Master Bercerita: Anjing Penjaga Harta

Jika kita bisa memahami kebenaran alam semesta, fisik dan batin kita akan terbebaskan. Berhubung tidak memahami kebenaran, kita selalu diselimuti noda batin. Jika noda batin tidak dilenyapkan, kita akan selamanya tersesat.

Pada umumnya, orang-orang hanya mementingkan diri sendiri dan orang yang dikasihi. Ego ini membuat kita terperangkap dalam delusi.

Saat masih hidup, Buddha berkelana sepanjang Sungai Gangga untuk membimbing orang-orang agar bisa membuka hati dan memahami kebenaran.

Suatu kali, Buddha berkelana hingga ke Kota Sravasti. Di sana, ada seorang tetua yang memelihara seekor anjing putih. Ia sering duduk bersama majikannya di satu kursi yang sama. Berhubung majikannya sangat menyayanginya, maka semua pelayan juga melayaninya.

Suatu hari, tetua itu keluar rumah. Kebetulan, Buddha melewati rumahnya. Saat melihat Buddha, anjing itu menjadi sangat galak. Ia terus menggonggong.

Dengan tenang, Buddha berkata padanya, "Di kehidupan lampau, engkau terlalu tamak dan egois. Engkau melekat pada harta kekayaanmu sehingga terlahir di alam hewan. Engkau hendaknya berintrospeksi diri."

 

Setelah mendengar ucapan Buddha, anjing itu pun berbaring di lantai. Buddha pun pergi.

Kemudian, tetua itu pulang ke rumah. Setiap kali melihatnya pulang, anjingnya selalu menyambutnya dengan gembira. Jadi, tetua itu merasa sangat heran. Dia terus memanggil nama anjingnya, tetapi ia tetap tidak bersemangat.

 

Siang hari, pelayan menyiapkan makanan untuk anjing itu, tetapi ia bahkan tidak menciumnya.

Tetua itu bertanya pada pelayannya, "Ada apa dengan anjing ini hari ini?"

Pelayannya berkata bahwa pagi hari, Buddha berbicara dengan anjing itu dan setelah itu, ia menjadi tidak bersemangat.

 

Tetua itu sangat marah mendengarnya. Dia lalu pergi ke vihara dan bertanya pada Buddha, "Mengapa anjingku yang ceria ini menjadi tidak bersemangat setelah bertemu dengan Yang Dijunjung?"

Buddha berkata padanya, "Anjing itu adalah ayahmu."

Tetua itu sangat marah mendengarnya.

 

Buddha kembali berkata, "Jika tidak percaya, engkau bisa pulang dan bertanya padanya. Anjing itu menjaga harta untukmu."

Tetua itu merasa ragu.

Setelah pulang ke rumah, dia berkata pada anjing itu, "Buddha mengatakan bahwa engkau adalah ayahku. Jika benar demikian, beri tahu aku di mana engkau mengubur harta kekayaanmu. Bawa aku pergi mencarinya untuk membuktikan bahwa engkau adalah ayahku."

Mendengar ucapannya, anjing itu pun bangun, lalu turun ke bawah tempat duduk majikannya serta mulai menggaruk dan menggali.

Tetua itu menyuruh orang memindahkan kursi dan mulai menggali di sana. Di sana sungguh dikubur banyak barang berharga.

 

Menemukan semua barang berharga itu, tetua itu merasa sangat sedih. Dia memeluk anjing itu dan berkata, "Untuk apa? Demi melindungi harta kekayaan ini, engkau terlahir di alam hewan. Untuk apa?"

Lewat kisah ini, kita bisa mengetahui bahwa dalam hidup ini, kita sering kali melekat pada sesuatu. Ada yang melekat pada harta kekayaan, ada pula yang melekat pada anak cucu.

Saat masih hidup, ayah tetua itu melekat pada harta. Dia tidak rela berdana ataupun berbuat baik. Dia hidup sangat hemat demi menjaga harta kekayaannya. Untuk apa dia menjaga semua harta itu?

 

Dia mungkin ingin mewariskannya kepada anak cucunya. Namun, kehidupan tidaklah kekal. Dengan mewariskan harta pada anak cucu, apakah mereka bisa memahami kasih sayang kita terhadap mereka?

Di dunia ini, kita sering melihat orang tua yang mengasihi anak-anak secara alami dan tidak memiliki pamrih. Tidak peduli berapa usia seorang anak, saat dia jatuh sakit, orang tuanya akan tetap merawatnya seperti merawat anak kecil.

Kasih sayang orang tua terhadap anak berbeda dengan kasih sayang anak terhadap orang tua. Jarang ada anak yang bisa memahami kasih sayang orang tua. Namun, demikianlah manusia. Jarang ada orang yang berusaha untuk memahami orang tua. Namun, orang tua selalu berpikir demi kebaikan anak cucu mereka. Mereka bisa hidup hemat dan pelit pada orang lain demi mewariskan banyak harta pada anak cucu.

 

Anjing putih dalam kisah tadi melekat pada harta kekayaan dan anak cucunya sehingga dia terlahir kembali dalam keluarga yang sama. Meski terlahir sebagai seekor anjing, dia tetap menjaga harta kekayaannya di sana.

Dalam hidup ini, kita harus menyadari dan menghargai berkah. Berkah diperoleh dari sumbangsih nyata. Jika bisa bersumbangsih dengan cinta kasih untuk menciptakan berkah bagi masyarakat, kita bisa membina berkah sekaligus kebijaksanaan.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah
Tanamkan rasa syukur pada anak-anak sejak kecil, setelah dewasa ia akan tahu bersumbangsih bagi masyarakat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -