, saya sudah tidak bisa lagi mengemban tanggung jawab itu karena saya sering pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Saya mulai mendelegasikannya kepada relawan yang lebih muda. Meskipun begitu, setiap ada kegiatan Tzu Chi di Padang saya pasti akan pulang dan ikut bersumbangsih.

Banyak hal yang saya pelajari selama menjadi relawan Tzu Chi. Saya menjadi lebih terbuka dan bisa berbaur dengan lingkungan. Tzu Chi membawa saya keluar dari sifat tertutup, karena Tzu Chi merupakan wadah untuk saling belajar, mendukung satu sama lain, dan saling berbagi dengan yang  lainnya. Saya selalu menggunakan prinsip dari Master Cheng Yen, “Jangan menjadikan kesalahan orang lain untuk menghukum diri sendiri”, orang yang berbuat salah kenapa kita yang harus marah. Di situlah hati saya mulai terbuka.

Saya memang orang yang memiliki ego yang tinggi, mudah emosi, dan spontan berbicara apa adanya. Dulu saya jika berbicara langsung saja tanpa memikirkan perasaan orang lain. Tapi di Tzu Chi saya menemukan perubahan yang cukup besar pada diri saya. Gaya ceplas-ceplos dan emosi tinggi yang saya miliki lambat laun berubah menjadi pribadi yang sabar dan rendah hati. Sekarang kalau ingin menyampaikan sesuatu saya akan pikirkan dulu baik-baik karena khawatir apa yang saya sampaikan akan dapat menyinggung perasaan orang lain. Saya belajar banyak dari Tzu Chi. Tzu Chi adalah keluarga kedua saya. Bahkan keluarga saya mengatakan kalau sekarang saya sudah tidak langsung emosi kalau menghadapi sesuatu yang tidak berkenan, tetapi menjadi lebih sabar. Meski begitu, masih banyak yang harus dipelajari di sini, karena Tzu Chi memang ladang untuk berlatih dan belajar.

Keluarga juga sangat mendukung saya berkegiatan di Tzu Chi, terlebih banyak perubahan positif yang terjadi pada diri saya. Meskipun anak-anak tinggal di luar kota, tetapi mereka juga turut bersumbangsih di Tzu Chi dengan menjadi donatur. Berjalan di Tzu Chi membuat saya merasa bahagia. Sudah berbuat baik, hati  pun senang. Melihat orang bahagia karena telah dibantu rasanya kegembiraan yang muncul tidak bisa ditukar dengan uang. Ini yang membuat saya merasa bahwa hati sudah di Tzu Chi. Seperti ketika membantu di kegiatan Bakso Kesehatan Tzu Chi, di sana rasanya bahagia melihat orang yang berhasil dioperasi matanya. Dari yang semula kurang jelas penglihatannya menjadi lebih terang dan jelas. Di sini saya turut merasakan kebahagiaan mereka.

Seperti dituturkan kepada Yuliati.

Keindahan kelompok bergantung pada pembinaan diri setiap individunya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -