Kebaikan Berbalas Kebaikan

Jurnalis : Apriyanto , Fotografer : Apriyanto
 
foto

* Lubang berukuran kurang lebih 60 cm x 60 cm adalah pintu masuk menuju tempat tinggal Tan Ai Ming dan putranya. Tepat dibalik tembok tersebut berdiri sebuah kandang kambing yang terbuat dari papan tua bertiang dolken.

Hidup bagaikan surga manakala kebahagiaan itu datang, tetapi hidup dapat menjadi neraka manakala derita datang. Warnanya yang selalu berubah-ubah membuat manusia selalu berjuang meraih warna yang diimpikannya. Karena itu, hidup adalah perjuangan. Setiap orang tentu memiliki kisah perjuangan hidupnya masing-masing. Demikian pula dengan Tan Ai Ming yang memiliki kisah hidup yang dramatis sebagai orang yang pernah sukses di negeri rantau, kini harus rela hidup dalam kandang kambing. Kamis, 26 Febuari 2009, kami bertolak dari Sunter Mall menuju taman BMW, Sunter, Jakarta Utara yang lebih tepatnya adalah sebuah lapangan luas bekas bongkaran, dipagari oleh tembok beton setinggi dua meter.
Di balik tembok tinggi itu tidak banyak yang tersisa selain puing-puing sisa reruntuhan bangunan dan sampah-sampah yang berserakan, juga hanya sedikit tempat tinggal yang terlihat. Itu pun gubuk-gubuk reot beratap terpal dengan dinding yang terbuat dari triplek dan berpilar bambu. Sesekali terlihat kawanan kambing berkeliaran mencari rumput di antara tumpukan sampah. Bau sampah yang dibakar terasa menyengat hidung, ditambah dengan bau kotoran kambing yang tersebar dimana-mana.

Perjalanan menyusuri lapangan luas ini sudah mendekati ujung, tetapi kandang kambing yang kami tuju masih juga belum terlihat. Hingga di ujung lapangan kami berhenti. Salah satu relawan, Yudi Tjahyadi mengatakan, "Itu di balik tembok itu adalah tempat tinggalnya, kita harus masuk melalui lubang itu." Lubang berukuran kurang lebih 60 cm x 60 cm adalah pintu masuk menuju tempat tinggal Tan Ai Ming. Tepat dibalik tembok beton berdiri sebuah kandang kambing yang terbuat dari papan tua bertiang dolken dan beratapkan terpal. Miris memang. Itulah yang dapat kami rasakan setelah menyaksikan apa yang terlihat di depan mata. Bagaimana tidak, di balik tembok yang kokoh ada derita seorang anak manusia yang hidup dalam kandang reot tanpa daun pintu, tanpa jendela, tanpa tetangga, dan tanpa saudara.

Runtuhnya Mahligai Kebahagiaan
Menurut Tan Ai Ming, tinggal di daerah bekas bongkaran yang kumuh adalah suatu cerita panjang. Jauh sebelum ia tinggal di tempat ini, ia pernah merasakan indahnya hidup dalam keberadaan dan manisnya kemewahan. "Dulu saya usaha berhasil, saya punya tiga rumah di daerah Sunter dan 10 kios di Mangga Dua," Akunya. Menurutnya, satu hal yang menyebabkan ia jatuh dalam kesusahan lebih disebabkan karena semua aset-aset yang dimilikinya tidak diatasnamakan sendiri, melainkan atas nama istrinya. "Dulu saya masih status WNA (Warga Negara Asing) jadi tidak bisa beli rumah di sini. Semua saya beli atas nama istri, tapi akhirnya satu persatu aset dijual tanpa sepengetahuan dan seijin saya," kenangnya dengan sedih.

Kesulitan Tan tidak sampai di sini. Selain banyak kehilangan aset, ia juga harus menerima kenyataan kalau istrinya menderita sakit jantung. Banyak biaya yang harus ia keluarkan untuk mengobati istrinya. Hingga akhirnya pada tahun 1999 karena penyakit yang tak kunjung sembuh, istrinya akhirnya meninggal dunia. Semenjak itu ia mulai hidup berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainya. Menurut Tan, tak satu kontrakan pun yang bisa ia tinggali dengan lama. Ini disebabkan karena anak lelaki pertamanya, Untung Pranoto mengalami retardasi mental (gangguan perkembangan inteligensi) sehingga dirasa mengganggu oleh warga di lingkungan tempatnya tinggal. "Saya sudah beratus-ratus kali pindah kontrakkan, bahkan pernah baru masuk satu jam sudah diusir lagi karena tidak bisa menerima keberadaan anak saya," keluhnya.

foto  foto

Ket : - Tan Ai Mng saat menyerahkan sepucuk surat berisi ucapan terima kasih untuk Tzu Chi kepada salah
           seorang relawan Tzu Chi, Yopie Budiyanto. (kiri)
         - Kandang kambing yang sebagian dijadikan tempat tinggal oleh Tan Ai Ming dan putranya yang mengalami
           retardasi mental (gangguan perkembangan mental). (kanan)

Pertemuan dengan Relawan Tzu Chi
Menurut Yopie Budiyanto relawan Tzu Chi, setelah Tan Ai-ming mengajukan bantuan kepada Tzu Chi, ia bersama beberapa relawan bergegas mencari alamat yang telah tertera dalam surat permohonannya. Ternyata pencarian alamat kali ini tidaklah semudah dari pengalaman sebelumnya. Karena kali ini Yopie harus menyusuri kawasan kumuh di pingiran Sunter. Setelah tiga kali pencarian, akhirnya ia menemukan juga keberadaan Tan Ai Ming yang saat itu tinggal hanya berdua bersama anak lelakinya Untung Pronoto, sedangkan putrinya Intwati tinggal di salah satu familinya di daerah Sunter dan kini telah bekerja di salah satu toko mas di Mall Taman Angrek, Jakarta Barat. Suasana haru langsung menyelimuti momen pertemuan Tan dengan relawan Tzu Chi. Menurut Tan, dari sekian banyak orang dan yayasan yang ia mintakan bantuan, hanya Tzu Chi yang benar-benar datang dan mau memperhatikan dirinya.

Saat itu permohonan Tan Ai Ming hanyalah bantuan kontrakan rumah karena ia berharap dengan mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik ia dapat fokus untuk mencari kerja. Selain itu, kontrakan yang layak juga bertujuan untuk masa depan putrinya kelak jika suatu saat putrinya mempunyai tunangan, dan tidak menjadi penghalang bagi putri dan calon menantunya.

Setelah survei dilakukan, maka permohonan Tan Ai Ming disetujui oleh yayasan, dan mulailah Tan Ai Ming mencari kontrakkan yang sesuai untuknya. Namun dalam kenyataanya ia kembali mengalami penolakan. "selama saya berhubungan dengan Tan, ia sudah 6 kali pindah kontrakan dan itu semua karena tetangga-tetangganya merasa terganggu dengan perilaku anaknya," terang Yopie.

Terakhir, Tan memutuskan kembali ke daerah bongkaran di Sunter, yakni Taman BMW. Di Taman BMW inilah akhirnya Tan bertemu dengan kenalannya, seorang Haji yang berasal dari Subang. Karena iba pula, akhirnya Pak Haji mengijinkan Tan untuk menempati sebagian dari kandang kambingnya dan menyerahkan kambing-kambingnya untuk dirawati oleh Tan. Mengetahui Tan meninggalkan kontrakannya dan kembali menempati daerah bongkaran, Yopie segera menemuinya. Di tempat inilah Yopie menemukan Tan yang tinggal bersebelahan dengan kambing-kambing gembalaannya. Di tempat ini Tan memang tidak menerima teguran atau gangguan dari warga sekitar, namun ia harus rela tinggal di tempat yang sangat tidak layak.

foto  foto

Ket : - Kondisi Untung yang mengalami retardasi mental membuatnya selalu menerima penolakan di lingkungan
           tempat tinggalnya. (kiri)
        - Menurut Tan, ia tidak ingin memberikan kepahitan yang sama kepada orang lain. Dari pengalaman pahitnya,
           ia justru ingin membuktikan bahwa manusia harusnya saling tolong menolong. Karena manusia harus bisa
           memberikan hatinya kepada orang lain. (kanan)

Syukurlah, meski Tan telah lanjut tua dan memiliki seorang anak yang mengalami retardasi mental, tapi ia tidak mau menyerah pada keadaan. Satu hal yang membuat Tan memiliki ketegaran hidup dalam kesusahan adalah keyakinannya kepada Tuhan. "Semua yang tahu hanya Tuhan. Kita manusia hanya bisa berusaha, yang penting manusia tidak boleh tangan panjang dan omongan harus benar. Masa lalu biarlah berlalu, jangan lagi disesali, yang penting sekarang kita mau berusaha," tegas Tan.

Tan juga seorang yang berjiwa besar. Jiwa sosialnya tetap ia pancarkan meskipun hidup dalam himpitan kesulitan. Terbukti saat perayaan Imlek para relawan membawakan Tan bingkisan, tetapi oleh Tan bingkisan sembako itu ia bagikan kembali kepada warga tidak mampu yang tinggal di Taman BMW. "Meski kita tidak mampu, tapi kita harus saling membantu. "Bisa tunjuk jalan tunjuk jalan, bisa kasih uang kasih uang, bisa kasih tenaga kasihlah tenaga," terangnya. Menurut Tan, ia telah mengalami banyak kesusahan dan penolakan dari banyak orang karena itu ia tidak ingin memberikan kepahitan yang sama kepada orang lain. Hingga dalam sebuah surat ia menuliskan pesan yang sangat puitis: "Mendaki langit itu susah, tetapi meminta tolong kepada manusia jauh lebih susah. Kertas itu tipis, tetapi cinta kasih manusia jauh lebih tipis." Dari peristiwa ini Tan justru ingin membuktikan bahwa manusia harusnya saling tolong-menolong, terlepas ia orang susah atau tidak, dikenal ataupun tidak. "Karena manusia harus bisa memberikan hatinya kepada orang lain," kata Tan.

 

Artikel Terkait

Jangan Menunda Berbuat Baik

Jangan Menunda Berbuat Baik

14 Oktober 2019

Relawan komunitas Hu Ai Medan Barat mengadakan kegiatan donor darah pada Minggu, 6 Oktober 2019 bekerja sama dengan PMI Batam. Para relawan sangat antusias dalam mengajak masyarakat untuk donor darah, dengan menempelkan brosur-brosur donor darah di rumah makan vegetarian dan lainnya.

Suara Kasih : Menggalang Bodhisatwa Dunia

Suara Kasih : Menggalang Bodhisatwa Dunia

04 November 2010 lebih dari 1.000 relawan bersumbangsih dalam upaya pembersihan lokasi bencana di Yilan. Semua orang bersatu hati karena tinggal di wilayah yang sama. Karena itu, saya berharap dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat lebih giat berkontribusi bagi masyarakat dan menggalang Bodhisatwa dunia.
Keindahan sifat manusia terletak pada ketulusan hatinya; kemuliaan sifat manusia terletak pada kejujurannya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -