"Menanglah, Nak, Mama Mendukungmu." (Bag. I)

 

fotoSejak berusia tiga tahun di diri Stella sudah terlihat minat dan bakatnya pada menggambar. Karena ketertarikannya inilah yang membuatnya diikutkan dalam lomba mewarnai oleh guru TKnya.

Di bulan kesepuluh kehamilanku, janin di dalam kandungan ini masih belum memberikan tanda-tanda akan melahirkan. Kondisi ini telah membuat aku menjadi lelah karena selalu merasa cemas dan resah akan keselamatan janin yang aku kandung. Meski demikian gerakan-gerakan kaki atau sikutnya yang menyembul ke dinding perutku, menjadi saat yang menyenangkan sekaligus melegakan hatiku. Bahwa janinku masih bergerak tanda ia masih hidup di dalam.  

 

Namaku Lim Mei Ling. Ini adalah kehamilanku yang pertama dari pernikahanku dengan Yung Kwe Kin. Ia adalah pria yang kukenal dari sebuah perjodohan yang dilakukan oleh orangtuaku. Kendati demikian aku menerimanya sebagai lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Akhirnya kami pun menikah pada 10 Desember 1995 di sebuah Gereja Katolik yang sakral.

Merasa terlalu khawatir dengan kehamilanku akhirnya aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan. Namun sang dokter mengatakan, bahwa kandunganku dalam keadaan baik-baik saja dan memang belum waktunya untuk melahirkan. Ini memang cukup melegakan hatiku tetapi tidak dapat bertahan lama. Sampai pada 7 Oktober 1996 aku merasakan adanya cairan hangat mengalir di antara pahaku. Cairan itu berwarna hijau. Pikiranku langsung mengarah pada air ketuban, menandakan bayiku akan segera lahir. Rasa takut terus menyelimuti hatiku selama perjalanan ke rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit dokter langsung memberitahukanku kalau air ketuban di rahimku telah pecah dan persalinan harus dilakukan dengan operasi sesar. Aku hanya bisa pasrah dan mempercayakan semuanya pada dokter yang menangani persalinanku. Setelah dibius setengah badan operasi itu pun berjalan sesuai prosedur.  Tak lama kemudian aku mendengar sayup-sayup tangisan bayi yang semakin keras memekik di depanku.

“Wah, Selamat ya bu. Babynya sudah bisa melihat,” kata salah satu perawat bedah.  “Rambutnya ada ga Sus?” tanyaku kepada mereka. Meskipun lelah, hari itu adalah hari yang menyenangkan bagiku. Bayi yang aku nantikan ternyata telah lahir dengan selamat. Kini hari-hari terasa semakin indah dengan hadirnya Stella Oktaviani, gadis kecilku yang manis dan cantik.

foto  foto

Ket : - Stella saat sedang menunjukkan foto pernikahan ibunya. Dari sebuah perjodohan, Lim Mei Ling lantas               menerima lamaran Yung Kwe Kin dan akhirnya menikah di salah satu Gereja Katolik. (kiri)
          - Setelah Yung Kwe Kin, ayah dari Stella menderita sakit yang berkepanjangan, ibunya sebisa mungkin               menghidupi keluarga dengan berjualan kue dan merawat manula. (kanan)

Hari-hari bersama Stella
Dimulailah kehidupan bersama seorang bayi. Menyusui, menyiapkan makanan, kemudian menyuapinya, dan memandikannya. Ia bagaikan energi yang memberikan kekuatan padaku ditengah sulitnya hidup dan semangat bagi suamiku untuk giat mencari nafkah untuk keluarga ini. Suamiku memang pandai dalam urusan elektronik, tetapi keterbatasan biaya membuat ia tak mampu membuka sebuah bengkel elektronik. Demi memberikan nafkah, suamiku tak jemu-jemunya berkeliling dari rumah ke rumah sekadar menanyakan apakah ada radio atau televisi yang rusak. Bila keberuntungan datang, ia bisa membawa beberapa perangkat elektronik untuk diservis.   

Untuk meringankan beban suamiku yang pendapatannya tidak menentu aku juga mulai bekerja dengan berdagang kue keliling. Kuenya aku ambil dari salah seorang pengrajin lalu aku menjajakannya ke sekolah-sekolah di Bogor.

Masuk Sekolah
Hari-hari pun berlalu dengan cepat dan Stella kini telah berusia 3 tahun. Ia tumbuh dengan cepat sebagai anak yang sehat, tinggi, dan ceria. Disaat inilah Stella mulai mengajukan keinginannya untuk bersekolah. Untuk memenuhi keinginannya maka segera kudaftarkan ia di TK Kesatuan Bogor. Karena usianya yang belum cukup untuk masuk ke TK A, salah satu guru menasehatiku agar tidak terkejut bila Stella kelak tidak bisa mengikuti pelajaran dan harus mengulang di tahun berikutnya. Bagiku ini bukanlah sebuah permasalahan, yang terpenting aku bisa menyekolahkannya.  

Pendidikanku yang hanya sampai di sekolah dasar dan ayahnya yang hanya bekerja sebagai tukang servis elektronik serabutan membuat aku berkeinginan keras agar Stella bisa mengenyam pendidikan ke jenjang yang tinggi dan memiliki masa depan yang lebih baik dari kami.  

Hampir setiap pagi aku mengantar Stella ke sekolahnya. Selain itu, aku juga selalu memperhatikan perkembangan belajarnya di sekolah. Namun setelah sekian lama bersekolah tidak ada tanda-tanda kalau ia mengalami kesulitan belajar. Sampai suatu hari gurunya berkata kepadaku, “Stella diikutin lomba mewarnai ya.”
Duh anak saya mah ga bisa mewarnai,” jawabku dengan ragu.
“Jangan begitu bu. Anak ibu pintar mewarnai kok,” ucapnya dengan yakin.
Ya kita coba tanyakan saja ke anaknya ya. Mau tidak ikut lomba,” usulku kepada gurunya.

foto  foto

Ket : - Menjadi tulang punggung keluarga tidak membuat Stella lantas menjadi lupa diri. Sedari kecil hingga               remaja, ia tetap menjadi anak yang patuh dan menurut kepada orangtua. (kiri)
          - Tidak jarang, Lim Mei Ling mendapat teguran dari orangtua peserta lomba yang merasa terancam bila               Stella ikut dalam perlombaan menggambar di Bogor. (kanan)

Tak disangka, Stella menyambutnya dengan semangat. Maka dengan coba-coba aku daftarkan Stella sebagai peserta lomba mewarnai kategori TK di King, Jalan Merdeka, Bogor. Hasilnya tidak terlalu mengecewakan, Stella berhasil merebut juara harapan III. Pertama kali melihat Stella menang hatiku sangat bangga. Dari sinilah aku mulai menyadari kalau Stella memiliki bakat menggambar. Bakat yang tidak kuketahui sebelumnya dan seolah muncul begitu saja karena aku dan suamiku bukanlah seorang yang berbakat di bidang seni.

Sejak hari itu Stella semakin bersemangat, demikian pula dengan aku. Maka setiap kali ada perlombaan mewarnai di kota Bogor, aku selalu mendaftarkan Stella sebagai peserta lomba. Ketekunan, kerapihan, dan komposisi warna yang pas membuat ia selalu menjadi salah satu pemenang di setiap perlombaan.

Keyakinanku semakin bertambah, demikian pula dengan Stella, sampai suatu kali di salah satu perlombaan Stella tidak menang, terlebih masuk ke sepuluh peringkat utama. Aku mulai melihat ada kesedihan di wajahnya. Butiran air bening itu mulai mengalir dari sudut-sudut matanya yang sayu hingga membasahi kedua pipinya yang tembam.
“Mama,” panggilnya.
“Kenapa aku ga menang?” tanyanya dengan lirih kepadaku.
Dengan tenang aku menjawab, “Kamu harus banyak belajar. Kamu harus belajar dari yang menang.”      

Meski hatiku ikut sedih, tetapi aku tak ingin memperlihatkannya pada Stella. Aku ingin Stella melihat kekalahan sebagai sesuatu yang wajar, bukan sebagai sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Karenanya aku harus bisa bersikap tenang dan mampu memotivasi kembali semangatnya.

Bersambungke Bagian 2.

 
 
Kita sendiri harus bersumbangsih terlebih dahulu, baru dapat menggerakkan orang lain untuk berperan serta.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -