Jembatan Menuju Harapan

Bencana yang terjadi pada suatu ketika, asalkan setiap orang memberikan bantuan dengan penuh cinta kasih, 

akan mendatangkan harapan untuk selamanya. ~Dikutip dari Ceramah Master Cheng Yen~

 

Tarajusari dan Tanjungsari adalah dua desa di Jawa Barat yang letaknya sangat dekat. Namun, di antara kedua desa ini, terbentang Sungai Cisangkuy yang lebarnya 17 meter. Pada tahun 2002, warga kedua desa bahu membahu membangun jembatan yang membelah sungai. Keberadaan sungai ini memberi manfaat yang besar bagi warga kedua desa dalam segi ekonomi maupun pendidikan. Tidak sedikit warga Tarajusari yang mengunjungi Tanjungsari setiap harinya karena pusat ekonomi dan sekolah favorit terletak di desa tersebut.

Pada hari-hari biasa, ketinggian air Sungai Cisangkuy berkisar antara 30 cm hingga 1 meter. Namun, jika turun hujan, kedalamannya bisa mencapai 5 hingga 6 meter dan arusnya cukup deras. Pepatah kuno Tiongkok mengatakan, “air dapat menjalankan perahu dan juga dapat menenggelamkannya”. Tahun 2005, hujan besar mengakibatkan air sungai meluap hingga 6 meter lebih. Luapan air sungai ini mengakibatkan jembatan gantung yang berbahan bambu itu hancur.

Mengingat pentingnya keberadaan jembatan tersebut bagi kedua warga desa, pada tahun yang sama, pihak TNI membangun kembali jembatan tersebut. Namun, di tahun 2009, mimpi buruk kembali terjadi. Banjir besar kembali datang dan menghancurkan jembatan. Seluruh material jembatan hanyut terbawa derasnya air banjir kiriman dari Pangalengan. Selain menghancurkan jembatan, banjir tersebut juga menggenangi sebagian rumah warga yang tinggal di bantaran sungai.

Sejak kejadian itu, jembatan itu tidak pernah dibangun kembali. Namun, kegiatan warga antar desa tetap berlangsung. Anak-anak berangkat ke sekolah dengan menggunakan rakit bambu seadanya. Mempertaruhkan nyawa melawan arus sungai untuk dapat tiba di sekolah yang ada di desa seberang. Bagi yang tidak mau mengambil risiko ini, mereka harus menempuh jarak 3 KM untuk sampai ke desa seberang. Tak jarang, warga serta murid-murid sekolah harus menggunakan jasa ojek untuk sampai ke desa seberang dan merogoh kocek sebesar Rp5.000,- untuk sekali jalan.

Selama tiga tahun, warga kedua desa terus hidup dengan keadaan demikian. Hingga pada tahun 2012, kabar mengenai kondisi kedua desa ini sampai ke telinga relawan Tzu Chi Bandung. Di tahun yang sama, tepatnya pada bulan April, relawan Tzu Chi Bandung meninjau langsung lokasi jembatan. Setelah di survei akhirnya Tzu Chi Bandung memutuskan untuk bekerjasama dengan pihak TNI untuk membangun kembali jembatan ini.  Pembangunan jembatan yang kelak diberi nama “Jembatan Cinta Kasih Cisangkuy” ini ditandai dengan peletakan batu pertama tanggal 2 Juni 2012.

Jembatan yang mempunyai panjang 20 meter dan lebar 1,5 meter ini dirancang agar mampu menahan beban hingga 20 ton dan diprediksi mampu bertahan hingga 100 tahun atau lebih. Jembatan ini menggunakan material berupa besi dan baja yang kokoh menahan derasnya air kiriman dari Pangalengan.

Kira-kira 40 hari, pembangunan jembatan ini pun rampung. Dalam memberikan bantuan, Tzu Chi tidak hanya membangun perangkat keras, melainkan juga mempedulikan kesejahteraan penduduk yang tinggal di kedua desa. Untuk itu, sebelum diadakan upacara peresmian Jembatan Cinta Kasih Cisangkuy, relawan Tzu Chi Bandung dan relawan dari Koramil 0910 Banjaran mengadakan survei pembagian sembako untuk warga sekitar yang akan dibagikan bersamaan dengan hari peresmian jembatan.

Pada tanggal 23 September 2012, dilangsungkanlah pembagian paket sembako. Setelah itu, tepat pada pukul 09.30, ketua Tzu Chi Kantor Perwakilan Bandung, Herman Widjaja beserta Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Sonny Widjaja secara simbolis membuka selubung papan nama jembatan dan menandatangani prasasti.

Selain pembagian sembako dan peresmian jembatan, relawan Tzu Chi dan perwakilan dari TNI juga melakukan penanaman pohon di sekitar areal jembatan. Hal ini melambangkan bahwa Tzu Chi tidak hanya memenuhi kebutuhan warga yang mendesak, namun juga memikirkan masa depan dan kesejahteraan warga setempat untuk jangka panjang.

 

 

 

Jembatan Penyambung Hidup

Lebih dari 30 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1978, Apong mulai berprofesi sebagai pedagang es keliling. Ia bukan warga Tarajusari maupun Tanjungsari, tapi sumber penghasilannya berada di dua desa ini. Semasa mudanya, ia berjualan di dua desa ini dalam satu hari. Setiap hari pukul 9 pagi hingga 12 siang, ia mangkap di salah satu SD di Tanjungsari. Setelah jam pulang sekolah, ia berpindah ke Tarajusari dan berkeliling di sana selama dua jam. Perjalanan berkilo-kilo meter mendorong gerobak ia lakukan setiap hari demi menghidupi keluarganya.

Namun seiring berjalannya waktu, fisiknya mulai dimakan usia. Ia tidak lagi kuat berjualan seperti dulu. Terlebih dengan lumpuhnya jembatan yang menghubungkan dua desa tersebut. Dalam satu hari, ia hanya mampu berjualan di satu desa saja. Tak jarang, ia terpaksa harus memilih salah satu di antara dua desa tempat dia menjajakan esnya. Hal ini tentu saja memengaruhi pendapatan sehari-harinya yang berkisar antara Rp25.000 – Rp40.000.

 

Efek positif Jembatan Cinta Kasih Cisangkuy langsung dirasakan oleh Apong. Ia dapat menghemat waktu dan tenaga dalam jumlah yang signifikan. “Dulu saya berangkat jam enam, tapi sekarang jam tujuh karena ada jalan motong (lewat jembatan), jadi ga jauh-jauh. Jadi walaupun siang atau malam, saya bisa pulang dengan cepat melalui jembatan ini,” ujarnya.

Apong menambahkan, “Alhamdulillah… Wasyukurlillah… Kami mengucapkan terima kasih atas pembangunan jembatan ini. Buat saya sendiri sebagai pedagang kecil untuk berkeliling ke kampung-kampung. Alhamdulillah, perekonomian lancar sedikit demi sedikit.”

Jalinan jodoh yang istimewa telah terbentuk bagi warga Tarajusari dan Tanjungsari. Berdirinya Jembatan Cinta Kasih Cisangkuy diyakini dapat menuntaskan permasalahan warga setempat, terutama anak-anak sekolah yang perlu menyeberangi sungai demi menuntut ilmu.

“Alhamdulillah. Bukan saya saja yang bahagia, tapi semua orang yang berada di sekitar Kecamatan Banjaran. Puji Syukur kepada Allah SWT atas pembangunan ini,” kata Apong dengan hati penuh rasa syukur. 

 

Penulis: Galvan (Tzu Chi Bandung), 
Foto: Galvan, Rangga Setiadi (Tzu Chi Bandung)
Beramal bukanlah hak khusus orang kaya, melainkan wujud kasih sayang semua orang yang penuh ketulusan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -