Mencari Terang ke Kota Singkawang

Saat mengayuh sepeda menuju kebun karet, tak jarang Yohanes terseok dan hampir jatuh karena penglihatan yang kabur akibat katarak.

Saat mengayuh sepeda menuju kebun karet, tak jarang Yohanes terseok dan hampir jatuh karena penglihatan yang kabur akibat katarak.

Hari masih gelap ketika Yohanes Anes (65 tahun) beranjak dari tempat tidur di rumahnya yang sangat sederhana. Meski hawa dingin menyelimuti, udara pagi di Desa Caokng, Kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak, terasa sejuk.

Jarum jam dinding di rumah Yohanes menunjukkan pukul 05.00 WIB. Waktunya bagi Yohanes bersiap untuk menoreh karet. Dengan meraba-raba dinding kayu rumahnya, Yohanes berjalan menuju dapur untuk menyeduh secangkir teh. Sembari menunggu teh menghangat, matanya terpejam memanjatkan doa agar Tuhan senantiasa memberinya keselamatan.

Usai menyeruput teh hangat, Yohanes melangkah pelan  mengasah pisau penoreh karet dengan hati-hati. Setelah tajam, ia bergegas mengenakan sepatu boot dan kemudian mengayuh sepeda ontelnya menuju kebun yang ditempuh selama 15 menit. Jeba, anjingnya yang setia, mengikutinya sembari berlari.
“Menoreh karet itu sekitar 100 pohon. Biasanya menoreh sampai pukul 07.30 WIB. Saya pulang untuk beristirahat, nah nanti pukul 10.00 WIB saya kembali lagi untuk ambil getahnya,” jelas Yohanes sesampainya di kebun.

Getah mengucur perlahan dari pohon karet ke tempurung kelapa yang ditadahkan di bawahnya. Menoreh karet hampir ia lakukan setiap hari kecuali sedang hujan. Ketika menoreh, Yohanes sangat berhati-hati. Maklum saja, sudah 10 tahun ini penglihatannya tak jelas akibat katarak. Jika tak hati-hati saat menoreh, akan merusak pohon karet itu sendiri. Misalnya jika torehan terlalu dalam dan mengenai tulang pohon, maka bisa mengurangi produksi getah.

Menoreh karet perlu ketelitian. Jika terlalu dalam dan mengenai tulang pohon, akan mengurangi produksi getah.

Katarak membatasi ruang gerak

Namun apa mau dikata, katarak yang diderita selama 10 tahun terakhir ini memang membatasi ruang geraknya. Ia cukup sering salah ketika menoreh. Saat menebas pohon untuk keperluan lainnya pun pisau kerap mengenai tangannya.

“Pandangan saya jadi tidak jelas sehingga saya tidak bisa konsentrasi,” kata Yohanes.

Akibat dari katarak pula, Yohanes kini berhenti menanam padi. Sawah seluas setengah hektar yang ada di samping barisan pohon karet itu empat tahun ini hanya ditumbuhi ilalang.

“Sakit mata saya kalau siang itu, silau juga. Apalagi kalau menanam itu saya gampang keluar keringat. Kalau terkena mata, rasanya panas dan perih. Cepat-cepat saya pergi mencari air untuk mencuci muka,” tambah Yohanes.

Bulu mata harus dipotong sebelum operasi katarak.

Bulu mata harus dipotong sebelum operasi katarak.

Meski memiliki sekitar seratus pohon karet, nyatanya hasil penjualan getah hanya cukup untuk makan akibat harga jual yang rendah. Karena itu Yohanes kadang merasa keinginannya untuk operasi katarak hanyalah sebatas mimpi. 

Namun suatu hari, seorang relawan Tzu Chi yang ada di Desa Caokng memberitahukan kepada warga bahwa Yayasan Buddha Tzu Chi Singkawang akan menggelar pengobatan katarak dan pterygium secara gratis. Karena itu bagi yang memiliki gangguan pada mata diharapkan mendaftar. Bagi Yohanes, kabar baik itu merupakan jawaban dari doanya. Ia pun langsung mendaftarkan diri.

Desa Caokng yang ia tinggali merupakan desa yang menjadi binaan Tzu Chi Singkawang sejak tahun 2013. Dua desa lainnya adalah Bilayuk dan Salumang. Selama ini Tzu Chi Singkawang telah mencurahkan perhatian agar warga mendapatkan taraf hidup yang lebih baik. Misalnya dengan menggelar program bantuan kesehatan, bantuan pendidikan, dan pertanian.

Setelah mendaftarkan diri, Yohanes bersama 150 warga desa binaan menuju Kota singkawang pada 16 Juli 2016 lalu untuk menjalani pemeriksaan awal. Yohanes kemudian dinyatakan bisa mengikuti operasi katarak pada 5 Agustus 2016.

Yohanes dan warga desa binaan lainnya menunggu naik ke meja operasi.

Yohanes dan warga desa binaan lainnya menunggu naik ke meja operasi.

Dua hari jelang operasi, Yohanes lebih banyak beristirahat setelah menoreh karet di pagi hari. Ia pun mengaku tak merasa takut untuk melakukan operasi.
“Saya tidak takut. Sudah senang rasanya mau diobati. Saya ingin sekali bisa melihat dengan jelas lagi,” kata Yohanes.

Sementara itu untuk bisa mengikuti operasi, calon pasien harus didampingi oleh seorang keluarga yang akan membantunya menjalani tahapan sebelum dan sesudah operasi. Karena itu Yohanes meminta salah satu anaknya, Fransisca yang tinggal jauh darinya, yakni di luar Kecamatan Mempawah Hulu untuk mendampingi saat operasi. Yohanes tinggal sendiri sejak istrinya meninggal 10 tahun yang lalu.

“Sudah saya kabarin. Saya jelaskan kalau saya mau dioperasi mata di Singkawang. Harus ada pendamping,” jelasnya.

Yohanes mengikuti peresmian pembukaan bakti sosial serta menyimak tentang sejarah berdirinya Tzu Chi ini.

Yohanes mengikuti peresmian pembukaan bakti sosial serta menyimak tentang sejarah berdirinya Tzu Chi ini.

Hari yang ditunggu akhirnya tiba
Siang itu, Jumat 5 Agustus 2016 balairung Pemerintah Kota Singkawang telah ramai dengan hadirnya para pasien yang akan menjalani operasi katarak dan pterygium. Ada sekira 84 pasien yang hari itu dijadwalkan mengikuti operasi. Sementara sisanya lagi akan menjalani operasi pada Sabtu 6 Agustus 2016 sehingga jumlah pasien dalam bakti sosial ini sebanyak 227 orang.

Tampak relawan Tzu Chi dengan ramah membantu pasien menjalani tahap-tahap sebelum operasi. Sebelum masuk ke ruang operasi, terlebih dulu keluarga pasien mencuci kaki pasien yang didampingi. Para relawan mengajarkan cara mencuci kaki yang benar dan menyediakan bak cuci kaki yang sudah dilarutkan cairan anti kuman. Setelah kaki bersih, bulu mata pasien harus dipotong untuk keperluan operasi mata.

Relawan Tzu Chi baik dari Singkawang maupun dari Jakarta menyulap balairung menjadi tempat operasi layaknya sebuah rumah sakit besar yang bersih dan rapi. Para relawan juga membesarkan hati para pasien agar tak takut atau lebih tenang menjelang operasi. Tindakan ini penting terutama bagi pasien lanjut usia yang tekanan darahnya mudah naik.

Yohanes mengaku sudah tak sabar kembali ke Desa Caokng.

Yohanes mengaku sudah tak sabar kembali ke Desa Caokng.

Yohanes menyunggingkan senyum pada relawan yang memanggil namanya dan mempersilahkan masuk ke ruang operasi. Setelah hampir setengah jam di ruang operasi, relawan mengantarkannya bersama anaknya Fransisca menuju tahapan selanjutnya mendengarkan penjelasan relawan tentang perawatan mata pasca operasi.
“Besok ada kontrol dari pukul 08.00 hingga 10.00 untuk diajarkan cara mengganti kasanya. Jadi setelah tadi operasi, biarkan kasanya sampai besok pagi,” ujar Desi, seorang relawan.

Setelah mendapatkan obat dan mendengar penjelasan relawan, Yohanes dan sekira 22 warga desa binaan lainnya yang menjalani operasi meninggalkan balairung. Karena lokasi desa binaan yang jauh, atau sekitar empat jam dari Kota Singkawang, Tzu Chi Singkawang memfasilitasi mereka untuk menginap di Hotel Sahabat Baru yang tak jauh dari balairung.   

“Saya senang sekali. Sudah dikasi pengobatan, juga diajak ke hotel. Saya baru pertama kali menginap di hotel,” kata Yohanes sambil tersenyum.

Buka Perban, Selangkah Lagi

Keesokan harinya, Yohanes dan warga desa binaan lainnya sudah berada kembali di balairung Kota Singkawang.

“Saya semalam sempat susah tidur karena menunggu hari ini tiba,” kata Yohanes di balairung Kota Singkawang jelang pembukaan perban mata.

Namun sebelum pembukaan perban, pasien  diajak duduk bersama mengikuti peresmian pembukaan bakti sosial kesehatan mata ini.

Peresmian ini dihadiri antara lain oleh perwakilan dari Walikota Singkawang, Direktur Rumah sakit TNI Tingkat IV, perwakilan dari Kodim Singkawang, dan juga perwakilan dari Dinas Kesehatan Kota Singkawang.

Dalam sambutannya, Tetiono, Ketua Tzu Chi Singkawang mengatakan harta paling berharga bagi setiap orang adalah kesehatan. Namun kemiskinan menyebabkan seseorang tak mampu berobat. Karena itu ia berharap makin banyak lagi orang yang peduli satu sama lainnya. 

“Dengan terlibatnya banyak orang dalam misi kemanusiaan ini, maka cinta kasih dapat tersebar luas sampai ke penjuru dunia. Dengan harapan dunia bebas dari bencana,” kata Ketua Tzu Chi Singkawang, Tetiono. 

Usai mengikuti peresmian bakti sosial, Yohanes bersiap menjalani pembukaan perban. Dokter mengecek kembali matanya dan menyarankan untuk melakukan kontrol ke dokter spesialis mata di rumah sakit terdekat pada 13 Agustus 2016.

“Sekarang masih ada rasa kabur. Masih belum terasa baguslah. Mudah-mudahan lah, karena kan belum dikasi obat,” kata Yohannes.

Yohanes berharap setelah berhenti sementara dari menoreh karet dan lebih banyak beristirahat, ia kembali bisa melihat dengan jelas. Selain ingin bekerja dengan penglihatan yang jelas, ada satu hal yang tak sabar dilakukannya, yaitu membaca. Hobinya yang tak bisa lagi ia lakukan selama 10 tahun ini.

“Dulu waktu tak ada gangguan mata, saya suka baca-baca. Buku apa saja, majalah. Tapi sejak kena katarak kalau saya paksakan maka pusing kepala saya. Saya ingin sekali bisa membaca lagi,” ujar Yohanes.

Yohanes bersyukur mimpinya untuk operasi katarak telah terwujud. Ia pun mendoakan agar Yayasan Tzu Chi terus besar sehingga makin banyak orang yang mendapatkan terang.

Bersama warga desa binaan Tzu Chi lainnya, Yohanes kembali pulang ke Desa Caokng yang begitu dicintainya. Juga Jeba, anjingnya yang setia.

Bersabar dan terus berusaha

Jalanan di Desa Caokng masih dalam tahap perbaikan. Bebatuan terjal terhampar menutup jalanan yang berkubang. Ditemani menantunya, pada 13 Agustus 2016 Yohanes berangkat menuju Kantor Tzu Chi Singkawang untuk melakukan pemeriksaan pasca operasi.  Dengan sepeda motor, mereka menempuh perjalanan sepanjang 50 kilometer selama lebih dari tiga jam.

“Biar saja jalanan begini, saya tetap berangkat mencari kesembuhan. Mata saya masih terasa kabur. Berbeda dengan dua tetangga saya,” ucapnya. Dua tetangga yang dimaksud Yohanes adalah Hilaria Ilek(60 tahun) dan Libe (66 tahun). Penglihatan mereka kini telah membaik.

Usai pemeriksaan, Yohanes diberi obat tetes mata. Ia pun disarankan melakukan kontrol ke rumah sakit terdekat yakni Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam di Kabupaten Bengkayang jika obat tetes mata tersebut habis.

“Rumah sakit Serukam jaraknya sekitar 25 km dari tempat tinggal Pak Yohanes, jadi tidak perlu ke Singkawang. Lagi pula dokter spesialis mata yang membantu Tzu Chi dalam post operasi adalah dokter Edy Ariston yang sehari-hari bertugas di RS Serukam,” jelas Bambang, seorang relawan Tzu Chi Singkawang.

Bambang menambahkan, dari sekira 200 pasien yang mengikuti operasi pada 5 dan 6 Agustus 2016 lalu, terdapat 16 pasien yang  dipantau secara khusus oleh Tzu Chi Singkawang. Mereka ini masih merasakan keluhan, seperti pandangan yang kabur. Dan Yohanes merupakan salah satunya.

Menurut dokter Edy Ariston, kondisi mata yang dirasakan Yohanes masih terbilang wajar. Setidaknya diperlukan waktu satu bulan untuk bisa merasakan perbedaannya.

“Setelah sebulan, nanti akan dievaluasi secara keseluruhan termasuk syarafnya, korneanya,” ujar Edy Ariston.

Perayaan Hari Kemerdekaan di Desa Caokng
Suasana di desa Binaan Tzu Chi Singkawang, dari pagi hingga sore hari terasa meriah. Warga mengikuti berbagai kegiatan yang digelar Yayasan Tzu Chi Singkawang dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-71. Seperti Upacara Bendera, sosialisasi BPJS Kesehatan, dan juga pelatihan menulis kepada remaja di desa tersebut.

Para relawan juga menyempatkan mengunjungi Yohanes yang sore itu sedang bersantai di dalam rumah. Yohanes menyambut kedatangan  relawan Tzu Chi sembari mengenakan kaca mata hitam untuk mengurangi silau dari cahaya matahari. 

“Kabar saya baik, saya istirahat saja dan ikut apa kata dokter,” ucapnya.

Bagi Yohanes, Hari Kemerdekaan RI tahun ini terasa istimewa. Keinginannya untuk operasi katarak sudah terpenuhi.

“Kalau tidak begini mungkin saya terus bekerja, lupa untuk beristirahat dan menikmati waktu,” ujarnya sembari tertawa.

Meski sebutir tetesan air nampak tidak berarti, lambat laun akan memenuhi tempat penampungan besar.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -