Membantu Hingga Tuntas

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Anand Yahya
 
foto

Relawan Tzu Chi saat mengunjungi Khaedah dan Husin, pasien yang ditangani Tzu Chi di Pulau Cipir, Kepulauan Seribu. Sejak berobat di RSKB Cinta Kasih, Khaedah tak lagi merasakan nyeri di matanya.

Jika menjelang tahun baru tiba, Husin dan Khaedah bisa sedikit bernafas lega. Selain pundi-pundinya bertambah, suami-istri ini pun bisa bertemu banyak orang. Tapi ketika musim liburan usai (Sabtu dan Minggu), keduanya kembali kepada rutinitas, menjaga pulau yang pernah menjadi rumah sakit dan karantina Pemerintah Belanda di era tahun 1800-an.

Setelah berperahu motor hampir 40 menit lamanya, tibalah saya dan 10 relawan Tzu Chi ke Pulau Cipir –pulau yang banyak meninggalkan jejak sejarah, namun terkesan kurang terawat kondisinya. Begitu menjejakkan kaki di atas dermaga, kesan angker dan kusam sangat terasa. Sisa-sisa reruntuhan gedung yang dibangun pada abad ke-18 masih terlihat jelas di pulau yang hanya dihuni oleh satu keluarga ini. Sebuah meriam peninggalan perang Belanda-Inggris di Teluk Batavia (1800-1810) menyambut langkah kami mengunjungi Husin dan Khaedah, pasien yang ditangani Tzu Chi.

Tidak mudah menjalani kehidupan seperti yang dilakukan Husin (70) dan Khaedah (50). Suami-istri ini menjadi satu-satunya penghuni tetap Pulau Cipir, yang termasuk dalam salah satu gugusan pulau di Kepulauan Seribu, yang masih termasuk ke dalam wilayah Propinsi DKI Jakarta. Sejak tahun 1983, Husin yang asli Makassar ini menghuni pulau ini seorang diri, sekaligus menyandang tanggung jawab dari Dinas Pariwisata Pemprov DKI Jakarta menjaga pulau yang dulu luasnya mencapai 8 hektar, namun kini hanya tinggal 4 hektar akibat tergerus air laut (abrasi). Tahun 1985, barulah ia menikahi Khaedah dan tinggal bersama di pulau ini.

Tapi kebekuan suasana segera mencair ketika Husin menyambut kedatangan kami di pintu masuk pulau pada hari Selasa, 7 Oktober 2008. Seolah sudah saling akrab, tanpa canggung Husin menyalami satu per satu relawan Tzu Chi dan membimbingnya ke warung yang juga berfungsi sebagai tempat tinggalnya. “Gimana ibu, sudah baikan matanya?” tanya Li Wan, relawan Tzu Chi. Khaedah yang baru sebulan lalu berobat di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat pun buru-buru menyahut, “Baik. Sudah nggak sakit lagi sekarang.” Meski mata sebelah kanannya sudah tak bisa melihat lagi, tapi Khaedah tetap bersyukur karena rasa sakit dan nyeri di matanya itu telah hilang. Begitu pula dengan Husin, yang mengaku sudah tak mengalami sesak nafas lagi sejak berobat di RSKB Cinta Kasih.

foto  foto

Ket : - Setelah menempuh perjalanan laut hampir 40 menit dari Kamal, Jakarta Barat, para relawan Tzu Chi
           akhirnya sampai di Pulau Cipir, Kepulauan Seribu. Perjalanan yang sulit tak menghalangi niat relawan untuk
           memberi perhatian kepada yang membutuhkan. (kiri)
         - Relawan Tzu Chi terus memberi dukungan dan semangat kepada Khaedah dan suaminya. Ini merupakan
           kunjungan kasih yang rutin dilakukan relawan Tzu Chi kepada setiap pasien yang ditangani Tzu Chi. (kanan)

Dua Kali Gagal Berobat
Awalnya Khaedah tak menyangka jika sakit yang mendera mata sebelah kanannya akan membuatnya buta. Kini di usianya yang separuh abad, wanita asal Indramayu, Jawa Barat ini hanya mengandalkan sebelah mata kirinya untuk melihat. “Biar sekarang cacat (buta –red), yang penting saya mah nggak terasa sakit lagi aja,” ujar Khaedah pasrah. Dengan lancar, wanita yang memiliki 7 anak dari perkawinannya yang pertama (Husin suami kedua) ini menceritakan ikhwal sakit yang mendera matanya sejak 5 bulan silam. “Pas saya bangun tidur, tiba-tiba mata yang kanan sakit, kaya ditusuk gitu, terus keluar air mata nggak habis-habis dan merah sekali. Sakitnya bukan main,” kata Khaedah mengenang.

Lantaran menganggap sebagai sakit mata biasa, maka Khaedah pun mengobatinya dengan obat tetes mata biasa. Alhasil, rasa sakit dan nyeri itu pun tak kunjung hilang. Akhirnya dengan uang tabungannya, Khaedah berobat ke puskesmas di Kamal, Jakarta, diantar suaminya dengan naik perahu motor miliknya. “Sekali bolak-balik butuh solar 4 liter,” kata Husin. Jadi, selain butuh biaya untuk berobat, mereka juga harus menyediakan biaya untuk transportasi, mengingat mereka tinggal di pulau yang dikelilingi lautan. Karena uang simpanan sudah habis, sementara penyakit tak kunjung hilang, maka Khaedah dan suaminya hanya bisa pasrah. “Yah, paling dikasih obat tetes mata aja. Sakit hilang sebentar, terus kambuh lagi,” kata Khaedah.

Beruntung, dalam kondisi yang sulit seperti itu, Khaedah dan Husin bertemu dengan Suryanto, seorang pemancing yang hobi memancing di laut. “Saya lihat kondisi matanya dah parah, jadi saya sarankan untuk berobat di RSKB Tzu Chi,” kata Suryanto yang memang sudah lama mengenal Tzu Chi. Oleh Suryanto, kasus ini kemudian disampaikan ke temannya yang relawan Tzu Chi dan dilaporkan ke Tzu Chi. Seminggu kemudian, relawan Tzu Chi menyurvei kondisi Husin dan Khaedah. “Begitu kami lihat kondisinya, ibu ini memang harus segera dibantu,” kata Li Wan, relawan Tzu Chi. “Sebelumnya dia juga dah pernah berobat sendiri, tapi nggak tuntas karena kehabisan biaya,” tambah Chandra, relawan lainnya.

Meski sudah menemukan jalan, tapi tidak mudah bagi Khaedah untuk berobat. Ia sudah tak lagi memiliki biaya untuk berangkat ke Jakarta. Terlebih, sejak tahun 2003, Husin tak lagi menerima gaji dari pemerintah, sementara mengandalkan penghasilan dari warung sangat tak memungkinkan. “Warung ini ramainya hanya hari libur aja, hari biasa sepi nggak ada pengunjung,” kata Khaedah. Akhirnya, dengan tekad untuk sembuh, Husin dan Khaedah mengumpulkan botol-botol plastik yang terdampar di Pulau Cipir. “Dah kekumpul untuk beli solar, eh pas mau berangkat, solarnya hilang diambil orang,” keluh Khaedah. Akibatnya Khaedah pun urung berobat ke RSKB Cinta Kasih.

Tidak putus harapan, mereka pun bersiap menjual 4 ekor ayam piaraan mereka untuk ongkos ke Jakarta. Tapi, lagi-lagi cobaan menghampiri mereka. Ayam yang sudah dipersiapkan, ternyata hilang juga diambil orang. Maka, mulailah Husin dan Khaedah mengumpulkan kembali botol-botol plastik untuk dijual. Ditambah dengan hasil panen kerang hijau mereka, Khaedah pun akhirnya bisa berobat ke RSKB Cinta Kasih. Bahkan bukan hanya Khaedah yang berobat, Husin pun ternyata menderita paru-paru basah dan akhirnya juga ditangani oleh Tzu Chi.

foto  foto

Ket : - Di Pulau seluas hampir 4 hektar inilah, Husin dan Khaedah tinggal. Mereka merupakan satu-satunya
           keluarga yang tinggal di pulau ini. Mereka harus menggunakan perahu sabagai sarana transportasi
           ke Jakarta. (kiri)
         - Sebagai penjaga Pulau Cipir, Husin harus mencari kerja tambahan untuk menghidupi istri dan
           anak-anaknya. Membuka rumah makan dan memelihara kerang merupakan cara untuk menutupi
           penghasilannya yang tak seberapa. (kanan)

Oleh dokter, mata Khaedah divonis tak bisa melihat lagi. “Ini karena kornea matanya pecah, dan juga terlambat penanganannya,” kata Suryanto yang ikut mendampingi proses pengobatan Khaedah dan Husin. Sebenarnya, jika dalam waktu kurang dari tiga hari kornea mata itu pecah Khaedah cepat dibawa ke rumah sakit, maka Khaedah tak perlu kehilangan penglihatannya. Di RSKB Cinta Kasih, Khaedah diberi obat untuk menghilangkan rasa sakit dan mencegah infeksi. “Segini aja saya dah bersyukur, yang penting saya mah nggak ngerasa sakit lagi,” kata Khaedah yang menampik tawaran dokter untuk dipasangi bola mata palsu.

Berobat Hingga Sembuh
Meski harus menempuh perjalanan yang sulit dan melelahkan –menumpang perahu, tapi tetap tidak menghalangi para relawan untuk terus memberi perhatian dan semangat kepada kedua suami-istri ini. Menurut Li Wan, kunjungan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi Khaedah dan Husin pasca berobat di RSKB Cinta Kasih. “Saya senang sekali, ternyata kondisi Ibu Khaedah dan Bapak Husin sudah jauh lebih baik sekarang,” kata Li Wan yang mengaku baru pertama kali menangani kasus seperti ini.

Seperti pesan Master Cheng Yen untuk membantu menangani pasien hingga tuntas, para relawan Tzu Chi pun terus memantau kondisi Khaedah dan Husin. “Kunjungan dan pengobatan untuk mereka akan terus dilanjutkan hingga sembuh,” janji Li Wan dan didukung relawan Tzu Chi lainnya.

 

Artikel Terkait

Menebar Cinta Kasih Di Bulan Ramadan

Menebar Cinta Kasih Di Bulan Ramadan

07 Juni 2018
Pada Jumat, 1 Juni 2018, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia membagikan bingkisan lebaran kepada warga kurang mampu di wilayah Kecamatan Penjaringan. Sebanyak 1500 bingkisan lebaran dibagikan kepada warga di tiga RW yang masuk dalam wilayah Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Hidup Serba Terbatas Karena Katarak

Hidup Serba Terbatas Karena Katarak

30 Juli 2018

Untuk meredam tingginya angka penyakit katarak Kodim 0612 Tasikmalaya menggandeng Tzu Chi Indonesia sekaligus Dinkes Tasikmalaya mengadakan baksos yang screeningnya dilakukan pada Sabtu (28/07/18).

Suara Kasih : Menciptakan Berkah

Suara Kasih : Menciptakan Berkah

02 Juli 2010
Kita semua adalah orang yang penuh berkah. Saya sendiri pun merasa sangat penuh berkah. Kita semua adalah orang yang penuh berkah karena dapat berkumpul dan menciptakan berkah bersama.  Ini semua merupakan berkah bagi kita.
Lebih mudah sadar dari kesalahan yang besar; sangat sulit menghilangkan kebiasaan kecil yang buruk.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -