Semangat Hidup Iyus

 
foto

TAK KENAL MENYERAH. Meski sejak lahir mengalami keterbatasan, Julius tidak putus asa. Ia mencoba untuk hidup mandiri dengan menjadi pedagang asongan di jalan. Merasa simpati dengan perjuangan Julius, akhirnya salah satu mal di Jakarta mengizinkannya membuka kios di pelataran parkirnya.

Keterbatasan fisik tidak menghalangi Julius untuk hidup mandiri. Kegigihan dan tekadnya yang kuat menginspirasi dan menarik simpati banyak orang. Sebuah kios di salah satu mal kini menjadi tempatnya berdagang, dan Julius pun kini tak lagi mengasong di pinggir jalan.

Bocah lelaki itu terlahir dengan berat badan di bawah normal hingga membuat kedua kakinya terlihat lebih kecil dari ukuran bayi lainnya. Kendati demikian, ia lahir dengan wajah yang mungil kemerahan dan paras yang polos. Tangisnya yang keras telah memecahkan keheningan di ruang persalinan itu, membangkitkan rasa iba dan menumbuhkan cinta yang mendalam dari kedua orangtuanya.

Dibesarkan Kakek dan Nenek
Bulan Juli 1964, menjadi tahun yang membahagiakan bagi Zulkifli Susanto dan istrinya, Turini Haryono. Seorang bayi laki-laki telah hadir di tengah-tengah keluarga sebagai anak kedua. Julius Susanto, itulah nama yang diberikan kepada bayi mungil mereka. Nama itu mengisyaratkan bulan kelahirannya di bulan Juli dari seorang ayah bernama Susanto. Setelah menguap, Julius pun terpejam dalam dekapan ibunya.

Sementara kedua orangtuanya membuka usaha di Jakarta, Julius yang masih kecil diasuh oleh kakek-neneknya yang baik hati. Dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan dihangatkan oleh matahari Pulau Bangka, Julius tumbuh menjadi seorang anak yang sehat, ramah, berani dan penuh semangat. Kendati demikian, kondisi tubuhnya yang terkena polio sejak lahir membuat aktivitasnya tidak sebebas anak-anak yang lain. Berbagai pengobatan sudah diusahakan oleh kedua orangtuanya, baik secara medis maupun alternatif. Sudah banyak biaya yang dikeluarkan oleh kedua orangtuanya demi kesembuhan Julius. Namun kondisi bawaan sejak lahir menjadi alasan mengapa kondisi Julius tak juga sembuh.

Hijrah ke Jakarta
Pada usia 14 tahun, Julius atau yang akrab dipanggil Iyus, mulai terinspirasi untuk mengikuti jejak orangtuanya di Jakarta – berdagang. Setelah berpamitan dengan kakek-neneknya, Julius meninggalkan Pulau Bangka dan menyusul orangtuanya di Jakarta. Menyadari tingkat pendidikannya yang hanya sampai sekolah dasar, Julius sebisa mungkin membekali dirinya dengan berbagai keterampilan. Salah satu yang pernah ia ikuti selama di Jakarta adalah kursus keterampilan di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC), berdasarkan rujukan dari salah satu tetangganya yang bekerja di Dinas Sosial.

Setelah beberapa tahun mengikuti keterampilan dan tinggal di lingkungan perkotaan yang penuh dengan kesibukan, pada suatu hari setelah mengikuti keterampilan di YPAC, Julius menyaksikan aktivitas pedagang asongan di Jalan Haji Ung, Kemayoran, Jakarta Pusat. Saat itu usianya telah mencapai 25 tahun. “Aku masih ingat peristiwa waktu itu. Aku memandangi pedagang asongan di tepi jalan melalui mata yang tak terpejam dan hati yang bergemuruh. Dengan tenang aku hampiri ia untuk mengobrol menanyakan suatu maksud yang ingin kukerjakan,” tutur Iyus mengenang. “Pak, kalau saya mau berdagang seperti ini bisa nggak?” tanya Iyus kepada pedagang asongan itu. “Asal kamu ada kemauan pasti bisa,” balas si pedagang. Mendengar jawaban itu, hati Julius pun mendadak diliputi kegembiraan dan semangat.

Sepulangnya dari perjumpaan singkat dengan pedagang asongan itu, Julius segera menyusun rencananya untuk berdagang. Langkah pertama dia adalah menemui tetangganya yang membuka usaha agen rokok. Dengan uang sebesar Rp 5.000 yang dimilikinya, Julius membeli beberapa bungkus rokok dan menjualnya secara asongan di tepi jalan Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat. Keinginan untuk maju dan membahagiakan orangtua merupakan semangat utama yang mendorongnya untuk menjadi pedagang asongan. “Pertama berdagang saya tidak berpikir ini berhasil atau gagal. Yang saya pikirkan ini adalah suatu kesempatan ya jalani saja. Kalau bukan saya yang menolong diri sendiri, siapa lagi,” ujarnya.

foto   foto

 

Suka dan Duka Berdagang
Selain di Serdang, Julius juga menjajakan dagangannya sampai ke Jalan Garuda, Kemayoran, Pasar baru, Pecenongan, dan Stasiun Kereta Api Juanda. Semua ditempuh oleh Julius dengan menggunakan kursi roda yang dikayuhnya sendiri. Banyak pengalaman pahit yang dialaminya saat itu. Ketika ia menemukan satu tempat yang ramai pembeli, oleh pemilik tempat itu ia kemudian diusir. Julius pun kembali berkeliling dari jalan ke jalan. “Saya ngerasain leher sampe lecet mikul dagangan. Saya juga ngerasain ngak punya duit buat beli nasi,” kenang Julius.

Setelah 3 tahun menjalani suka duka berdagang asongan di tepi jalan, akhirnya pada pertengahan Desember 1993, di tengah rintik hujan Julius bertemu dengan seorang kepala satpam dan staf Mal Golden Trully yang kemudian menyapanya, “Mau kemana?” “Mau ke Pasar baru,” jawab Julius. “Emang kamu dagang di mana?” tanya pegawai mal itu. “Saya dagang keliling di daerah Pasar Baru,” jawab Julius. “Rumah kamu di mana?” tanyanya kembali. “Kemayoran,” sahut Iyus. “Kamu gila ya. Dagangan disayang, tapi diri kamu nggak kamu sayang. Udah kamu dagang aja di Golden Trully, tuh di situ banyak mobil supplier tapi nggak ada yang dagang rokok. Kalau ada yang tanya lu bilang aja gua yang suruh,” pungkas si satpam. Maka hari itu juga Julius segera mengayuhkan kursi rodanya menuju Golden Trully dan mulai berdagang di pelataran parkir belakang gedung.   

Kini setiap pagi menjelang, Julius tak lagi bersusah payah berkeliling menjajakan dagangannya. Semua itu telah tergantikan dengan diizinkannya Julius berdagang di area Mal Golden Trully. Setelah hampir 12 tahun berjualan, pada tahun 2005, tanpa disangka-sangka pihak manajemen Mal Golden Trully menawarkan niat baiknya kepada Julius dengan menyediakan sebuah kios semi permanen yang diberikan padanya untuk berdagang. Bagaikan sebuah embun di tengah hari, Julius pun menerimanya dengan senang hati. “Apa yang dikehendaki Tuhan, kita tidak pernah tahu. Mungkin Tuhan telah menggerakkan hati mereka untuk membantu saya,” katanya.

Perjalanan hidupnya yang penuh liku dan tanggung jawabnya yang tinggi terhadap keluarga telah menarik minat pihak manajemen PT Ciputra mengundang Julius untuk berbagi cerita di salah satu acara yang diadakannya. Dalam sharingnya Julius mengisahkan tentang dirinya yang terbatas secara fisik namun terus berjuang dengan penuh semangat demi tercapainya hidup yang lebih baik. “Hidup itu untuk berjuang. Dan hidup ini akan berarti kalau kita berbuat sesuatu yang berarti untuk orang lain. Saya punya cita-cita dan orang lain juga sama. Kalau saya ingin punya masa depan yang baik, orang lain juga sama. Yang membedakannya hanyalah kesempatan dan kemauan,” ujarnya.

Selain memiliki semangat hidup yang tinggi, Julius juga dikenal sebagai seorang yang ramah, suka membantu dalam memberikan nasihat, dan mudah bergaul dengan siapapun. Karenanya, di mana pun ia berbagi cerita seperti di sekolah atau pada gathering perusahaan, Julius selalu berpesan agar sesama manusia saling mengasihi dan tidak membeda-bedakan. “Setiap orang memiliki sisi kelemahan dan kelebihan masing-masing. Juga jangan memiliki keinginan untuk menjatuhkan orang lain,” katanya.

Bakti Julius terhadap orangtuanya juga patut dipuji. Sedari awal berdagang sebagian penghasilannya ia berikan kepada orangtua. “Bantu orangtua itu wajib, jangan dijadikan beban. Memberi kepada orangtua tidak membuat kita menjadi miskin, tidak memberi kepada orangtua juga tidak membuat kita menjadi kaya,” katanya.

Berderma untuk Orang Lain
Iyus sadar, keberhasilannya untuk mandiri juga berkat bantuan dari orang lain. Karena itulah Iyus pun tergerak untuk mau membantu sesama. Hal ini diwujudkannya dengan komitmennya untuk menjadi donatur tetap Tzu Chi. Mengapa Tzu Chi menjadi pilahannya, Iyus menjelaskan, “Waktu itu ada seorang jurnalis Tzu Chi (Apriyanto) yang mewancarai saya. Selesai itu, saya diberi Buletin dan Majalah Dunia Tzu Chi. Dari situ saya membaca kisah Oma Yani yang sudah tua dan sakit-sakitan serta ditinggalkan anak-anaknya. Hal ini membuat saya tersentuh sehingga memutuskan untuk menjadi donatur Tzu Chi.”

Selain itu, dari media cetak Tzu Chi ini pula, Iyus mengetahui jika Yayasan Buddha Tzu Chi banyak melakukan kegiatan sosial untuk membantu masyarakat yang kurang mampu. “Ada juga cerita tentang Budi, anak kecil yang terkena tumor. Setelah dibantu pengobatannya oleh Tzu Chi, anak ini kemudian berdagang kue dan hasilnya sebagian disisihkan untuk Tzu Chi,” ungkap Iyus. Kepada relawan Tzu Chi, Winarso, Iyus mengungkapkan komitmennya untuk menjadi donatur Tzu Chi setiap bulan.

“Saya akan datang setiap bulan, jadi Bapak nggak usah repot-repot ke kantor yayasan. Terima kasih Bapak ada itikad baik seperti ini,” ucap Winarso haru. “Berapa aja boleh, kan?” tanya Iyus. “Boleh, Pak, berapapun yang penting keikhlasannya. Bapak bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Walaupun dalam kondisi fisik yang terbatas, tapi Bapak bisa turut bersumbangsih bagi orang lain.

Tanaman tumbuh setelah ada yang menanam dan merawatnya. Begitu pula dengan rasa cinta kasih seseorang, semakin sering ia memupuknya, maka akan semakin besar kebijaksanannya. Seperti yang menjadi moto Iyus, “Tanam labu petik labu, tanam kacang petik kacang.”

 
Cara untuk mengarahkan orang lain bukanlah dengan memberi perintah, namun bimbinglah dengan memberi teladan melalui perbuatan nyata.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -