Suara Kasih : Murninya Anak-anak

 
Judul Asli:
Merangkul Alam Semesta

Kesadaran dan benih kebuddhaan terpancar dalam diri anak-anak
Membangkitkan harapan yang murni untuk menyayangi semua makhluk
Teguh dalam mensosialisasikan pola hidup vegetarian dan melindungi kehidupan
Membangkitkan hakikat kebuddhaan serta mempraktikkan Jalan Bodhisatwa

“Saya berdoa semoga dunia bebas dari bencana dan kakek tidak lagi mengonsumsi daging hewan. Saya berdoa semoga semua orang dapat bersyukur, memiliki pengertian, dan berlapang dada. Amitabha,” ujar seorang siswa taman kanak-kanak Tzu Chi di Malaysia.

Setiap orang memiliki hakikat kebuddhaan. Ketika kita membangkitkan niat baik, hakikat kebuddhaan akan terpancar. Kita dapat melihat siswa dari TK Tzu Chi di Malaysia yang sangat polos, namun memiliki tekad yang teguh. Mereka sangat dekat dengan hakikat kebuddhaan. Doa yang mereka panjatkan penuh welas asih dan kebijaksanaan. Mengajak orang-orang untuk bervegetarian.

“Saya mengajak para insan Tzu Chi, paman dan bibi, agar dapat bervegetarian selamanya. Hewan-hewan dibunuh karena kita ingin memakannya. Jika kita membunuh ayam berarti kita tak memiliki cinta kasih,” kata siswa TK itu lagi.

Kalian pasti berpikir anak itu hanya berbicara saja dan hanya main-main. Namun, ia tidak main-main. Ia sungguh telah berikrar luhur. Selain dirinya sendiri bervegetarian, ia juga mengajak orang lain untuk bervegetarian.

“Ia menelepon saya dan bertanya apakah saya telah bervegetarian. Ia terus memberi tahu saya untuk bervegetarian. Ketulusannya sungguh menginspirasi saya. Sungguh luar biasa, karena meski masih kecil ia dapat mensosialisasikan pola hidup vegetarian dan tahu untuk tak membunuh hewan,” ujar seorang pemuda yang telah berhasil diajaknya untuk bervegetarian.

“Saya sungguh tersentuh. Saya tak ingin berbohong kepada anak kecil, karena itu saya pun bervegetarian,” kata pemuda itu lagi. “Paman, apakah Paman masih bervegetarian?” tanyanya ke si pemuda. “Ya, masih,” jawabnya.  “Mau bervegetarian sampai kapan?” demikian si anak bertanya lagi. “Sampai saya tua dan meninggal,” jawab si pemuda kembali.
 

Inilah harapan yang murni dari hatinya. Ia juga berharap kakeknya dapat bervegetarian. Suatu hari, ketika melihat pembantu di rumah kakeknya membunuh dan memasak kepiting, ia pun terdiam. Ketika ingin meninggalkan rumah kakeknya dan masuk ke mobil, ia mulai menangis. Ibunya bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Ia pun menjawab  “Saya tak ingin berdoa kepada Buddha lagi.” Ibunya bertanya, “Mengapa tak ingin berdoa kepada Buddha lagi?”

Ia menjawab, “Karena setiap hari saya berdoa kepada Buddha dan Bodhisatwa semoga semua orang memiliki hati penuh cinta kasih dan kakek dapat bervegetarian, namun Bodhisatwa tidak mendengar doa saya.”

“Saya tak mau berdoa lagi.” Kemudian, gurunya menjelaskan kepadanya bahwa doa kita yang penuh ketulusan belum tentu langsung terkabul. Kita harus terus berdoa dalam jangka panjang. Ia pun mengerti dan mulai percaya diri untuk berdoa lagi.

Lihatlah, kita harus melindungi niat baik dan keyakinan dalam diri anak sebaik mungkin. Bila tidak, ia akan berpikir mengapa sudah berdoa bertahun-tahun, kakeknya masih tetap makan daging. Namun, akhirnya, kakeknya pun tersentuh oleh ketulusan anak itu dan mulai bervegetarian.

Ada pula seorang anak dari Malaysia yang bernama Lye Zhang Cheng. Ia tahu bahwa ketidakselarasan empat unsur alam mengakibatkan banyak bencana terjadi. Ia mengetahui hal ini dan mulai bervegetarian. Ia berkata bahwa dengan bervegetarian, kita dapat menolong bumi.

Suatu hari, ia pergi ke pasar bersama neneknya dan melihat seorang penjual daging. “Saat itu saya melihat seorang penjual daging. Saya pun berkata padanya apa yang diajarkan oleh Ibu Guru tentang makan daging. Ia tidak percaya dan mengatakan bahwa ibu guru berbohong,” kata Lye Zhang Cheng.

“Apa yang kamu lakukan ketika bertemu orang seperti itu?” saat ditanya oleh insan Tzu Chi. Saya terus menjelaskan kepadanya secara berulang-ulang, namun ia tidak mau dengar. Ia tidak percaya. “lalu apakah kamu terus membujuknya?” tanya insan Tzu Chi kembali.”Ya.” jawabnya.

“Mengapa kamu terus membujuknya?” pertanyaan kembali diajukan oleh insan Tzu Chi. “Karena demi memengaruhi semua orang di bumi. Jika saya tidak teguh dan menyerah begitu saja, maka penjual daging itu tak akan tahu tentang pelestarian lingkungan. Ia akan membunuh lebih banyak hewan dan merusak bumi,” pungkas Lye Zhang Cheng.

Anak kecil seperti dirinya pun memiliki komitmen yang kuat.
Para Bodhisatwa sekalian, bolehkah kita tidak memahami alasan bervegetarian dan tak membunuh hewan? Membunuh hewan berarti tak menghargai kehidupan dan mengikis kebijaksanaan kita sendiri. Selain itu, juga mengakibatkan kerusakan pada lingkungan dan alam semesta, Empat unsur alam sudah tidak selaras. Pencemaran udara adalah akibat dari pengembangan industri yang berlebihan dan peternakan.

Demi memuaskan nafsu makan, banyak hewan diternak dan akhirnya dibunuh. Ini sungguh merupakan lingkaran yang buruk. Beberapa hari lalu, saya mendengar seorang guru SD Tzu Chi bercerita tentang salah seorang siswanya. Siswa tersebut berusia 8 tahun dan merupakan anak pindahan dari Amerika Serikat.

Sejak berusia 3 tahun, ia telah bertekad untuk bervegetarian karena ia pernah menyaksikan hewan dibunuh. Ia merasa tidak tega. Di samping itu, ia sangat menyukai sapi. Ia berkata bahwa ia sangat menyukai sapi dan ingin melindunginya.

“Mengapa?” tanya insan Tzu Chi. Ia menjawab, “Karena manusia tumbuh besar berkat minum susu, namun kita masih membunuh sapi untuk dimakan.” “Sungguh tidak adil.” “Kita harus menyayangi sapi.” “Kita harus menyayangi sapi.”

Lihat, ia memperlakukan hewan bagai manusia, dengan penuh rasa syukur dan berniat membalas budi mereka. Coba pikirkan, anak kecil memiliki hati yang paling murni. Hakikat kebuddhaan mereka jernih terpancar. Hakikat kebuddhaan ada pada setiap orang tanpa memandang usia.

Semakin muda usia seseorang, ia semakin dekat dengan hakikat kebuddhaan. Semakin tua usia seseorang, ia semakin menjauh dari hakikat kebuddhaan. Ini karena manusia terus terkena pengaruh buruk lingkungan. Semakin tua, kita semakin terpengaruh dan lebih sulit untuk melepaskan diri.

Saudara sekalian, mari bandingkan diri kita dengan anak kecil. Seharusnya, apakah anak kecil yang mengajari kita atau sebaliknya? Masyarakat kini penuh dengan berbagai masalah, dan di dunia ini, bencana banyak terjadi dan membawa kerusakan. Penyebab semua ini adalah kurangnya cinta kasih dalam setiap individu, karena kita telah mengubur cinta kasih dalam diri kita.

Ketika harus bersumbangsih bagi orang lain, cinta kasih kita terlalu kecil, bahkan tidak ada sama sekali. Kita semua sungguh harus berinstropeksi diri. Pagi hari beberapa hari yang lalu, saya melihat siaran berita Da Ai TV yang melaporkan tentang insan Tzu Chi. Para relawan menawarkan diri untuk membantu membersihkan rumah seorang lansia, namun orang tua tersebut terus menolak.

Hingga suatu saat ia jatuh sakit dan tak dapat bergerak, insan Tzu Chi tetap membujuknya dengan sabar. Akhirnya ia pun setuju. Insan Tzu Chi pun segera bergerak untuk membantu membersihkan rumahnya. Melihat mereka bersumbangsih dengan penuh cinta kasih, sungguh melebihi kapasitas orang pada umumnya. Bukankah orang biasa dapat menjadi Bodhisatwa? Ya, kita telah menjadi Bodhisatwa dengan membangkitkan hakikat kebuddhaan.

Diterjemahkan oleh: Lena 
Hakikat terpenting dari pendidikan adalah mewariskan cinta kasih dan hati yang penuh rasa syukur dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -