Belajar Banyak di Indonesia

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari


Siti memberikan pijatan untuk Lee Peiyun, Tzu Ching Taiwan yang juga Mahasiswa Universitas Nasional Chung Hsing, Taiwan jurusan Matematika yang datang berkunjung ke panti pijat miliknya.

Suara tawa terdengar bersahutan di dalam rumah Siti dan Simon. Pintu rumah sepasang tunanetra yang berlapis kawat itu memang tidak tertutup rapat hingga tawa terdengar cukup keras di sepanjang gang di depan rumah mereka. Ada beberapa mahasiswa asal Taiwan di dalamnya yang mendapatkan pijat cuma-cuma secara bergiliran.

“Ibu hebat sekali pijatnya, rasanya enak, nyaman,” kata Lee Peiyun masih sambil mengangguk-anggukkan kepala karena Siti tengah memijat pundaknya.

“Bu... setelah ini saya boleh coba pijatan ibu?” timpal Lai Yuwen ikut penasaran merasakan sensasi pijat dari Siti. Tanpa basa-basi Siti mengabulkan permintaannya. “Ya tentu boleh dong,” kata Siti sambil tertawa dengan pasti. Tawa mereka kembali bersahutan, akrab bagaikan keluarga yang kembali bertemu setelah lama terpisah.

Senyum yang Istimewa


Kamis 9 Agustus 2018, mahasiswa dan relawan pendamping yang tergabung dalam Kelompok Budaya Humanis Tzu Chi Taiwan dibagi menjadi grup kecil untuk melakukan kunjungan kasih bersama relawan Tzu Chi Jakarta. Kelompok 2 mengunjungi panti pijat Sumber Rezki.

Sebelum para pemuda asal Taiwan datang ke rumahnya, Siti sebenarnya sudah tahu akan ada tamu dari Tzu Chi. Ia menyiapkan nampan penuh air mineral kemasan. Tapi ia tak menyangka yang datang adalah anak-anak muda dari negara yang jauh di sana. Totalnya ada 32 mahasiswa dan relawan pendamping yang tergabung dalam Kelompok Budaya Humanis Tzu Chi Taiwan. Hari itu (9 Agustus 2018) mereka dibagi menjadi grup kecil untuk melakukan kunjungan kasih bersama relawan Tzu Chi Jakarta.

“Maaf ya cuma ada air putih,” ucap Siti sementara tangannya cekatan memegang nampan tak kalah seperti orang dengan penglihatan sempurna. Tiga mahasiswa Taiwan dan dua pendampingnya (relawan Tzu Chi Taiwan) yang ikut serta, merasa kagum melihat Siti yang cekatan. Relawan Tzu Chi Jakarta yang membawa mereka juga ikut terkesan.


Tak ingin merasakan penasaran yang berlebihan, Lai Yuwen pun meminta tolong Siti untuk memijatnya. Mereka memuji keahlian Siti dalam memijat. Keahlian itu ia dapatkan setelah satu tahun belajar di asrama khusus tunanetra.

Mata Siti memang terpejam erat. Tapi dia sudah hafal otot-otot dalam tubuh manusia juga semua bagian di rumahnya. “Saya buta sejak umur 3 tahun, makanya saya sekarang lebih peka,” ucap Siti, “lalu saya belajar pijat satu tahun, buat bekal hidup,” lanjutnya sumringah. Maka tak kaget kalau ia kini membuka panti pijat tunanetra, Sumber Rezki namanya.

Siti menjelaskan penghasilannya tidak tentu. Tapi untuk sekali pijat dengan waktu satu jam, ia bisa mendapatkan 50 ribu dari pelanggannya. Para mahasiswa Taiwan mengangguk mendengarkan penjelasan Siti. Mereka merasa Siti mempunyai hal lain yang istimewa. “Senyum ibu cantik sekali,” ucap Lai Yunru memuji Siti.

Berbagi Manfaat dalam Hidup


Lai Yuwen dan para Tzu Ching lain memberikan pelukan untuk Siti. Mereka berterima kasih karena sudah berkesempatan mendapatkan pelajaran berharga dari Siti.

Siti bertemu Tzu Chi ketika menjalani operasi mata di Rumah Sakit Cinta Kasih (RSCK) Tzu Chi di Cengakreng, Jakarta Barat 2016 lalu. Ia bersyukur karena setelah ditolak beberapa rumah sakit, ia akhirnya mendapat perawatan di RSCK. “Dari relawan, saya mendapatkan penjelasan panjang sekali tentang Tzu Chi. Akhirnya saya mencoba mengajukan bantuan,” cerita Siti. Dari pengajuannya, hingga saat ini Siti mendapatkan bantuan biaya hidup.

“Tapi saya tidak menyangka bisa sampai dapet kunjungan dari relawan Taiwan. Saya senang sekali,” ungkap Siti terus tersenyum. “Saya pikir, apa mereka mendapat manfaat dari saya? Saya kan tidak bisa melihat,” lanjutnya.


Sebelum berkunjung ke rumah Siti, kelompok 2 mengunjungi rumah Yohanna (memakai masker). Kisah Yohanna mengingatkan Lai Yunru (kedua dari kiri) pada kisahnya.

Mendengar perkataan Siti, para mahasiswa serta merta menggenggam erat tangan Siti. “Ibu tidak boleh begitu. Kami kagum dengan ibu karena ibu sangat optimis,” kata Peiyun. “Iya. Walaupun ibu tidak bisa melihat, tetapi ibu tetap tersenyum dan menyambut kami. Ibu juga memijat saya, membuat saya terharu. Ini adalah pembelajaran bagi kami, yang tidak bisa didapatkan saat kerja dan sekolah, harus masuk ke tempat ini baru bisa merasakan kehangatan ini,” tambah Yuwen.  “Saya merasa dalam kehidupan kita mungkin akan menghadapi cobaan hidup, termasuk dalam pekerjaan. Tetapi kalau kita tetap bersikap positif, seperti yang diajarkan Master Cheng Yen: ‘hidup kita hanya ada hak pakai tidak ada hak memiliki’. Jadi jika kita dapat memanfaatkan hidup sebaik-baiknya, semuanya akan sangat baik,” lanjutnya.

Siti tak menyangka mendapatkan jawaban yang amat menghangatkan hati dan membuatnya semakin optimis. “Saya senang sekali, terharu,” ucapnya berkali-kali. Ia berharap perkataan para mahasiswa Taiwan tersebut benar adanya.

Berkaca pada Diri Sendiri


Di rumah Yohanna, relawan dan Tzu Ching Taiwan merasakan sifat Yohanna yang penyayang. Ia selalu menyempatkan diri untuk menjaga keponakannya di rumah. Di samping itu, ia juga sangat tabah dan dewasa dalam menghadapi permasalahan kehidupan.

Berbeda kisah kunjungan di rumah Siti yang penuh dengan kegembiraan, kunjungan kasih di rumah Yohanna mengingatkan Lai Yunru dengan kisahnya sendiri.

Yohanna adalah penerima bantuan pendidikan Tzu Chi, ia menerima beasiswa ketika ia bersekolah hingga kini sudah lulus. Namun ia tidak terlalu beruntung. Ketika sudah mulai bekerja, Yohanna kerap merasa sakit hingga pada akhirnya ia sempat dirawat berbulan-bulan di rumah sakit. Di usianya yang masih 21 tahun, Yohanna didiagnosa menderita kista. Tzu Chi kemudian kembali memberikan bantuan pengobatan pada Yohanna.

Ayah Yohanna meninggalkan keluarganya sejak kecil, ibunya berjuang sendiri dan sempat menikah lagi namun kini sudah berpisah. Permasalahan keluarga membuat sang ibu mengalami stress dan kerap marah. Namun Yohanna bersyukur masih memilikii keluarga.

“Saya sendiri pada umur 12 tahun, ayah dan ibu saya bercerai. Ayah tidak tahu pergi kemana dan tidak pernah mencari kami lagi, sejak itu bersama ibu sampai sekarang,” kata Yunru. Beruntung ia sudah bergabung dengan keluarga Tzu Chi sejak usianya 13 tahun. Selama itu ia merasakan banyak kehangatan dan cinta kasih. “Walau berasal dari keluarga yang berbeda, shigu shibo (panggilan untuk relawan yang lebih tua) tetap menganggap kami anak sendiri. Adanya begitu banyak perhatian dari saudara se-Dharma dalam pertumbuhan saya adalah suatu hal yang membuat saya penuh berkah dan sangat berbahagia,” aku Yunru.


Keluarga Yohanna melepas kunjungan relawan di depan rumah mereka. Yohanna mengaku senang dan terharu bisa menerima kunjungan teman-temannya dari Taiwan.

Di depan Yohanna dan keluarganya, mereka lalu saling menguatkan, memberikan semangat, dan juga bernyanyi lagu Satu Keluarga. Yunru yang sudah empat kali datang ke Indonesia memimpin menyanyikan lagu itu dengan bahasa Indonesia. “Hari ini saya terharu, senang karena sudah diberi semangat dan cinta kasih. Nantinya semoga saya bisa berbagi cinta kasih kepada orang lain karena kita sudah diberikan cinta kasih, kita harus memberikan cinta kasih lagi, apalagi untuk orang tua. Meskipun hanya sebuah cinta kasih, akan menjadi besar apabila dibagikan lagi,” kata Yohanna mantap.

Dari kisah Yohanna, Yunru banyak belajar. Bukan dari kisah kedua orangtuanya yang mirip dengannya saja, tapi juga dari sikap penyayang, kedewasaan, dan ketabahan Yohanna dalam menjalani kehidupan, serta kasih sayang kepada keluarga yang tak padam.

Editor: Yuliati
Kamis 9 Agustus 2018, mahasiswa dan relawan pendamping yang tergabung dalam Kelompok Budaya Humanis Tzu Chi Taiwan dibagi menjadi grup kecil untuk melakukan kunjungan kasih bersama relawan Tzu Chi Jakarta. Kelompok 2 mengunjungi panti pijat Sumber Rezki.

Artikel Terkait

Membangkitkan Asa Demi Keluarga

Membangkitkan Asa Demi Keluarga

31 Mei 2017

Belajar dari kesalahan masa lalu adalah hal yang dilakukan Freddinad saat ini setelah melewati masa sulit beberapa tahun silam. “Alhamdulilah untuk sekarang ada perkembangan setelah saya sembuh, bisa kerja lagi bisa bantu keluarga,” ujarnya. “Jadi pikiran saya dulu kalau sembuh jadi mayat hidup itu salah. Walaupun orang tidak berdaya juga pasti masih bisa berbuat sesuatu,” kata Freddi.

Menciptakan Ladang Berkah

Menciptakan Ladang Berkah

26 November 2015
Minggu, 22 November 2015, sebanyak 64 orang mengikuti kegiatan kunjungan kasih ke rumah penerima bantuan Tzu Chi. Di samping untuk memantau pasien kasus, dalam acara ini juga mengajak relawan lainnya untuk menciptakan ladang berkah di misi amal.
Kebersamaan itu Indah

Kebersamaan itu Indah

24 Februari 2015

Mereka pun mengajak bercanda, bernyanyi, dan berjoget bersama 46 opa dan oma. Semua merasakan sukacita bersama. Para opa dan oma dengan penuh semangat menyanyikan lagu tembang lawas era 70-an. Salah satu penghuni panti, Oma Amoy bangkit dari tempat duduknya dan berjoget dengan gerakan lincahnya. Bahkan ia tidak sungkan-sungkan mengajak relawan untuk berjoget bersama.

Menyayangi dan melindungi benda di sekitar kita, berarti menghargai berkah dan mengenal rasa puas.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -