Master Bercerita: Sramanera yang Goyah Tekadnya


Indra pendengaran kita sangatlah sensitif. Baik atau buruk, semua terdengar oleh telinga kita. Lihatlah betapa banyaknya konflik di dunia ini. Bukankah semua itu bagai kegaduhan di dunia ini yang membuat batin kita ikut bergejolak? Kondisi batin kita terpengaruh oleh hal-hal yang kita dengar. Adakalanya, timbul pikiran keliru sehingga apa yang kita dengar hanyalah kegaduhan di dunia ini.

Berhubung semua orang di dunia ini adalah makhluk awam, maka setiap suara yang dihasilkan dan setiap kata yang diucapkan dapat mengacaukan pikiran orang lain. Berhubung telinga kita mendengar kegaduhan di dunia ini, maka kita perlu melenyapkan kegelapan batin.
 

Pikiran manusia selalu timbul dan tenggelam. Adakalanya, kita bertekad untuk mendalami ajaran Buddha. Setelah sungguh-sungguh mendengar Dharma, hati kita dipenuhi sukacita sehingga kita berikrar untuk menjadi Bodhisatwa dan menjalankan praktik Bodhisatwa. Kita semua memiliki pikiran seperti ini. Namun, bisakah kita mempertahankan pikiran ini dan sungguh-sungguh menjalankannya? Ini sepertinya agak sulit.

Membangun tekad sangat mudah, tetapi sulit untuk mempertahankannya. Menjalankan ikrar dengan tekun dan bersemangat tanpa berhenti ataupun goyah di tengah jalan, ini sangatlah sulit.
 

Di sebuah kuil tua, ada seorang sramanera cilik dan gurunya. Gurunya sudah memiliki pencapaian dalam pelatihan diri sehingga hatinya sangat tenang. Karena itu, gurunya dapat membaca pikiran. Sang guru berharap sramanera cilik ini dapat menyelami kebenaran tentang praktik Bodhisatwa. Sramanera yang cerdas ini pun menerima ajaran dari gurunya.

Suatu hari, gurunya ingin pergi ke kota. Dengan membawa barang bawaan gurunya, sramanera cilik ini berjalan di belakang gurunya. Dia tidak melupakan tekadnya untuk menapaki Jalan Bodhisatwa. Dia berpikir, "Untuk menyelamatkan orang lain dari penderitaan dan membebaskan diri sendiri dari siklus kelahiran kembali, aku harus menapaki Jalan Bodhisatwa."
 

Begitu dia berpikir demikian, gurunya pun mengetahuinya. Gurunya menoleh dan berkata, "Berikanlah barang bawaanku. Aku akan membawanya sendiri." Dia pun segera menyerahkannya pada gurunya dengan dua tangan.

Dengan penuh hormat, gurunya berkata padanya, "Engkau berjalanlah di depan."

Saat berjalan di depan, dia berpikir, "Menapaki Jalan Bodhisatwa memang sangat baik dan seharusnya dilakukan, tetapi keinginan semua makhluk sangat banyak. Menapaki Jalan Bodhisatwa pasti sangat sulit. Lebih baik aku melatih diri hingga mencapai tataran Arhat saja."
 

Gurunya yang berjalan di belakang lalu menyuruhnya berhenti dan berkata, "Bawalah barang bawaanku dan berjalan di belakangku." Dia pun membawa barang bawaan gurunya dan terus berjalan mengikuti gurunya.

Saat berjalan, dia berpikir lagi, "Aku sudah bertekad untuk menjadi Bodhisatwa. Mengapa tekadku goyah? Aku harus lebih bekerja keras untuk menyelamatkan semua makhluk."

Gurunya kembali berhenti dan berkata padanya, "Berikanlah barang bawaanku. Aku akan membawanya sendiri. Engkau berjalanlah di depan."
 

Dia kembali berjalan dengan tekun dan penuh semangat. Namun, orang-orang sangatlah keras dan sulit dibimbing. Dia berpikir, "Bagaimana bisa aku membimbing semua makhluk? Sebaiknya aku melatih diri sendiri saja di kehidupan sekarang." Tekadnya kembali goyah.

Gurunya yang mengetahui hal ini kembali berkata, "Bawalah barang bawaanku dan berjalan di belakangku." Mereka pun melanjutkan perjalanan.

Sramanera cilik ini merasa heran mengapa sikap gurunya terus berubah. Namun, dia memutuskan untuk mengikuti keinginan gurunya saja. Hingga mereka lelah, gurunya berkata, "Mari kita berhenti dan istirahat sebentar."
 

Dia lalu bertanya, "Saat kita berjalan di pegunungan tadi, mengapa Guru terkadang sepertinya sangat menghormatiku, tetapi akhirnya kembali memerintahku? Apa yang ingin Guru sampaikan padaku?"

Gurunya pun berkata, "Saat bertekad untuk menapaki Jalan Bodhisatwa, engkau menciptakan pahala yang tak terhingga. Berhubung engkau adalah Bodhisatwa dan aku masih Arhat, maka aku harus menghormatimu. Namun, jika tekadmu goyah, engkau tetaplah muridku yang harus melayaniku. Engkau 3 kali bertekad untuk menjadi Bodhisatwa, tetapi tekadmu juga goyah 3 kali. Karena itulah, sikapku juga berubah-ubah mengikuti tekadmu. Perlu engkau ketahui bahwa tekad untuk menjadi Bodhisatwa sangatlah istimewa dan menakjubkan."
 

Setelah bertekad, kita harus mempertahankannya. Setelah bergerak maju, janganlah kita mundur lagi. Jika tidak, kita selamanya tidak akan ada kemajuan.

Saat mempelajari Dharma, kondisi batin sebagian besar orang mungkin sama dengan sramanera cilik tersebut. Kita mudah terpengaruh oleh kegaduhan di tengah masyarakat yang didengar oleh telinga kita.

Ada banyak rintangan yang membuat tekad kita goyah. Karena itulah, Buddha mengajari kita untuk untuk mengembangkan kebijaksanaan dengan mendengar, merenungkan, dan mempraktikkan.
 

Kita harus mendengar Dharma dan menyerap kebenaran di dalamnya dengan merenungkannya. Jika kita hanya mendengarnya tanpa menyerapnya ke dalam hati, kita akan menyimpang dari prinsip kebenaran dan kembali ke tataran makhluk awam. Jadi, meski mendengar Dharma dapat mengembangkan kebijaksanaan dan membuat kita tahu tentang kebenaran, tetapi kita tidak bisa benar-benar memahaminya jika tidak bersungguh-sungguh merenungkannya. Apakah kita memiliki pikiran seperti sramanera cilik itu? Ini termasuk merenungkan.

Saat mendengar kisah orang lain, kita juga hendaknya berintrospeksi diri. Ini disebut merenungkan. Saat menghadapi kondisi luar, kita harus menjaga pikiran kita dan interaksi kita dengan orang lain. Ini disebut mempraktikkan.

Saudara sekalian, tidak ada kiat dalam mempelajari Dharma. Kita hanya perlu lebih banyak mendengar, merenungkan, dan mempraktikkannya.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Metta Wulandari
Apa yang kita lakukan hari ini adalah sejarah untuk hari esok.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -