Sahabat Bagi Tunanetra

 
foto

Irma selalu rutin mengunjungi Mitra Netra. Selain untuk membaca buku, Irma juga mengajar bahasa Inggris di yayasan itu.

Sebagai organisasi nirlaba Mitra Netra berusaha bertahan di tengah gempuran krisis yang sedang dihadapi. Meski demikian prinsipnya untuk memberikan pelayanan bagi tunanetra tak pernah lekang.

Dua orang wanita muda berjalan pelan dengan menggunakan tongkat menapaki jalan menanjak. Satu di antara mereka bertanya, “Mba kemana arah kita?” “Masih lurus, nanti pas persimpangan kita belok ke kanan. Masa lupa sama Mitra Netra,” kata Irma menggoda sang teman. Siang itu mereka hendak menuju Mitra Netra yang terletak di Jalan Gunung Balong II No. 58, Lebak Bulus III, Jakarta Selatan. Mitra Netra adalah sebuah yayasan yang menyediakan berbagai fasilitas bacaan dan pelatihan bagi para tunanetra.

Mitra Netra berdiri sejak tanggal 14 Mei 1991 dan baru berbadan hukum pada 14 Desember 2001. Awal berdirinya yayasan ini didasari keprihatinan dari sejumlah relawan akan fasilitas-fasilitas penunjang bagi para tunanetra terutama dalam bentuk bacaan. Para relawan yang terdiri dari Lukman Nazir, Bambang Basuki, Nicoline N. Sulaiman, Mimi Mariani Lusli, dan Sidarta Iliyas ini menilai fasilitas bagi para tunanetra di Indonesia sangat kurang memadai. Karena selama ini fasilitas yang disediakan oleh pemerintah umumnya ditujukan untuk sekolah luar biasa (SLB). Atas kesamaan visi inilah akhirnya Mitra Netra terbentuk. Mitra Netra sendiri berarti sahabat bagi tunanetra. “Suatu sinergi atau kerja sama antara tunanetra dengan yang bukan untuk mendirikan dan mengelola yayasan ini,” jelas Aria Indrawati, Kabag Humas Mitra Netra. Menurutnya, Mitra Netra menjadi satu-satunya yayasan di Indonesia yang fokus dalam menyediakan fasilitas penunjang pendidikan seperti buku-buku Braille, buku bicara (digital talking book), komputer bicara, kursus dan bimbingan konseling bagi tunanetra.

Kerja Keras Para Pendiri
Meski sekarang yayasan ini telah berhasil memiliki fasilitas yang tergolong cukup lengkap bagi para tunanetra, sesungguhnya dibalik keberhasilan itu tersimpan sebuah kerja keras dari para pendirinya. Selain buku berhuruf Braille, yang tidak mudah didapati oleh para pengurus adalah buku bicara (digital talking book). Buku bicara mutlak harus disediakan oleh para pengurus, karena buku ini menjadi alternatif fasilitas bagi tunanetra yang mengalami kesulitan dalam membaca huruf Braille. Buku ini sesungguhnya berbentuk kaset yang berisi rekaman buku yang dibacakan. Namun dalam penyediaanya, para pendiri ini harus bekerja ekstra keras.

Salah satu caranya adalah dengan menghimpun kaset-kaset dari para tunanetra yang sudah tidak lagi terpakai lalu merekamnya kembali dengan mengunakan tape recorder. Bila suatu hari ada buku yang dibutuhkan tunanetra belum terekam dalam kaset, maka para pengurus langsung membacakan buku yang diperlukan itu dan merekamnya. Waktu itu semua yang dilakukan masih sangat sederhana, belum ada recorder khusus apalagi studio. Namun berkat keteguhan hati dari para pengurus, yayasan ini akhirnya mampu memberikan harapan kepada para tunanetra hingga berhasil melahirkan sarjana tunanetra, pekerja tunanetra, dan programer tunanetra. Khusus untuk programer, klien Mitra Netra telah berhasil membuat situs bagi para tunanetra yang dikenal dengan sebutan kartunet.com (karya tunanetra) 

Disamping menyediakan kaset-kaset yang berisi rekaman, pengurus juga memberikan pelatihan menulis huruf Braille dan mengetik sepuluh jari. Semua ini dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan tunanetra di dunia luar bila menempuh pendidikan di sekolah umum atau perguruan tinggi. Dari kursus mengetik sepuluh jari akhirnya pada tahun 1992 dikembangkan menjadi kursus pengoperasian komputer bicara. Melalui kursus ini, tunanetra diharapkan mampu memperluas wawasannya melalui dunia maya, sehingga mampu mengetahui perkembangan informasi meski tanpa visualisasi.

Selama ini Mitra Netra memang memfokuskan diri pada pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar klien Mitra Netra mampu hidup secara mandiri dan membuahkan karya di tengah-tengah masyarakat umum yang berpenglihatan normal.

Namun untuk meningkatkan kepercayaan diri para tunanetra tidaklah mudah, terlebih bagi seseorang yang mengalami kebutaan di usia dewasa. “Tidak akan mudah bagi seseorang untuk mengikuti pelatihan kalau dirinya sendiri belum siap menerima dirinya sebagai tunanetra,” kata Adi Ariyanto, seorang pembimbing konseling di Mitra Netra. Karena itu, Mitra Netra juga menyediakan bimbingan konseling bagi tunanetra yang akan mengikuti pendidikan di yayasan itu, terlebih bagi mereka yang baru mengalami kebutaan. Bimbingan konseling ini dimaksudkan untuk mempersiapkan klien dalam memasuki kehidupannya yang baru sebagai tunanetra.

Di dalam menjalankan fungsinya, konselor di Mitra Netra melakukan penyuluhan melalui teknik komunikasi interpersonal dan kunjungan ke rumah klien. Hal ini dimaksudkan untuk melihat hubungan klien dengan keluarganya, bahkan dengan lingkungan sekitar rumahnya.   

Setelah bimbingan berhasil dijalankan, klien bisa melanjutkan pendidikannya mulai dari mempelajari huruf Braille, mengetik sepuluh jari, mengoperasikan komputer bicara hingga kursus bahasa Iggris atau menulis kreatif.

foto   foto

Ket: - Menurut Adi Ariyanto sebelum tunanetra mengikuti pendidikan di Mitra Netra mereka terlebih dahulu mengikuti              bimbingan konseling sebagai tahap memasuki kesiapan mental.             

Dibutuhkan Kerelawanan
Di yayasan ini para tunanetra dengan mudah mendapatkan buku-buku berhuruf Braille dan buku bicara yang diperlukan. Mulai dari buku pelajaran sampai buku bacaan umum. Meski jumlah buku yang telah diterjemahkan ke dalam huruf Braille dan buku bicara jumlahnya telah mencapai ribuan judul, namun bagi pengurus jumlah tersebut belumlah memadai dibandingkan jumlah buku yang dikeluarkan oleh  Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang mencapai ribuan judul dalam satu tahun. Oleh karena itu dalam suatu program “Seribu Buku untuk Tunanetra” pengurus mengajak siapa saja untuk menjadi relawan bagi tunanetra, dengan cara mengetik ulang seluruh isi buku yang hendak dipersembahkan ke dalam dokumen Word (Microsoft Word), lalu menyerahkannya kepada Mitra Netra. Dokumen yang diterima dalam bentuk program Word ini akan diolah kembali oleh Mitra Netra menjadi tulisan berhuruf Braille.

Menurut Aria Indrawati, sesungguhnya sampai saat ini Mitra Netra masih membutuhkan dukungan dari para relawan. Selain dukungan untuk mengetik seribu buku untuk tunanetra, yayasan ini pun masih mengalami kesulitan dalam hal keuangan. Untuk mengatasi hal itu, Aria bersama beberapa pengurus lainnya menyiasatinya dengan melakukan kemitraan pada sejumlah sekolah di Jakarta. Sekolah-sekolah yang menjadi mitra ini akan menerima sejumlah celengan sesuai jumlah murid yang ada di sekolahan itu, dan akan dikembalikan kepada Mitra Netra berdasarkan waktu yang telah disepakati. “Tujuannya adalah selain melatih siswa-siswi giat menabung, juga agar mereka memiliki kepedulian kepada para tunanetra,” jelas Aria.

Konsep menabung yang diperkenalkan oleh Mitra Netra memang sangat berbeda dengan pola berpikir anak-anak biasanya. Bila selama ini menabung untuk diri sendiri menjadi motifasi bagi seorang anak untuk menyisishkan uangnya, maka kini melalui “Celengan Sahabat” seorang anak diajarkan untuk menabung demi membantu orang lain yang membutuhkan.

“Sampai hari ini Mitra Netra berusaha semaksimal mungkin untuk survive. Kami tidak men-charge ke klien, tetapi biaya untuk operasional itu tentu ada. Terutama harus membeli kertas untuk mencetak buku Braille dan membeli membeli CD (compact disc) untuk merekam digital talking book,” ungkap Aria. Tentunya, dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan agar misi mulia ini dapat bisa dapat terus berjalan dan berkembang. Semakin banyak buku yang diterjemahkan, semakin banyak pengetahuan dan wawasan yang dapat diberikan. Seperti pepatah, “buku adalah jendela ilmu”.

 

 

 
Kita harus bisa bersikap rendah hati, namun jangan sampai meremehkan diri sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -