Cinta Kasih Mengakar dari Anda

Telah melihat banyaknya kehidupan terpasung dalam nyeri dan penyakit membuat cinta kasih tumbuh kian hari kian mengakar dalam diri relawan Tzu Chi. Materi mungkin bisa membantu, namun perhatian dan sentuhan kasih sayang merekalah yang menjadi penyulut semangat.

***

Bunyi panggilan telepon membangunkan Hendra di hari yang masih sangat pagi. Sambil meraba meja di samping ranjangnya untuk mencari kacamata, ia mencoba menjauhkan layar ponsel seraya berusaha membaca nama di sana. Lina, nama itulah yang tertera di layar ponselnya. Seseorang yang sudah sangat akrab baginya.

“Pak, akhirnya saya bisa lihat angka 34, Pak. Saya sangat bahagia sekali,” itulah suara yang pertama kali terdengar ketika ia mengangkat ponselnya. “Tiga empat apa, Lin?” tanya Hendra penasaran. “Hari ini saya ulang tahun yang ke 34, Pak. Saya bahagia sekali,” sambung wanita bernama Lina itu.

Kabar itu menghangatkan hati Hendra seketika. Ia turut senang mendengar penderita kanker payudara itu berulang tahun. Sudah lama semangat ibu dua anak itu turun sangat drastis. Lina tidak ingin lagi bertemu dokter, tidak mau minum obat, dan mengaku pasrah menunggu waktu saja. Terlebih semenjak suaminya mencari perempuan lain, alih-alih memperhatikannya, kondisi kesehatannya semakin jatuh. Namun suara Lina yang menggebu di sambungan telepon hari itu berbeda. Hendra tersenyum lagi.

Beberapa hari setelahnya, lelaki 70 tahun itu datang bersama beberapa relawan lainnya ke rumah Lina. Mereka membawa kue ulang tahun berukuran sedang. Bukan hanya Lina, anak-anaknya juga sangat senang dan memakan kue itu dengan lahap. Tak habis ungkapan terima kasih Lina pada relawan. “Mereka bilang belum pernah makan kue tart. Makannya lahap sekali,” ucap Hendra dengan mata berkaca.

Mereka yang Selalu Ada


Hendra menemani seorang pasien bernama Tjie Tek Wai. Dalam foto ini Tek Wai bercerita kepada Hendra mengenai anak sulungnya bernama Willy yang telah tiada. Perasaan gundah dan kehilangan yang telah lama mendekam tumpah berganti semangat.

Relawan Tzu Chi yang aktif di misi amal itu tidak tahu betul sejak kapan ia bisa menjadi dekat dengan Lina dan keluarganya. Selama menjalankan misi amal, terlebih memberikan pendampingan, bantuan pada pasien kasus, dan melakukan kunjungan kasih dengan rutin, Hendra memang menjadi dekat dengan banyak orang. Baginya, kedekatan itu adalah wujud kepedulian.

Di satu waktu, Hendra menjadi orang pertama yang tahu kemalangan yang terjadi pada keluarga pasien. Di waktu lainnya, seperti kasus Lina, ia menjadi orang pertama yang mendapat kabar bahagia. Tapi tak jarang juga ia menjadi orang pertama yang harus siap siaga ketika keadaan kritis menimpa pasien yang menjadi tanggung jawabnya.

“Saya pernah tujuh jam terjebak di kemacetan banjir demi mengantarkan obat untuk seorang pasien di Tanjung Duren. Tanpa obat itu, rasa sakit dia tidak bisa hilang, jadi saya harus antar,” kata kakek dua cucu tersebut.

Para relawan Tzu Chi di misi amal untuk penanganan pasien kasus memang harus siaga. Ponsel juga harus aktif 24 jam. “Dulu, saat saya baru menjadi relawan, saya lebih suka mematikan telepon sepulang menangani kasus. Pusing, ribet. Apalagi kalau dapet pasien yang manja,” aku Wie Sioeng, relawan yang kini merupakan penanggung jawab He Xin Misi Amal Tzu Chi. Namun kini kondisinya sudah sangat berbeda. Wie Sioeng menganggap apabila ada satu orang di keluarga sedang sakit, anggota keluarga lainnya juga sakit. “Sakit secara jiwa. Mereka butuh orang lain (relawan –red) butuh sandaran. Karena orang lain bisa memandang dengan lebih jelas. Jalan satu-satunya ya komunikasi telepon,” tukasnya.

Secara sederhana, Hendra menyimpulkan bahwa, ketika orang lain sedang membutuhkan mengapa tidak membantu dan malah menghindar? “Nggak bisa begitu kan. Kita harus memberikan perhatian dan tidak memikirkan diri sendiri. Selain dengan telepon, perhatian itu tercermin pada kunjungan kasih yang rutin dilakukan,” imbuh Hendra.

Berbuat Tanpa Tekanan, Bukan Bekerja untuk Imbalan


Wie Sioeng (kiri) bersama Ayen Rita (kedua dari kanan), dan Hendra (kanan) datang langsung menyurvei seorang keluarga pasien di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta barat. Keadaan yang darurat membuat relawan harus sigap turun langsung menangani pengajuan bantuan.

Baik Hendra maupun Wie Sioeng bisa meluangkan waktu lebih dari 4 hari dalam seminggu hanya untuk berkegiatan Tzu Chi, khususnya menangani pasien kasus. Mulai dari survei ke rumah pasien, melakukan kunjungan kasih, hingga meeting kasus. Mereka pergi menyusuri jalanan Ibukota dan menikmati kemacetannya, menyusuri lorong-lorong dan ruangan rumah sakit, merasakan pengapnya udara yang menyesakkan di kamar para pasien, maupun merasakan dinginnya ruangan rapat untuk mengambil keputusan dibantu atau tidaknya seorang pasien. Tak heran apabila seragam relawan biru putih mendominasi lemari pakaian relawan-relawan senior ini.

Melakukan kunjungan kasih dengan kondisi dipapah juga pernah dialami oleh Hendra. Kala itu, di tahun 2011 ia mengalami stroke ringan sepulang mengikuti kegiatan Tzu Chi. Tiga bulan diam untuk menjalani pengobatan malah membuatnya khawatir akan menurunnya kemampuan berjalan. Dari hari ke hari, ia memperhatikan kondisi kakinya yang semakin mengecil karena sudah jarang difungsikan. Keadaan itu lalu membuatnya kembali ingin berkegiatan Tzu Chi. Merry Christine, relawan dari komunitas He Qi Barat 1 yang memapahnya sepanjang jalan.

Sedangkan Wie Sioeng, pernah menunggu untuk berkonsultasi dengan dokter hingga lewat tengah malam. “Pasien itu kondisinya pendarahan. Saya dihubungi pagi, jam tujuh pagi sudah saya bawa ke IGD. Setelah itu tunggu sampai jam tiga sore baru dapat kamar. Selama itu saya masih temani sehingga keluarga tenang,” cerita Wie Sioeng. Tak sampai di sana, dirinya juga harus kembali lagi malam harinya untuk berkonsultasi karena dokter yang menangani hanya datang pada malam hari. “Kami pun harus menyesuaikan. Jam tujuh malam, mundur ke jam sembilan, lalu baru bisa ketemu dokter jam dua belas malam. Ya harus dijalani,” lanjut Wie Sioeng tenang. “Pernah juga ambilin nomor antrean berobat untuk pasien jam tiga dini hari. Karena dia pakai BPJS,” imbuhnya.

Semua cinta kasih, ketulusan, maupun kebijaksaan yang dilakukan tersebut tak muncul dan ditempa hanya dalam satu atau dua bulan di Tzu Chi. Relawan membutuhkan waktu yang amat lama. Sejak awal Master Cheng Yen mengungkapkan bahwa Tzu Chi merupakan ladang untuk pelatihan diri. Siapapun tanpa kecuali, bisa melatih diri melalui misi-misi Tzu Chi. “Bagi yang menerima pelajaran, mengerti jalan kehidupan, dan memahami Dharma Master pasti bisa bertahan. Lain halnya kalau sebaliknya,” kata Wie Sioeng lagi.

Jangan Menjadi Tumpul Rasa, Bersimpatilah


Anna Tukimin (kanan) melakukan briefing kepada relawan-relawan baru sebelum turun langsung dalam kegiatan kunjungan kasih ke rumah-rumah pasien.

Di setiap misinya, relawan sudah pasti berhubungan dengan banyak orang dengan berbagai karakteristik. Dengan relawan, pasien, penerima bantuan, keluarga pasien, keluarga sendiri, juga lingkungan masing-masing. Dari sana pula banyak konflik yang bisa bermunculan. “Dari sinilah, awal pelatihan diri kami dimulai. Inilah ilmu yang luar biasa dan tidak diajarkan di sekolah manapun,” ungkap relawan komunitas He Qi Timur itu.

Wie Sioeng menyadari bahwa mengatasi keluarga pasien yang tengah menghadapi permasalahan kadang dirasa amat sulit. Mengatakan “iya” memang mudah, namun untuk berkata “tidak” sangat susah. Sering bertemu dan berkomunikasi dengan keluarga pasien adalah salah satu cara untuk mengatasinya. Namun keluarga pasien juga biasa akan lebih sensitif karena kepanikan, sehingga lebih sulit berpikir jernih. Karena itu dalam setiap kunjungan kasih relawan harus bisa peka melihat kondisi, mereka harus mampu berkomunikasi dengan jelas, dan menjelaskan dengan rinci sehingga tidak ada ambiguitas dalam memberikan bantuan. Apabila tidak, relawan sudah pasti menerima kemarahan dari keluarga pasien.

“Saya sendiri pernah dimarahi keluarga pasien. Dia bilang, ‘Saya laporkan kamu ke yayasan ya, nggak bisa kerja kamu’,” kisah Wie Sioeng tertawa. Apabila hal itu terjadi di masa awalnya bergabung di Tzu Chi, Wie Siong memastikan tekadnya akan kendur. Sama seperti dulu, ketika ia menangani beberapa pasien yang berakhir dengan meninggal dunia.

Saat itu suami dari Vivi Tan ini memutuskan untuk berhenti menangani pasien kasus selama dua bulan lamanya. Bukan karena takut orang meninggal, namun lebih karena takut akan anggapan bahwa karma dirinya pribadi bisa berpengaruh terhadap kehidupan orang lain. Kasus itu juga membuat Wie Sioeng merasa seperti Giam Lo Ong (Raja Neraka dalam kepercayaan tradisi Tionghoa –red).

Melalui kegiatan kunjungan kasih, relawan bisa melihat dan belajar langsung tentang makna kehidupan dari masyarakat. Melewati gang sempit atau merasakan pengapnya rumah pasien merupakan bagian dari pembelajaran yang didapatkan.

Pandangan salah itu berakhir ketika Wie Sieong menyadari bahwa masing-masing orang memiliki karma dan mempunyai jalinan jodoh yang berbeda dengan Tzu Chi. Begitu juga dengan para penerima bantuan. Mereka baru datang di masa kritis dan sudah mengalami penyakit parah yang menahun, membuat beberapa kasus bantuan tidak berhasil diobati sehingga berakhir dengan kondisi meninggal dunia.

Beruntung kini sudah banyak training misi amal yang memberikan berbagai sharing ilmu dan pengalaman untuk para relawan baru sehingga tidak ada lagi “Wie Sioeng.., Wie Sioeng” lain yang takut akan penanganan pasien kasus.

“Kalau saya tidak takut, tapi sempat menyesal karena pasien yang saya tangani meninggal dunia,” tutur seorang relawan komunitas He Qi Utara 1 bernama Cindy Lie.

Tidak Berhenti pada Rasa Bersalah


Kehadiran relawan tak jarang menjadi penyemangat bagi seluruh anggota keluarga dari penerima bantuan. Bukan karena materi, namun kehadiran mereka menunjukkan perhatian dan kepedulian yang nilainya lebih dari materi.


Dengan berbagai hal yang dilakukan oleh relawan, para penerima bantuan mengungkapkan terima kasih dengan cara yang beragam dan tulus dari dalam hati mereka.

Dalam pesan singkatnya melalui aplikasi Whatsapp, Cindy Lie mengungkapkan penyesalannya karena terlambat mengetahui kabar duka tersebut. “Kami lost contact dengan gan en hu itu selama dua minggu. Memang saat itu pas akhir tahun dan kami ada agenda masing-masing dengan keluarga,” cerita Cindy. Padahal, Cindy dan timnya sudah memastikan pasien itu dalam kondisi sehat sebelum ia pergi bersama keluarga. Mereka mulai curiga ketika pada bulan Januari, pasien tersebut tidak datang mengambil bantuan. “(Pasien) dihubungi sudah tidak bisa. Kami lalu datang ke tempat kosnya dan mendapatkan kabar duka tersebut. Pasien itu meninggal satu minggu yang lalu,” lanjut relawan calon Komite ini.

Berbicara tentang penyesalan, penyesalan lebih dalam dulu pernah dirasakan oleh Master Cheng Yen. Selain cinta kasih yang universal, penyesalanlah yang menjadi dasar misi amal, terutama dalam penanganan pasien kasus dan kegiatan kunjungan kasih. Kisah tersebut diceritakan oleh Master Cheng Yen sendiri dalam Essence of the Bodhi Mind Tzu Chi Story (10) - The Spirit of the Bamboo Banks, Overcoming Difficulties to Found Tzu Chi Freedom from Destructive Emotions.

Cerita itu bermula ketika Tzu Chi mendapatkan pasien kasus pertama penderita glaukoma. Dia adalah seorang wanita berusia sekitar 30 tahun yang mempunyai seorang suami dan anak. Penghasilan suaminya sangat terbatas. Saat itu, belum ada pengobatan yang memadai untuk glaukoma dan ini adalah kasus pertama dengan penanganan medis.

Saat itu, Master Cheng Yen memutuskan mengirim pasien tersebut ke Luodong untuk melakukan operasi, namun gagal. Padahal Tzu Chi sudah menghabiskan banyak dana dan tenaga. Ketika dia pulang, dia duduk di sebuah meja bulat, Master Cheng Yen bertanya, “Bagaimana matamu sekarang? Apa kamu bisa melihat?” Dia hanya mengatakan satu hal pada Master. “Master, saya hanya bisa melihat lingkaran, tidak ada yang lain.” Master sangat kecewa. Ketika dia datang dan berterima kasih, Master berdiri sangat dekat dengan dia. Master kembali bertanya, “Apa kamu bisa melihat saya?” Dia menjawab bahwa dia hanya bisa melihat bentuk wajah saja. Master menghela napas panjang.

Walaupun begitu, Tzu Chi tetap melanjutkan untuk memberikan bantuan beberapa waktu setelah itu sampai pada situasi yang dianggap sudah stabil. Dia telah sakit dalam waktu yang lama, Tzu Chi menganggap dia sudah terbiasa dengan hal itu karena orang biasa bisa menyesuaikan dengan keadaan. Dia bisa melakukan hal-hal tanpa penglihatannya. Saat itu, Tzu Chi pun masih sangat terbatas dalam sumber daya untuk bantuan, dan menganggap kalau pasien tersebut akan baik-baik saja setelah Tzu Chi menghentikan bantuan untuknya.

Keputusan itulah yang akhirnya membuat Master menyesal. Tiga bulan setelah Tzu Chi berhenti mengunjunginya, dia bunuh diri. Berita itu sangat menyakitkan. Setelah Tzu Chi menghabiskan dana dan memberikan bantuan untuknya sekian lama, dia bunuh diri. Hal itu terjadi hanya karena tiga buah kubis (kol).

Biasanya mereka tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan dan saat itu suaminya membawa pulang tiga buah kubis, dia sangat senang. “Hari ini anak-anak bisa makan lebih banyak. Mereka bisa makan sayur lebih banyak.” Jadi dia memasak semua kubis itu. Tentu ketika memakannya, anak-anaknya merasa sangat senang. Tapi ketika suaminya pulang, dia dimarahi habis-habisan. Suaminya berkata, “Apa kamu tidak tahu kalau saya membeli tiga kol ini supaya kamu bisa memasak tiga masakan yang berbeda? Tapi kamu malah memasakknya semua. Lalu besok kita makan apa? Apa kamu tidak tahu kalau saya sudah bekerja keras untuk mendapat uang? Kamu sama sekali tidak membantu saya.” Suaminya semakin marah. Istrinya tidak tahan dan akhirnya gantung diri.

Dari kasus itulah, sekarang relawan, setiap bulan sekali kemudian mengunjungi setiap pasien kasus. Bagi relawan yang menangani kasus tertentu bisa melakukan kunjungan kasih beberapa kali dalam sebulan. Tujuannya adalah untuk memahami kesehatan pasien juga kondisi keluarga mereka.

Lingkaran Cinta Kasih


Dalam kegiatan kunjungan kasih, relawan bukan hanya hadir ke rumah penerima bantuan. Tak jarang mereka juga membantu membersihkan rumah mereka.


Senyum pasien atau penerima bantuan merupakan energi positif yang diterima oleh relawan.

Karena perhatian yang ditunjukkan tersebut, relawan kerap mendapatkan hadiah yang manis dari para pasien dan keluarganya. “Parsel, buah-buahan, masakan mereka, hasil karya mereka, sampai ada yang sujud. Waduh.., saya langsung lari,” kata Wie Sioeng mengenang. Padahal, relawan selalu menolak dan sama sekali tidak ingin merepotkan keluarga pasien. “Kami berbuat ini kan tanpa menginginkan imbalan, sama sekali tidak ada pamrih,” ucap Hendra. Namun masih saja banyak keluarga pasien ingin mengungkapkan terima kasih dengan hal yang mereka bisa.

Seorang pasien bahkan pernah mengambil 100 ribu dari total bantuan 300 ribu yang ia terima dari Tzu Chi untuk ia berikan kepada relawan. Dengan ungkapan penuh terima kasih pasien itu menyodorkan uang 100 ribu dan mengatakan, “Ini untuk Bapak karena Bapak sudah mau meluangkan waktu untuk saya dan membantu saya.” Relawan sangat terharu dengan sikap tersebut. Namun tanpa sedikitpun merendahkan pasien, mereka dengan penuh hormat menolak pemberian itu. Inilah bukti satu kata perenungan Master Cheng Yen bahwa cinta kasih tidak akan berkurang karena dibagikan, sebaliknya akan semakin tumbuh berkembang karena diteruskan kepada orang lain.

Hal yang lebih menggembirakan untuk para relawan bukanlah menerima bingkisan maupun materi, namun dengan melihat bagaimana kehidupan dan kesehatan para penerima bantuan menjadi lebih baik. Lingkaran cinta kasih inilah yang akan terus diwariskan.

Penulis: Metta Wulandari

Keharmonisan organisasi tercermin dari tutur kata dan perilaku yang lembut dari setiap anggota.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -