Cinta Kasih yang Tulus dan Murni

Jurnalis : Wie Sioeng (He Qi Timur), Fotografer : Neysa (He Qi Timur)
 
 

fotoWalaupun sakit, Tante Sisca masih dapat mengenali Relawan Tzu Chi yang datang berkunjung dengan baik.

""Binalah cinta kasih yang tulus dan murni. Hati tidak akan risau bila tidak mengharapkan pamrih dalam memberikan cinta kasih," kata Perenungan Master Cheng Yen.

Perjalanan Hidup Sepasang Manusia
Kisah ini berawal dari seorang guru muda bernama Susatyo Widyasuharja atau biasa kami panggil Om Susatyo. Sekitar tahun 1970-an, dia mengarungi permulaan langkah kehidupannya di sebuah sekolah swasta di wilayah Jakarta Pusat. Saat itu, dia mengabdi sebagai seorang guru SMP yang mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris.  

Pada hari Raya Imlek tahun 1976, Om Susatyo datang bersilaturahmi ke rumah Ketua Yayasan yang telah memberikannya izin tinggal di lingkungan sekolah, untuk mengucapkan terima kasih. Om Susatyo oleh Ketua Yayasan itu lantas diperkenalkan dengan saudaranya yang bernama Fransisca Darmawan atau lebih akrab kami panggil Tante Sisca.

Setelah kurang lebih 4 bulan berkenalan dan merasa usia mereka sudah cukup matang (sekitar 37 tahun), maka pada tanggal 27 Februari 1976, mereka pun menikah. "Tante Sisca masih bekerja dan sehat untuk bersama membangun rumah tangga. Ketika itu Tante Sisca pernah menjadi seorang sekretaris dari seorang Duta Besar sebuah Negara tetangga, selanjutnya staf akunting dan departemen kredit sebuah bank swasta,” kata Om Susatyo. “Dan semua itu harus berakhir ketika Tante Sisca menderita sakit yang didiagnosa oleh dokter sebagai penyakit gangguan kejiwaan", lanjut Om Susatyo memulai ceritanya ketika kami berkunjung ke rumahnya di hari Kamis yang senja tanggal 28 Januari 2010.

Menjalani Kehidupan Dengan Ketulusan Dan Penuh  Kasih
Pada tahun-tahun awal pernikahan, pasangan suami istri ini tinggal bersama dengan keluarga besar tante Sisca. Setelah beberapa lama, barulah mereka tinggal di rumah sendiri.  Sebelum menikah, om Susatyo mula-mula hati kecilnya ragu karena dia mendengar bahwa Tante Sisca ini agak stress. Di saat pertemuan pertama itulah, dia melihat keadaan tante yang terlihat tersisih di keluarga, kurang perhatian. Dia pun merasa, keadaan tante Sisca sama seperti dirinya. Timbulah rasa kasihan, senasib, berbagi, dan memberi perhatian. 

Sejak Tante Sisca menderita sakit jiwa, kehidupan mereka seperti tersisihkan dari keluarga dan lingkungan. Hari-hari yang mereka jalani selanjutnya hanya berdua saja. Awalnya ada kekecewaan di hati Om Susatyo, namun dia segera menyadari dan menerima kenyataan ini dengan tulus penuh rasa cinta. Dia merawat Tante Sisca, istri tercintanya.

foto  foto

Ket : - "Dia orangnya baik, sabar dan sayang sama saya", ujar Tante Sisca mengenai suaminya. (kiri)
          -Karena selokan yang mampet dan atap dapur yang bocor membuat rumah ini selalu kebanjiran             jikala musim penghujan tiba. (kanan)

Pernah ada di suatu hari, seorang tetangga yang menyuruhnya memasukkan Tante Sisca ke Rumah Sakit Jiwa, namun dengan tenang Om Susatyo menjawab, “Tuhan saja tidak membeda-bedakan umat-Nya, seperti matahari yang menyinari rumah gedongan dan selokan dengan cahaya-Nya, tanpa memilah-milah.”

Beberapa tahun lalu, Tante Sisca pernah tertabrak mobil sehingga tulang pinggul sebelah kanannya retak. Akibatnya, kini Tante Sisca harus menggunakan tongkat untuk berjalan. Hal yang paling ditakuti oleh Tante Sisca adalah suatu saat suaminya akan meninggalkannya. Padahal, di hati Om Susatyo, dia selalu melindungi istrinya dan tidak pernah sedikitpun terbersit dibenaknya akan meninggalkan Tante Sisca.

Tak terasa, perjalanan penuh kasih mereka berdua ini sudah berjalan 33 tahun lamanya. Karena keadaan ekonomi keluarga dan penyakit yang didera Tante Sisca, mereka pun memilih untuk tidak memiliki keturunan. Meski akhirnya kehilangan kesempatan untuk belajar merawat seorang anak, namun ada sedikit kebahagiaan bagi Om Susatyo. Di sekolah tempat dia mengajar, anak-anak murid cukup akrab dan dekat kepadanya. "Mungkin naluri kebapakan saya timbul terhadap mereka," kata Om Susatyo kepada kami.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, keluarga ini mengandalkan dana pensiun dan dana bantuan dari gereja yang diberikan setiap bulan. Keterbatasan ekonomi membuat kondisi rumah menjadi tak terurus dan tak dapat diperbaiki. Setiap memasuki musim penghujan, mereka selalu was-was karena keadaan atap dapur dan kamar mandi yang selalu bocor. Belum lagi, air pun menjadi meluap hingga ke seluruh ruangan.

Keadaan itu makin berat karena sudah 1 tahun ini, Om Susatyo tak lagi dapat mengajar karena sekolah tempat dia mengabdi hampir 47 tahun lamanya ditutup. Keterbatasan fisik juga menjadi kendala bagi mereka saat memperbaiki rumah. Usia Om Susatyo saat ini 72 tahun sementara Tante Sisca 66 tahun. 

foto  foto

Ket : - Ketiadaan biaya dan keterbatasan fisik membuat atap dapur rumah Om Susatyo dan Tante Sisca rusak             parah karena kebocoran.  (kiri)
          - Kini, rumah Om Susatyo tak lagi kebanjiran, atap dapur yang bocor dan selokan yang mampet kini telah             selesai diperbaiki. (kanan)

Seulas Senyum dan Tawa Dalam Setiap Kunjungan
Perkenalan Om Susatyo dan Tante Sisca dengan para relawan Tzu Chi diawali dengan adanya pemberitaan tentang kegiatan Yayasan Buddha Tzu Chi dalam Program Bebenah Kampung di Kelapa Gading yang dibacanya dari Tabloid Tempo Gading sekitar bulan Maret 2009.

Sekitar bulan Agustus 2009, Om Susatyo mengajukan permohonan bantuan perbaikan kebocoran atap dapur rumahnya ke Yayasan Buddha Tzu Chi. Beberapa waktu kemudian, datanglah relawan Tzu Chi dari Hu Ai Kelapa Gading melakukan survei ke rumahnya. Setelah melewati proses survei, permohonannya dikabulkan oleh Tzu Chi. Maka dimulailah pengerjaan perbaikan yang memakan waktu sepuluh hari lamanya. “Yang membuat (Om Susatyo) senang adalah ternyata beberapa saklar yang rusak akibat bocor dan aliran air di kamar mandi yang mampet juga ikut diperbaiki,” ungkapnya dengan wajah ceria dan penuh senyum kepada kami.  

Dia pun mengatakan tak lagi merasa was-was jika hujan turun setelah adanya perbaikan dari Yayasan Buddha Tzu Chi. Sebelumnya, kalau hujan turun ia tidak tidur karena kebocoran dan air yang meluap dari saluran kamar mandi yang mampet. "Sekarang kami berdua tidak merasa sepi dan sendirian karena sering ada kunjungan dari para relawan", katanya.

Dia dan istrinya  merasa senang dan terharu serta sangat berterima kasih kepada Master Cheng Yen. "Karena Master Cheng Yen maka berdiri Yayasan Buddha Tzu Chi dengan barisan para relawan yang banyak membantu kaum papa dan terpinggirkan  dan bekerja  tanpa imbalan apapun ..... hebat sekali", katanya penuh haru.

Saat ini, Tante Sisca masih rutin mengonsumsi obat dari dokter. Karena menurut dokter, jika tidak maka emosi Tante Sisca bisa tidak stabil. Hal ini diamini oleh Om Susatyo yang mengatakan memang benar jika tidak mengonsumsi obat, Tante Sisca bisa meledak tiba-tiba. Tak terasa hari semakin senja, ketika kami pamit pulang rona wajah gembira masih terlihat di wajah mereka berdua. "Datang lagi, ya", katanya sambil melambaikan tangan.

  
 
 

Artikel Terkait

Siswa Belajar Bersatu Hati dan Menjalin Keharmonisan

Siswa Belajar Bersatu Hati dan Menjalin Keharmonisan

17 September 2013

Pada tanggal 23 agustus 2013 merupakan sebuah hari yang penuh dengan semangat, sekolah Sekolah Dasar Tzu Chi Indonesia menyelenggarakan kegiatan hari olahraga.

Bahagianya Berbuka Bersama

Bahagianya Berbuka Bersama

01 Juli 2016
Tzu Chi Tanjung Balai Karimun mengadakan Buka Puasa Bersama pada Sabtu, 25 Juni 2016. Kegiatan ini dihadiri oleh 33 keluarga penerima bantuan Tzu Chi dan 52 relawan Tzu Chi yang turut membantu kelancaran kegiatan
Menghimpun Kebajikan, Meningkatkan Jiwa Kebijaksanaan

Menghimpun Kebajikan, Meningkatkan Jiwa Kebijaksanaan

23 Juni 2023

Komunitas relawan He Qi Cemara yang merupakan bagian dari Tzu Chi Medan mengadakan pelatihan relawan Abu Putih III. Pelatihan ini diisi rangkaian sesi yang mempersiapkan para relawan terjun di tengah masyarakat untuk menghimpun kebajikan serta meningkatkan jiwa kebijaksanaan.

Ada tiga "tiada" di dunia ini, tiada orang yang tidak saya cintai, tiada orang yang tidak saya percayai, tiada orang yang tidak saya maafkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -