“Kapan Rumahku Dibedah Kayak Gitu?”

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Anand Yahya
 
foto

* Karena jalanan yang lebih tinggi daripada rumah calon penerima bantuan Bebenah Kampoeng yang disurvei, relawan Tzu Chi harus merunduk untuk masuk dan keluar rumah itu.

Menyusuri gang-gang sempit yang berliku, sekitar 20 relawan Tzu Chi melakukan survei “Bebenah Kampoeng” di Kelurahan Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Ada 40 rumah yang disurvei. Meski siang itu sinar matahari terik menyengat, tidak menghalangi para relawan untuk mengunjungi calon penerima bantuan program yang digalakkan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia ini. Tujuan survei adalah untuk menjaring data dan melihat langsung kondisi calon penerima bantuan agar bantuan yang diberikan tidak salah sasaran. “Kami percaya semua pemohon adalah warga yang kurang mampu, tapi kami akan memprioritaskan kepada keluarga yang benar-benar tidak mampu,” kata Like Hermansyah, relawan Tzu Chi yang juga Ketua He Qi Utara.

Rumah Lebih Rendah Daripada Jalan
Dua puluh satu tahun lalu, rumah keluarga almarhumah Maria (meninggal pada 18 Oktober 2008 –red) masih lebih tinggi dari jalan. Tapi kini justru kebalikannya. Bahkan saluran air (got) pun masih lebih tinggi dari lantai rumahnya. Genteng rumah pun bisa dijadikan sebagai tempat menjemur pakaian karena jaraknya yang tidak terlalu tinggi dari jalan. “Jalan itu dah ditinggiin tiga kali, rumah ini baru sekali,” kata Suryati, menantu Maria. Berada di dalam rumah itu selama 5 menit pada siang hari, dijamin tubuh akan basah oleh keringat karena udara pengap dan atap yang rendah. Tak heran, meskipun tak turun hujan, lantai di rumah ini kerap basah tergenang air rembesan dari tanah. Semasa hidupnya, Maria yang meninggal pada usia 67 tahun pernah berharap rumahnya akan bisa diperbaiki dan tingginya sama dengan rumah para tetangga. Harapan Maria dan keluarga semakin besar ketika melihat beberapa rumah yang telah diperbaiki Tzu Chi di wilayah Pademangan ini. “Kapan rumah saya bisa dibedah kayak gitu?” kata Suryati menirukan ucapan mendiang mertuanya. Tepat 3 hari setelah wafatnya, relawan Tzu Chi mensurvei rumah Maria.

Mendiang Maria sendiri memiliki 3 anak, yaitu Ahmad Nawawi (suami dari Suryati) dan dua anak perempuan lainnya. Dengan luas 10x4 meter, Ahmad Nawawi harus berbagi tempat tinggal dengan kakak perempuannya. Yang tinggal bersama dalam satu rumah adalah Ahmad Nawawi –istri dan 3 anak– dan Kolilah dengan 1 anaknya. Satu anak perempuan Maria lainnya ikut bersama mertuanya tak jauh dari rumah itu. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, otomatis Ahmad Nawawilah tulang punggung keluarga ini –kakak perempuannya janda dengan 2 anak. Sebagai tenaga keamanan di Pasar Kemayoran, penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan penghasilan Rp 200.000,- per minggu (800 ribu rupiah per bulan), Ahmad –begitu ia biasa dipanggil– dan Suryati harus pandai mengatur pengeluaran agar seimbang dengan penghasilan. “Kadang-kadang suami pulang bawa sayur-sayuran dari pasar. Dikasih ama pedagang kalo dagangan mereka nggak habis,” ucap Suryati girang.

foto  foto

Ket : - Suryati mengajak relawan Tzu Chi masuk ke rumahnya. Jalan di depan rumah ini sudah diuruk (tinggikan)
           sebanyak 3 kali, sementara rumah Suryati baru sekali. Tak heran jika jalan lebih tinggi daripada rumah
           Suryati. (kiri)
         - Dalam survei, selain mencocokkan data-data calon penerima bantuan, relawan juga mensosialisasikan
           tentang Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia kepada warga yang disurvei. (kanan)

Pengeluaran keluarga ini semakin besar sejak kamar mandi tak bisa lagi dipergunakan. Untuk mandi dan buang air, setiap orang harus membayar seribu rupiah. “Kalo anak-anak yang masih kecil, ambil ember, dah bisa mandi di depan,” ujar Suryati seraya menunjuk ke depan pintu rumah. Bahkan, untuk menyiasati pengeluaran, kadang Suryati mandi bersama anaknya yang paling kecil. Belum lagi air yang harus dibeli untuk minum, mengingat air tanah di wilayah ini tak layak untuk dikonsumsi. “Kita nyelang sama tetangga. Satu bulan untuk air bisa sampe (Rp) 80 ribu,” terang ibu tiga anak ini. Untuk membantu perekonomian keluarga, Suryati sendiri pernah berdagang di pasar sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi buruh cuci harian jika ada tetangga yang membutuhkan jasanya. “Makanya boro-boro bisa buat betulin rumah, buat kebutuhan sehari-hari aja empas-empis,” keluh Suryati.

Sering Mengungsi ke Tetangga
Jika musim hujan tiba, keluarga ini juga mesti was-was. Selain rembesan dari bawah lantai, genting rumah pun juga sudah banyak yang lapuk dan pecah. “Kalo hujan sedikit aja, kita harus nawuin (menyerok –red) air keluar supaya nggak banjir. Kalo hujan besar, ya kita ngungsi ke tetangga,” terang Suryati. Jika banjirnya tidak terlampau tinggi, mereka masih bisa tidur di balai (tempat tidur kayu). Dengan kondisi seperti itu, tak heran jika Suryati dan anggota keluarga lainnya sangat berharap rumahnya bisa diperbaiki agar mereka bisa hidup lebih tenang. “Harapannya rumah ini bisa dibedah (diperbaiki –red). Waktu bayar listrik saya pernah liat rumah yang sudah dibedah berjejer rapi. Dalam hati saya bilang, ‘Ya Allah, kapan rumahku dibedah?’,” kata Suryati terbata-terbata menahan haru. Para relawan Tzu Chi pun menghiburnya. “Yang memohon bantuan bedah rumah ini banyak sekali, sementara donatur kami terbatas. Makanya para relawan ini turun ke lapangan supaya bantuan bisa tepat sasaran,” kata Like Hermansyah, relawan Tzu Chi.

foto  foto

Ket : - Karena sering kebanjiran, meski tidak turun hujan, Suryati selalu menggulung kasur dan menggelarnya
           hanya di saat akan tidur dan keadaan benar-benar kering. Jika air mencapai lantai, keluarga ini tidur di balai
           ataupun mengungsi ke rumah tetangga. (kiri)
         - Like Hermansyah, relawan Tzu Chi sedang menjelaskan prosedur dan persyaratan penerima bantuan
           program Bebenah Kampoeng Tzu Chi. Dalam kesempatan itu, Like juga menghimbau kepada calon
           penerima bantuan untuk ikut berpartisipasi membantu sesama dengan menabung. (kanan)

Dalam kesempatan itu, relawan juga mensosialisasikan tentang Tzu Chi kepada para calon penerima bantuan, sekaligus mengajak mereka berpartisipasi dalam kegiatan celengan bambu, menghimpun dana untuk kebajikan. “Kita senang kalau hidup ibu juga tenang. Nanti kalau ternyata rumah ini jadi dibangun, ibu bisa sumbangin dana dalam celengan bambu. Dana ini setelah terkumpul akan dipergunakan lagi untuk membantu orang-orang yang membutuhkan,” himbau Like pada Suryati. Suryati pun mengangguk setuju dan mengerti. Bukan seberapa besar dana yang sanggup disumbangkan, tapi niat dan ketulusan dalam bersumbangsih itulah yang terpenting tumbuh di dalam diri setiap manusia.

 

Artikel Terkait

Bekerja Sama Mengemban Misi Pendidikan (Bag.1)

Bekerja Sama Mengemban Misi Pendidikan (Bag.1)

15 Juli 2013 Pelatihan yang dilaksanakan pada 5-9 Juli 2013 di Xi She Ting, Aula Jing Si, PIK, (dua hari untuk guru Sekolah Cinta Kasih, Cengkareng dan dua hari untuk guru Sekolah Tzu Chi Indonesia) ini dihadiri oleh 94 guru Sekolah Cinta Kasih dan 109 guru Sekolah Tzu Chi Indonesia.
Tak Menyerah dengan Keadaan, Bernadin Raih Impiannya Menjadi Dokter

Tak Menyerah dengan Keadaan, Bernadin Raih Impiannya Menjadi Dokter

18 Desember 2017
Kemarin, Minggu 17 Desember 2017 merupakan gathering pamungkas bagi para penerima beasiswa Tzu Chi pada tahun ini. Di tahun ini juga ada salah satu penerima beasiswa Tzu Chi mengucapkan Sumpah Dokter-nya. Namanya Bernadin Wijaya.
Gempa Palu: Membantu Wilayah Terisolir di Sigi

Gempa Palu: Membantu Wilayah Terisolir di Sigi

09 November 2018

Relawan membagikan bantuan ke Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi yang sebelumnya merupakan satu dari empat Kecamatan yang terisolir akibat gempa.


Setiap manusia pada dasarnya berhati Bodhisatwa, juga memiliki semangat dan kekuatan yang sama dengan Bodhisatwa.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -