Bhiksu Tua dan Paku

Cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan adalah arah tujuan kita dalam melatih diri. Cinta kasih berarti memperhatikan semua orang tanpa mementingkan jalinan jodoh; welas asih berarti memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan. Terhadap orang yang tak memiliki hubungan dengan kita, kita tetap harus mengasihi dan menyayangi mereka dengan menggunakan kebijaksanaan.

Untuk memiliki hati penuh cinta kasih dan lapang, kita harus memiliki kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, baru kita dapat memandang semua makhluk secara setara. Untuk melenyapkan penderitaan semua makhluk, dibutuhkan kebijaksanaan. Dengan hati yang penuh welas asih, berarti kita dapat turut merasakan kepedihan dan penderitaan orang lain.

Kehidupan di dunia ini penuh dengan penderitaan. Manusia menghadapi banyak penderitaan dan kesulitan. Manusia merasa menderita saat berpisah dengan orang yang dikasihi, saat mengalami bencana alam dan ulah manusia, saat bertemu berbagai kesulitan dalam hidup, dll. Apa yang dapat kita lakukan? Kita harus menggunakan kebijaksanaan. Kita perlu menggunakan berbagai cara untuk membimbing semua makhluk agar membuka pintu hati.

Bhiksu Tua dan Paku

Ada seorang bhiksu tua yang membangun vihara. Dia mengupahi seniman bangunan untuk membangunnya. Para bhiksu di vihara juga ikut membantu. Saat hanya tersisa pemasangan genting untuk merampungkan pembangunan vihara, mereka membutuhkan banyak paku. Bhiksu tua pergi ke lokasi pembangunan dan melihat setumpuk demi setumpuk paku dengan ukuran yang berbeda-beda di atas tanah, dia lalu menendangnya dengan kaki. Semuanya pun bercampur menjadi satu.

Setelah itu, dia berkata kepada para muridnya,“Paku-paku ini berukuran 2 inci, 3 inci, dan 1 inci. Kalian sortirlah sesuai ukurannya.” Para muridnya merasa keberatan, tetapi tidak berani mengatakannya. Mereka berpikir, “Aneh sekali. Kami sudah bekerja hingga matahari akan terbenam. Mengapa Guru mencampuradukkan paku-paku itu dan meminta kami menyortirnya satu per satu?”

Mereka merasa tidak senang, tetapi tidak berani mengatakannya. Mereka hanya berdiri diam di sana. Melihat para muridnya tidak bergerak, bhiksu tua itu menoleh dan berkata, “Jika menghadapi ini saja kalian tidak siap, lalu apakah saat ajal akan menjemput, kalian bisa memilih waktu yang kalian inginkan?” Para muridnya tiba-tiba tersadarkan. “Ya, kita harus segera memungutnya dan menyortirnya sesuai ukuran.” Mereka segera memungut dan merapikannya.

Hingga tengah malam, mereka baru selesai menyortir semuanya. Mereka lalu melaporkan hal ini kepada guru mereka. Bhiksu tua itu menjawab, “Mau menyortir atau tidak, itu adalah urusan kalian. Tidak ada hubungannya dengan saya.” Para muridnya berpikir dalam hati, “Kami sudah bekerja hingga sedemikian lelah, tetapi guru bahkan tidak memuji kami. Guru malah berkata bahwa ini adalah urusan kami.”

Bhiksu tua kembali bertanya, “Siapa yang meminta kalian melatih diri? Mengapa kalian datang melatih diri?” Salah seorang muridnya menjawab, “Saya datang atas kemauan sendiri.” “Untuk apa kalian membangun vihara di sini?” Seorang muridnya menjawab, “Karena kami ingin memiliki tempat untuk melatih diri dengan tenang.” “Setelah pembangunan vihara rampung, lalu kalian mau apa?” Mereka menjawab, “Kami ingin melatih ajaran Buddha.” “Buddha dan Dharma tidak rusak, mengapa harus kalian latih?” “Ya. Buddha dan Dharma tidak rusak, apa yang harus saya latih?”  Lalu, salah seorang muridnya menjawab, “Saya mengerti. Yang harus dilatih adalah hati kami.”

Saudara sekalian, kita harus melatih hati sendiri. Segala aktivitas di luar memberi kesempatan kepada kita untuk melatih diri. Jadi, melakukan atau tidak, itu adalah urusan kita sendiri. Melatih diri atau tidak, itu adalah urusan kita sendiri. Jadi, kebaikan dan kejahatan bergantung pada diri kita sendiri. Namun, dalam melatih diri, kita harus mengikuti jalan yang benar serta berusaha segenap hati dan tenaga.

Bhiksu Tua dan Paku

Saat jalinan jodoh matang, kita harus bersumbangsih. Contohnya bhiksu tua tadi. Paku-paku itu sudah tertata dengan rapi. Namun, bhiksu tua itu malah mencampuradukkannya, baru meminta murid-muridnya menyortirnya. Setelah murid-muridnya menyortirnya dengan susah payah, dia malah berkata, “Mau menyortir atau tidak, itu urusan kalian.”

Beliau menggunakan berbagai cara, meski pada saat bekerja sekalipun untuk membimbing para muridnya agar menyadari bahwa kita tidak bisa menunggu hingga akhir hayat baru membuat pilihan. Selama masih bisa memilih, kita harus menggenggam waktu untuk memilih. Ini juga merupakan bentuk pendidikan. Bhiksu tua itu menggunakan berbagai perumpamaan dan cara untuk memberi bimbingan dengan harapan para muridnya dapat memahaminya, tetap tenang, dan bersikap penuh pengertian.

Sebagai praktisi, kita harus selalu menenangkan hati. Dalam menghadapi segala sesuatu, kita harus selalu bersikap penuh pengertian. Dengan begitu, baru hati kita bisa lapang dan mampu merangkul segala sesuatu. Saya sering berkata bahwa setelah menyadari prinsip kebenaran di alam semesta, hati Buddha menjadi sangat lapang hingga dapat merangkul seluruh jagat raya.

Hati kita harus lebih luas dari jagat raya hingga dapat memahami seluruh prinsip kebenaran di alam semesta. Inilah tujuan kita melatih diri. Dalam melatih diri, kita harus mengembangkan berkah dan kebijaksanaan secara bersamaan. Kebijaksanaan, cinta kasih, dan welas asih harus dijalankan secara bersamaan.

Untuk membina kebijaksanaan, cinta kasih, dan welas asih, kita harus terjun ke tengah umat manusia. Setelah mengetahui dan memahami Dharma, kita akan tahu bahwa kehidupan ini tidak kekal dan penuh penderitaan. Kita juga akan mengetahui dari mana penderitaan berasal. Karena itu, saat terjun ke tengah masyarakat, kita tahu bagaimana menjaga hati saat menghadapi kondisi luar.

Ajaran Buddha mengajarkan kepada kita tentang asal mula datangnya penderitaan. Kita jangan membiarkan masalah luar menggoyahkan tekad kita. Kita harus meneguhkan tekad untuk terjun ke tengah umat manusia demi melenyapkan penderitaan orang banyak. Dengan mengembangkan cinta kasih tanpa mementingkan jalinan jodoh, perasaan senasib dan sepenanggungan, serta memandang semua makhluk secara setara saat terjun ke tengah masyarakat, maka secara alami tabiat buruk dan noda batin kita akan perlahan-lahan terkikis.

Dalam menghadapi segala sesuatu dan setiap orang, kita harus menggunakan pandangan kesetaraan. Terhadap siapa pun, kita harus memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan. Terhadap semua orang, kita harus menggunakan semangat cinta kasih tanpa memandang jalinan jodoh. Inilah Jalan Bodhisatwa yang mendekatkan kita dengan tataran Buddha.
Orang bijak dapat menempatkan dirinya sesuai dengan kondisi yang diperlukan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -