Memulas Asa, Meraih Cita


Dalam gathering bulanan, mahasiswa beasiswa karir mendapatkan berbagai materi yang menunjang pengetahuan, membangun sikap moral serta karakter yang baik.

Pendidikan memang tidak menjamin kesuksesan seseorang, namun pendidikan membuka kesempatan kepada setiap orang untuk membuat perbedaan dan meraih kehidupan yang lebih baik. Dibimbing dengan sepenuh hati oleh para relawan membuat para penerima beasiswa ini tidak hanya menjadi mandiri, namun juga memiliki kepedulian, empati, dan kesungguhan ketika menjalani sebuah profesi.

Kabar gembira itu tiba di salah satu rumah di Lamahora, Flores, Nusa Tenggara Timur pada 2 Agustus 2014. Selembar kertas di tangan itulah penyebabnya. Surat itu memberitahukan jika permohonan beasiswa Apolonaris B. Atawolo diterima. Sebelumnya Aris, begitu ia biasa disapa telah menjalani serangkaian tes yang menjadi syarat penerimaan beasiswa Tzu Chi.

Dua hari sebelumnya para relawan Tzu Chi telah menyambangi rumah Aris. Merekalah yang merekomendasikan apakah Aris akan kuliah di Jakarta atau bekerja seperti pemuda-pemuda lain di daerahnya. Sebuah pemandangan umum jika setelah dewasa para pemuda ini merantau dan mencari pekerjaan di luar Flores. Bahkan banyak pula yang merantau hingga ke negeri Jiran, Malaysia untuk mencari nafkah. 

Aris menjalani tes di Biara Kesusteran Lembata yang berjarak sekitar 30 km dari tempat tinggalnya. Selain seleksi administrasi (berkas raport dan lainnya) ia juga mengikuti psikotes. Untuk persyaratan nilai Aris tidak ada kendala, karena sejak SMP ia selalu masuk peringkat 5 besar di kelas. Kedatangan relawan Tzu Chi, Lulu, Vivian, dan Yek Jiao beserta Suster Lusila ke rumahnya sebenarnya lebih untuk memastikan bahwa pemuda ini memang layak dibantu.


Pendidikan membuka kesempatan bagi Aris untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Aris bersyukur karena mendapatkan beasiswa pendidikan dari Tzu Chi. Ia wujudkan dengan belajar secara sungguh-sungguh.

Didampingi ibunya, Maria Antonela Hua (43), Aris menjawab dengan lancar setiap pertanyaan. Termasuk kesulitan setelah ayahnya, Karolus Laga Atawolo, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lembata yang meninggal karena sakit. Sejak itu Maria menjadi tulang punggung keluarga dan harus menghidupi keenam anaknya. Aris sendiri merupakan anak kelima. “Sebelum ayah meninggal (tahun 2007) bisa dibilang hidup kami berkecukupan. Tapi sejak ayah meninggal semua drop. Cita-cita aku sirna,” ungkap Aris. Bahkan ia sempat putus asa dan tidak mau sekolah sewaktu SMP. Beruntung Aris bisa bangkit dan melanjutkan sekolahnya.

Melanjutkan ke perguruan tinggi merupakan modal bagi pemuda kelahiran Lembata, 2 September 1995  ini untuk bisa menggapai kehidupan yang lebih baik. “Saya ingin melanjutkan kuliah karena cita-cita saya (awalnya) ingin menjadi dokter, bisa mengobati, dan merawat orang sakit,” kata Aris. Karena itulah ia begitu bersemangat saat mendengar ada beasiswa dari Tzu Chi.

Dan Selasa pagi itu, 5 Agustus 2014, Aris siap berangkat ke Jakarta. Ia tidak sendirian. Ada 37 anak dari Flores termasuk dirinya yang akan menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Sint Carolus Jakarta.

Pemerataan Kesempatan dan Pendidikan

Sebuah jalinan jodoh membawa relawan Tzu Chi terbang ke bagian Timur Indonesia. Sejak tanggal 1 Agustus 2014, empat relawan bertolak menuju Kupang, Nusa Tenggara Timur untuk melakukan survei ke rumah-rumah calon penerima beasiswa karier Tzu Chi di tiga pulau berbeda: Kabupaten Flores Timur (Larantuka), Kabupaten Lembata, dan Pulau Adonara. Sebelumnya, Tzu Chi mendapat informasi dari Suster Lusila (dari RS Sint Carolus Jakarta) jika banyak tenaga berbakat di pulau ini, terutama di bidang medis. Sayangnya banyak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena terbentur masalah ekonomi. Gayung bersambut. Kebetulan Tzu Chi Indonesia sedang berencana membangun Rumah Sakit Tzu Chi Indonesia. Dan merekalah salah satu yang dipersiapkan untuk mengisi kebutuhan tenaga perawat.

Kini sudah 3 tahun Aris kuliah di Jakarta. IPK-nya pun cukup memuaskan, 3.36. Untuk menjadi tenaga perawat profesional, Aris harus menjalani kuliah setidaknya 5 tahun. Empat tahun untuk masa perkuliahan biasa dan satu tahun untuk jenjang profesi. Sebagai penerima beasiswa karier Tzu Chi maka setelah lulus Aris akan bekerja di Rumah Sakit Tzu Chi. Rumusan untuk masa kerja dalam program beasiswa karier Tzu Chi adalah masa kerja sama dengan masa kuliah. Aris sendiri selain menerima beasiswa pendidikan juga menerima bantuan tunjangan hidup sehingga rumusannya menjadi N * 2 (masa kuliah dikali 2). Rumusan ini berbeda-beda untuk setiap jurusan. Semua persyaratan ini telah dipahami dan disetujui Aris sejak keberangkatannya dulu dari Flores. “Nggak masalah. Puji Tuhan, sejauh ini saya sangat bersyukur sekali bisa kuliah,” ungkapnya. Menurut Aris Tzu Chi membuat anak-anak seperti dirinya bisa tetap memiliki harapan. “Terima kasih kepada Tzu Chi. Dengan bantuan beasiswa ini mungkin kehidupan keluarga aku ke depannya akan menjadi lebih baik. Dan tentunya aku juga berharap bisa membantu orang lain,” ungkapnya.

Membuka Pintu Masa Depan


Lulus dari Akper Husada dengan predikat lulusan terbaik, Agatha kemudian ditempatkan di RS Cinta Kasih Tzu Chi sebagai tenaga perawat.

Sejak dibuka 4 tahun lalu, Program Beasiswa Karier Tzu Chi membuka kesempatan kepada setiap orang untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Dengan bekal pendidikan diharapkan mereka dapat mengangkat kehidupan keluarganya, sekaligus tergerak untuk ikut membantu sesama.

Bukan hanya Aris dan 36 rekannya dari Flores yang masuk dalam Program Beasiswa Karier Tzu Chi. Sejak diluncurkan tahun 2013, program ini banyak diminati. Salah satunya Agatha Petritas Septirina (21) yang baru diwisuda pada Agustus 2017 lalu dari Akper Husada Jakarta. Dan yang membanggakan, ia menjadi lulusan terbaik di kampus tersebut. Indek Prestasi Kumulatifnya (IPK) mencapai 3,8. Nyaris mendekati angka sempurna: 4.

Seperti Aris, Agatha yang berasal dari Sumatera Selatan ini juga menerima bantuan biaya hidup setiap bulannya. Berasal dari keluarga sederhana, Agatha merasa bersyukur bisa memperoleh kesempatan kuliah. Apalagi ibunya, Magdalena Zainuya yang bekerja sebagai tenaga perpustakaan di SMA Xaverius Baturaja, Sumatera Selatan ini harus seorang diri menghidupi ketiga anaknya. “Mama selalu bilang kalo mau kuliah harus berusaha sendiri. Bukan berarti beliau nggak sayang atau peduli sama kita, tapi lebih kepada ketidakkemampuan (finansial),” kata Agatha. Dan harapan itu terwujud, kedua kakak Agatha bekerja sambil kuliah, dan Agatha sendiri mendapat beasiswa pendidikan dari Tzu Chi. “Karena itulah berada di titik ini adalah hal yang sangat saya syukuri,” tegasnya. Sebagai ungkapan syukurnya, di hari wisuda Agatha membacakan satu lagu Tzu Chi berjudul Senyuman Terindah. “Lagu ini pas menggambarkan kondisi saya yang perantauan, jauh dari orang tua, tetapi memiliki para relawan yang selalu memperhatikan saya,” ujarnya.


Dengan penuh perhatian Agatha menggendong seorang bayi di RS Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat.

Kini Agatha bekerja sebagai perawat di RS Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng di ruang perawatan anak. Selain Agatha, rekannya satu kampus, Bintang Bisri Musthofa (20) juga bekerja di tempat ini. Terhitung sejak 4 September 2017, Bintang yang sebelumnya merupakan santri lulusan Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor ini mulai bekerja di RS Cinta Kasih Tzu Chi. Selepas dari jenjang Aliyah (setara SMA) di Pesantren Nurul Iman, Bintang memutuskan untuk mengajukan beasiswa pendidikan dari Tzu Chi.

Seperti Agatha, prestasi Bintang juga menggembirakan. Ia lulusan ketiga terbaik dari kampusnya. IPK-nya, 3,75. Prestasi ini buah dari tekad dan usaha kerasnya. “Yang paling berjasa itu ibu. Ketika saya sedang terpuruk ibu selalu ada dan mendukung,” tambah pemuda kelahiran Banyumas, Jawa Tengah ini. Bintang juga tak melupakan almamaternya terdahulu, dimana ia sempat dididik di Pesantren Nurul Iman secara free alias gratis. “Mengabdi di pondok dengan cara ikut membantu kegiatan baksos kesehatan di sana. Pondok sendiri juga memiliki Puskestren (Pusat Kesehatan Pesantren) jadi saya bisa bantu,” ucapnya.

Ragam Jurusan, Satu Tujuan

Selain di bidang medis, penerima beasiswa karier Tzu Chi juga ada yang mengambil jurusan berbeda, seperti Ilena Sevalona (22) dan Eddy Kurniawan (22). Ilena mengambil jurusan Akuntansi di Universitas Bunda Mulia dan kini bekerja sebagai tenaga akunting di Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Sama seperti Agatha dan Bintang, Ilena juga lulus di tahun 2017. Sementara Eddy saat ini tengah melanjutkan Program Pascasarjana (S2) jurusan Fisika Medis di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat.


Sejak SMA Ilena menerima beasiswa pendidikan dari Tzu Chi yang kemudian dilanjutkan hingga kuliah. Kini Ilena bekerja sebagai tenaga keuangan di Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

Ilena merasa bersyukur bisa menjadi salah satu penerima beasiswa karier Tzu Chi. “Kebayang kalo nggak ada beasiswa, mungkin saya nggak bisa kerja di posisi ini,” ungkapnya. Sejak SMA sebenarnya Ilena sudah menjadi anak asuh Tzu Chi. “Saat itu kondisi ekonomi keluarga sedang down, jadi sangat terbantu sekali,” ungkapnya. Kini Ilena dapat sedikit meringankan beban keluarganya. “Kebetulan Papa sudah cukup tua, jadi sudah tidak lagi bekerja. Kita anak-anaknya yang sekarang support,” tegasnya.

Jika Ilena dan rekan-rekannya langsung bekerja setelah lulus, Eddy justru memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang S2. Setelah lulus Sarjana Fisika (S1) dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada Februari 2017, Eddy kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia Depok. Ia lulus S1 dengan predikat Cum Laude. IPK-nya 3,86. “Kalo nggak lanjut S2 saya khawatir ketika terjun ke dunia kerja akhirnya nggak bisa berperan dan berkontribusi banyak,” ungkapnya. Hal ini dilandasi tanggung jawabnya agar ketika lulus (S2) nanti ia memiliki kompetensi yang baik saat bekerja di Rumah Sakit Tzu Chi Indonesia.

Menurut Eddy, fisika medis sangat berperan dalam dunia medis. Beragam alat kesehatan mulai dari CT-scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), sampai radioterapi merupakan pengembangan dari ilmu fisika medis. “Ini yang jadi motivasi saya bahwa suatu saat akan diperlukan di masa depan. Apalagi Rumah Sakit Tzu Chi yang baru nantinya akan menggunakan peralatan medis yang berteknologi tinggi,” jelasnya.


Setelah lulus Sarjana Fisika (S1) dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Eddy kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia Depok. Sebelumnya Eddy tak pernah menyangka bisa melanjutkan kuliah.

Dan ternyata nasib baik terus mengiringinya. Saat mulai berkuliah di S2, Eddy mendapatkan beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Beasiswa dari Tzu Chi untuk program S2 pun tak lagi diterimanya. “Beasiswa Tzu Chi bisa dialokasikan untuk adik-adik lainnya,” ungkapnya sambil tersenyum.

Terlahir dari keluarga yang sangat sederhana membuat Eddy awalnya tak berani bercita-cita untuk kuliah. Lie Eng Liong (62), sang ayah bekerja sebagai mekanik mesin bubut, yang penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara ibunya, Thio Tjun Lan (52), seorang ibu rumah tangga biasa. Mimpi untuk menjadi seorang sarjana pun terpaksa disimpannya rapat-rapat. Karena itulah kini Eddy sangat bersyukur. “Ini sama sekali nggak pernah terbayang sebelumnya. Suatu jalinan jodoh yang sangat bagus, karena dengan begitu saya bisa memberi harapan kepada orang tua saya. Bisa membanggakan dan membahagiakan orang tua, inilah salah satu tujuan hidup saya,” tegasnya. Untuk meringankan beban keluarga, selepas kuliah Eddy juga mengajar di salah satu bimbingan belajar di Depok, Jawa Barat.

 

Untuk membantu perekonomian keluarga, selepas kuliah Eddy juga mengajar di salah satu bimbingan belajar di Depok, Jawa Barat.

Bekerja dengan Hati

Dimulai 4 tahun lalu, Program Beasiswa Karier Tzu Chi awalnya bertujuan untuk memberikan kesempatan pendidikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Dengan bekal pendidikan ini diharapkan mereka bisa meningkatkan taraf ekonomi keluarganya, dan bahkan membantu orang lain. Menurut Lulu, salah seorang relawan yang menggawangi program ini pada awalnya mengatakan bahwa sebenarnya program beasiswa pendidikan perguruan tinggi ini sudah ada sejak lama, hanya konsepnya saja yang berbeda. “Kalau dulu kita bantu saja dan setelah lulus kita harapkan mereka (secara sukarela) mau membantu bantu orang lain,” ujarnya. Nah, dengan adanya program ini maka mereka bisa cepat langsung terjun ke masyarakat dan bersumbangsih kepada sesama melalui profesinya,” ujar Lulu.

Faktor kedua adalah kebutuhan tenaga kerja untuk Rumah Sakit Tzu Chi Indonesia. “Kadang kita cari karyawan juga tidak mudah. Karena kita bukan perusahaan, tapi yayasan sosial maka yang kerja juga harus punya semangat relawan,” ujar Lulu. Dari sini kemudian tebersit ide untuk membuat progam beasiswa karier. “Dengan sistem ini selama kuliah mereka kita dampingi, dan setelah lulus kembali ke badan misi Tzu Chi. Setidaknya selama beberapa tahun mereka sudah bisa berkontribusi ke masyarakat,” terangnya, “harapan kita setelah mereka jadi anak asuh mereka jadi lebih banyak interaksi dengan Tzu Chi. Jadi mereka juga sudah mengenal Tzu Chi, memiliki semangat Tzu Chi, dan saat kerja pun sudah siap.”

Jika beasiswa pendidikan umumnya mematok nilai akademik yang sangat tinggi, Tzu Chi justru membuka kesempatan bagi mereka yang berkemampuan akademik rata-rata, namun memiliki keinginan kuat untuk kuliah. Nilai raport 7,5 dan kemampuan intelegensia rata-rata menjadi syarat pengajuan beasiswa ini. Menurut Lulu, Tzu Chi berani memberikan beasiswa kepada mereka karena relawan Tzu Chi juga melakukan bimbingan dan pendampingan. “Kalo cuma orang pintar (aja) yang kita bantu, yang biasa-biasa aja gimana..? Siapa tahu dengan kita bantu bisa ngerubah nasib keluarganya,” tandasnya.


Melalui gathering bulanan, para mahasiswa mendapatkan materi dan bisa berkonsultasi dengan para relawan pendamping tentang hal-hal yang bermanfaat bagi mereka selama kuliah.

Pendampingan, kata inilah yang menjadi kunci keberhasilan Program Beasiswa Karier Tzu Chi. Melalui cara ini para mahasiswa tidak hanya memperoleh bantuan biaya pendidikan, tetapi juga dukungan moral, konsultasi, dan motivasi. Bahkan terkadang para anak asuh ini juga curhat tentang masalah-masalah pribadi. Selain itu, setiap bulan sekali juga diadakan gathering sehingga secara rutin terbangun suasana kebersamaan antara relawan pendamping dan para mahasiswa. “Dalam satu kelompok ada 10 orang (mahasiswa) yang didampingi oleh satu atau dua orang relawan,” ujar Lulu, “para relawan juga melakukan kunjungan kasih ke tempat kos mereka.”

Pendampingan ini diakui sangat bermanfaat dan berkesan. Contohnya Agatha yang merasa tidak hanya mendapatkan beasiswa secara finansial, tetapi juga bimbingan psikologi, sosial, dan spiritual.  “Saya baru nemuin ada yayasan yang memberikan beasiswa secara menyeluruh. Bahkan sampai urusan tempat tinggal pun relawan ikut bantu mencarikan,” ungkapnya. Agatha merasa seperti punya keluarga, ada yang dengerin keluh kesah saya. Terus juga ada motivasi dan solusi atas permasalahan yang kita hadapi. Apalagi yang bicara memang orang-orang yang sudah berpengalaman,” jelasnya.


Melayani sepenuh hati menjadi prinsip Bintang dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat di ruang perawatan anak di RS Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng.

Hal senada diungkapkan Eddy. Pendampingan dan perhatian para relawan dirasakannya sangat total dan maksimal. “Masalah kan nggak hanya finansial saja, kadang kuliah itu masalah macam-macam, kompleks. Jujur saya sering curhat sama Shigu Lulu tentang masalah-masalah pribadi juga. Dan biasanya solusinya itu tepat dan membantu sekali,” ungkap Eddy. Sementara Bintang merasa memiliki ibu asuh selama kuliah. Adalah Ratnawaty Bustami, relawan Tzu Chi yang selalu menjadi motivatornya. “Beliau selalu men-support saya, untuk selalu percaya diri, disiplin, dan menghargai orang lain,” ujar Bintang.

Memahami Visi, Menjalankan Misi


Manajer Keperawatan RS Cinta Kasih Tzu Chi, Eva Yuliana, S.Kep menyambut baik hadirnya para perawat yang berasal dari Program Beasiswa Karier karena lebih mudah beradaptasi dan telah memahami filosofi Tzu Chi.

Kehadiran anak-anak lulusan beasiswa karier Tzu Chi sebagai tenaga perawat di Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng memberi warna berbeda di rumah sakit yang mengusung prinsip menjaga kesehatan, menyelamatkan kehidupan, dan mewariskan cinta kasih ini. “Secara filosofi mereka telah mengerti dan memahami visi dan misi Tzu Chi sehingga lebih mudah dalam beradaptasi di lingkungan kerja rumah sakit ini,” kata Eva Yuliana, S.Kep, Manajer Keperawatan RS Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. Keunggulan ini secara tidak langsung mempermudah mereka beradaptasi dengan standar pelayanan yang diterapkan di rumah sakit.

Menurut Eva, seorang perawat di Rumah Sakit Tzu Chi harus memiliki sikap welas asih, sopan, ramah, humanis, dan menerapkan prinsip cinta kasih universal. “Selain itu kita juga tanamkan prinsip caring, di mana perawat harus memiliki kompetensi yang baik, kepedulian, konsisten, dan komitmen dalam setiap pelayanan. Dengan begitu maka pasien bisa dilayani secara baik dan maksimal,” tegasnya.

Eva pun menyambut hangat kehadiran para penerima beasiswa karier Tzu Chi di lingkup kerjanya, di antaranya Agatha dan Bintang. “Saya melihat keduanya punya feel yang bagus sebagai perawat. Mereka juga terlihat bersemangat dan keinginan untuk terus belajar. Dan yang terpenting, mereka memiliki jiwa untuk melayani sesama, ini yang harus ada dalam diri setiap perawat,” tegas Eva.

Penulis: Hadi Pranoto

Fotografer: Hadi Pranoto, Juliana Santy, Yuliati, Arimami, Anand Yahya, Yusniaty (He Qi Utara)

Hakikat terpenting dari pendidikan adalah mewariskan cinta kasih dan hati yang penuh rasa syukur dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -