Master Bercerita: Kisah Keranjang Besar

Setiap orang memiliki keluarga dan orang tua. Pendidikan keluarga dan nilai kekeluargaan hendaknya dilandasi oleh nilai-nilai kebajikan. Kebajikan yang paling utama ialah berbakti. Dalam sebuah keluarga, jika orang tua penuh cinta kasih dan anak berbakti, maka nilai kekeluargaan dalam keluarga itu pasti sangat tinggi.

Saya sering berkata bahwa orang tua merupakan teladan bagi anak. Di setiap keluarga, anak-anak diajari untuk berbakti. Anak yang bisa berbakti pada orang tua akan bisa mengasihi saudaranya. Saat menuntut ilmu di sekolah, anak yang bisa mengasihi saudaranya secara alami akan menghormati para senior dan guru serta mengasihi teman-teman sekolahnya.

 

Setelah terjun ke masyarakat, mereka akan memperlakukan para senior bagai keluarga sendiri, memperlakukan orang-orang yang seumur bagai saudara sendiri, dan orang-orang yang lebih muda bagai anak sendiri.

Pendidikan manusia harus dimulai dari pendidikan keluarga. Dengan pendidikan keluarga dan sekolah, barulah kita bisa terjun ke masyarakat. Karena itulah, dikatakan bahwa berbakti adalah kebajikan yang paling utama. Berhubung keluarga kecil merupakan lambang dari masyarakat, maka kita harus memperhatikan pendidikan keluarga.

 

Dahulu, ada satu keluarga yang tiga generasi tinggal bersama. Saat muda, sang kakek bukan orang berada sehingga harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Dia bersusah payah sepanjang hidupnya. Dia hanya memiliki seorang putra. Putranya juga telah berkeluarga dan memiliki seorang anak.

Sang kakek merasa bahwa dia sudah bisa hidup tenang di usia lanjut. Awalnya, sang putra juga merasa bahwa ayahnya sudah bersusah payah seumur hidup dan hendaknya beristirahat. Karena itu, ayahnya istirahat di rumah. Dia bekerja di luar dengan tekun, juga baik pada ayahnya.

Bertahun-tahun berlalu, ayahnya semakin tua, dia yang tadinya berusia paruh baya juga hampir memasuki usia lanjut. Dia harus bekerja di luar, juga harus merawat ayahnya di rumah. Dia merasa sangat lelah. Dia berpikir, "Mengantarkan jenazah Ayah ke puncak gunung setelah dia meninggal dunia atau mengantarnya ke sana saat dia sedang sakit sekarang, hanya perbedaan waktu saja."


Suatu hari, dia menganyam sebuah keranjang yang sangat besar. Anaknya bertanya padanya, "Untuk apa Ayah menganyam keranjang sebesar ini?" Dia berkata, "Untuk menggendong kakekmu." Dia lalu menjagal seekor ayam dan memasaknya, lalu berkata, "Ayah, makanlah hingga kenyang." Ayahnya berkata, "Kamu bersusah payah. Ayam yang sudah besar hendaknya dijual. Sayang sekali jika dimakan sendiri." Dia berkata pada ayahnya, "Tidak apa-apa. Ayah makanlah hingga kenyang. Saya ingin menggendong Ayah ke puncak gunung." Ayahnya berpikir, "Putra saya memang anak yang baik. Saya sudah lama tidak pergi ke puncak gunung."

 

Hari itu, ayahnya benar-benar sangat kenyang. Kemudian, dia membantu ayahnya masuk ke dalam keranjang dan menggendong ayahnya ke pegunungan. Anaknya juga menemaninya mengantar sang kakek ke puncak gunung.

Di puncak gunung, ada sebatang pohon yang sangat besar. Dia lalu menggendong ayahnya untuk berteduh di bawah pohon. Ayahnya berkata, "Saat muda, saya selalu naik dan turun gunung demi menafkahi keluarga kita. Tempat ini membuat saya sangat gembira." Dia merasa bahwa ayahnya sangat gembira berada di sana. Namun, anaknya merasa bahwa saat muda, sang kakek bersusah payah demi menafkahi keluarga. Karena itu, anaknya sangat tersentuh.

 

Saat senja tiba, dia berkata pada ayahnya, "Ayah tinggallah di sini, kami akan pulang dahulu." Dia lalu menuju kaki gunung bersama anaknya. Saat matahari terbenam, anaknya bertanya padanya, "Kapan kita akan pergi ke puncak gunung untuk menjemput Kakek pulang?"

Dia menjawab, "Kakekmu akan tinggal di sana." Anaknya terkejut dan berkata, "Kesehatan Kakek tidak baik, bagaimana bisa tinggal di sana?" Dia menjawab, "Kakek sudah lansia dan tidak berguna. Cepat atau lambat, dia akan meninggal dunia dan dimakamkan di puncak gunung. Ayah hanya mengantarnya lebih awal." Anaknya lalu berkata, "Kakek memang sudah tidak berguna, tetapi keranjang itu masih berguna. Kita bisa membawanya pulang. Kelak, saya juga bisa menggunakannya untuk menggendong Ayah ke puncak gunung."

 

Mendengar ucapan anaknya, dia segera kembali ke puncak gunung. Saat dia tiba di puncak gunung, ayahnya telah meninggal dunia. Dia menangis dengan sedih dan sangat menyesal. Mengapa bisa timbul niat untuk menggendong ayahnya ke puncak gunung? Dia sungguh sangat menyesalinya. Dia menggendong ayahnya turun dengan keranjang tersebut, lalu memakamkannya.

Setelah memakamkan ayahnya, dia menanam segenggam rumput di makam dan menutupinya dengan keranjang tersebut. Dia berkata kepada ayahnya, "Ayah, istirahatlah dengan tenang di sini. Dengan adanya rumput dan keranjang ini, Ayah akan merasa lebih sejuk." Setelah itu, dia baru pulang ke rumah.

 

Janganlah kita melupakan akar kita. Seperti yang sering dikatakan orang-orang, "Bagaimana kita memperlakukan orang tua, demikian pulalah kita diperlakukan anak."

Kisah ini mengingatkan kita untuk tidak melupakan akar kita. Sungguh, kita tidak boleh melupakan akar kita. Orang tua berkorban dan bersusah payah demi membesarkan kita. Kita hendaknya merawat mereka hingga akhir hayat mereka.

Sebagai manusia, kita hendaknya tahu bersyukur dan membalas budi. Tidak tahu bersyukur berarti melupakan akar. Dengan tahu bersyukur, barulah kita bisa membalas budi. Dengan tahu bersyukur dan membalas budi, kehidupan kita akan bermakna. Jika seseorang melupakan akarnya, apakah dia masih bisa disebut manusia?

Kita harus merawat akar kita dengan baik. Baik terhadap orang tua, guru, senior, saudara, maupun masyarakat, kita harus senantiasa bersyukur dan membalas budi di setiap kesempatan. Inilah yang disebut tidak melupakan akar.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah : Hendry, Karlena, Marlina, Stella (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras : Khusnul Khotimah

Keteguhan hati dan keuletan bagaikan tetesan air yang menembus batu karang. Kesulitan dan rintangan sebesar apapun bisa ditembus.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -