Bertukar Pikir dan Budaya

Jurnalis : Himawan Susanto , Fotografer : Siladhamo Mulyono
 
foto

* Dengan boneka tangan, guru Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi menyampaikan pesan budi pekerti kepada para santri dan santriwati.

Ada sesuatu yang lain pagi itu saat 4 relawan Tzu Chi dan 45 guru Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi datang ke Pesantren Nurul Iman, Parung, Bogor pada tanggal 16 November 2008 lalu. Pagi itu mereka membawa 7 macam benih tanaman kacang-kacangan, dan bahan-bahan kerajinan tangan. Jika biasanya dalam pelajaran budi pekerti hanya teori yang disampaikan, kini di kelas terakhir untuk tahun 2008, para santri juga akan diajarkan tata cara bertanam dan membuat kerajinan tangan.

”Kalau dahulu, pelajaran budi pekerti cenderung ke teori, untuk kali ini dibuat lebih konkret. Dengan menanam sayur dan kerajinan tangan, para santri bisa membuat sesuatu yang bernilai dan punya nilai tambah,” ujar Edhy Harsanto, Kepala Sekolah SMP Cinta Kasih.

Di awal pelajaran, guru-guru mengajak para santri dan santriwati melakukan gerak senam bersama. Dengan penuh semangat dan keceriaan mereka pun bergerak serempak. Usai dengan senam, para guru menampilkan drama tentang kehidupan sebuah keluarga. Drama ini ditampilkan lewat permainan boneka tangan. Drama yang bercerita tentang bagaimana setiap anggota keluarga di rumah harus bisa menghargai pendapat anggota keluarga lainnya menyedot perhatian para santri yang menyaksikan.

”Cobalah berusaha untuk menghargai orang lain,” tutur Bambang, seorang santri yang diminta menjelaskan makna dari drama boneka tangan itu. ”Misalnya, bagaimana kita mengingatkan orang lain yang telah menggunakan selimut kita tapi tidak dirapikan kembali?” tanya Veronika, guru budi pekerti Sekolah Cinta Kasih. Tiada yang menjawab pertanyaan itu. ”Jika hal demikian terjadi maka kita harus mengingatkan secara halus. Menegur dengan cara yang baik, sehingga tidak ada yang tersinggung,” jawab Veronika mengingatkan mereka.

foto   foto

Ket : - Sejumlah 700 santri dan santriwati dengan penuh perhatian mengikuti pelajaran budi pekerti. Ini adalah
            kelas terakhir mereka dalam tahun 2008. (kiri)
         - Para santriwati ini juga mencatat inti dan makna pelajaran budi pekerti ke dalam buku catatan mereka, agar
            dapat kepada mengajarkannya kembali pada adik-adik mereka. (kanan)

”Ini kali baru ada kerajinan tangan dan menanam tanaman dalam pelajaran budi pekerti. Karena itu (kerajinan tangan dan bertanam –red) bisa untuk kehidupan. Tanaman yang ditanam pun bisa digunakan untuk makan sehari-hari dan jika ada kelebihannya bisa dijual ke pasar. Untuk gantungan kunci, bahannya murah, namun jika sudah jadi, akan jadi cantik dan bisa untuk dijual,” ungkap Li Chi-ying.

Siang itu, para santri juga diajarkan cara bercocok tanam 7 macam kacang-kacangan. Tujuannya agar para santri dapat hidup mandiri tidak hanya selama di pesantren namun juga di masyarakat kelak. Perubahan apa yang telah terjadi? Menurut Li Chi-ying, para santri dan santriwati kini telah menerima pelajaran budi pekerti, dan dapat memperagakan shou yu (isyarat tangan). Tujuan dari kelas budi pekerti ini adalah sharing kebudayaan antara budaya Tzu Chi dengan budaya Indonesia. ”Bisa tukar pikiran. Program ini baru berjalan 1 tahun maka akan terus dilaksanakan sepanjang waktu. Perubahan tidak bisa kelihatan dalam waktu yang pendek. Harus terus-menerus,” ujarnya lebih lanjut.

Kelas ini diadakan karena permintaan dari Habib Saggaf sendiri agar para santri dan santriwati di Pesantren Nurul Iman mendapatkan pelajaran budi pekerti dari Master Cheng Yen. Salah seorang yang mendapatkan banyak pengetahuan adalah Isnaini (25), santriwati pengajar di Madrasah Aliyah Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman. ”Dengan adanya kelas ini, kita jadi punya pengalaman. Kan selama ini kita belajar pasti banyak kekurangan. Bisa menambah pengetahuan. Bagaimana cara kita mendidik anak. Jadi bisa mengajarkan kepada orang lain terutama adik-adik saya (murid-murid – red),” tuturnya.

foto   foto

Ket : - Selain ilmu teori, para santri ini diajarkan cara bercocok tanam sehingga ke depannya mereka bisa hidup
            mandiri bahkan jika mungkin dapat berwirausaha. (kiri)
         - Guru Sekolah Cinta Kasih ini dengan telaten mengajarkan cara membuat gantungan kunci dari kain kepada
            para santriwati. (kanan)

Pelajaran yang ia dapatkan pun dipraktikkan saat ia mengajar di kelas. Shou yu salah satunya. Bahkan ia pun menggunakan metode bercerita dan bertanya yang ia dapatkan di pelajaran budi pekerti. Semua itu ia dapat praktikkan karena sifat anak-anak yang tidak sama. Ia juga mengajarkan adik-adiknya budi pekerti, pelajaran tentang berbakti kepada orangtua, misalnya.

”Menarik, disampaikan juga caranya berbudi pekerti, cara mengajar anak-anak. Semua diajarkan,” urainya panjang lebar. Mengenai pelajaran kerajinan tangan, ia berpendapat, ”Ada gunanya, saat di kelas keterampilan. Kita kan banyak kain-kain sisa. Dan bisa jadi usaha, iseng-iseng dulu nanti bisa jadi bisnis.”

 

Artikel Terkait

Harapan Bagi Roihan

Harapan Bagi Roihan

10 Juli 2012 Selama menunggu operasi selesai Novendra dan Wiastuti didampingi oleh relawan. Pendampingan oleh relawan ini membuat Novendra dan Wiastuti terharu dan gembira karena Relawan Tzu Chi benar-benar memberi perhatian dari pertama survei, membawa ke dokter mata sampai akhirnya dioperasi.
Belajar dari Pengalaman Orang Lain

Belajar dari Pengalaman Orang Lain

01 Oktober 2010
Pelatihan untuk relawan abu putih kembali digelar oleh Tzu Chi Kantor Perwakilan Batam, pada hari Minggu 29 Agustus 2010. Hari itu, pagi-pagi sekali Lulu Shijie sudah tiba dari Jakarta, untuk membagi pengalaman dengan relawan Batam
Keteguhan hati dan keuletan bagaikan tetesan air yang menembus batu karang. Kesulitan dan rintangan sebesar apapun bisa ditembus.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -