Effendi Lohananta
Mantap Melangkah di Jalan Tzu Chi

Dunia Tzu Chi masuk ke dalam kehidupan keluarga kami pada tahun 2002. Saat itu, istri saya, Michelle Foo telah menjadi salah satu relawan Tzu Chi di Singapura. Saya sendiri baru mengenal Tzu Chi. Tak banyak yang saya ketahui. Hubungan bisnis dengan PT Sinarmas membawa saya bertemu dengan Hendro, staf Sinarmas yang kemudian mengajak saya bergabung sebagai relawan Tzu Chi.

Keraguan berkecamuk di dalam batin saya. Saya berpikir: “Apakah saya sanggup? Apa yang bisa saya berikan?” Keraguan ini membuat saya mundur. Bagi saya saat itu, saya sudah puas dengan hanya menyumbangkan dana. Namun, kontradiksi kembali menguasai batin saya. Saya yakin bahwa setiap orang, termasuk diri saya sendiri memiliki kerinduan untuk berbuat kebaikan. Tetapi acap kali pikiran kita membuat diri kita ragu melangkah.

Satu dekade berlalu, setidaknya tiga kali kerinduan saya untuk berjalan di jalan Tzu Chi timbul. Pada tahun 2004, 2007, dan 2008, saya mendatangi kantor Yayasan Buddha Tzu Chi di ITC Mangga Dua, Jakarta Utara. Namun, agaknya jodoh saya belum tiba. Ketika saya datang, kantor Tzu Chi saat itu sedang kosong sehingga membuat saya urung masuk ke dalam. Hingga pada tahun 2012, saya bertemu dengan salah satu relawan, Inge Linarty yang memberi tahu saya jadwal sosialisasi relawan. Saya mengikuti sosialisasi tersebut. Keinginan saya bergabung dalam barisan relawan telah kukuh.

Pada Oktober 2013, saya telah menjadi relawan biru putih. Saat itu saya masih belum terpikir untuk fokus di misi tertentu karena setiap kegiatan memberikan saya sebuah kepuasan batin. Hingga suatu ketika saya diajak oleh relawan Tzu Chi di misi amal, Johan Kohar untuk melakukan survei kasus. Bertemu dengan para calon penerima bantuan membuat saya terkesima. Sosok Johan yang kerap membagikan pengalamannya menginspirasi saya untuk semakin mantap memfokuskan diri saya di misi amal.

Salah satu kekaguman terbesar saya adalah pada sosok Master Cheng Yen. Bagi saya, beliau tidak dapat dibandingkan dengan siapa pun. Salah satu alasan saya adalah cara beliau membangun Tzu Chi untuk meringankan penderitaan orang lain. Saya sangat bersyukur dapat berjodoh dengan Tzu Chi.

Sebelum saya mengenal Tzu Chi, waktu saya banyak terbuang dalam aktivitas yang kurang bermanfaat. Mal dan kafe telah menjadi rumah kedua saya pada akhir pekan. Bersama teman-teman, saya habiskan hari-hari dengan kumpul-kumpul tanpa tujuan. Setelah menjadi relawan Tzu Chi, saya lalui waktu dengan lebih bermakna.

Namun, lebih dari itu, Tzu Chi memberikan saya banyak hal. Salah satunya kepuasan batin. Kegiatan survei kasus atau kunjungan ke penerima bantuan saya akui tidaklah mudah. Tak jarang untuk menemukan alamat calon penerima bantuan dibutuhkan waktu sehari penuh. Fisik pasti terkuras. Namun, usai survei atau kunjungan membuat semua kelelahan fisik lenyap. Kepuasan membantu orang lain – setidaknya meringankan beban mereka, membuat diri saya semakin giat bersumbangsih di jalan Bodhisatwa dunia.

Tak jarang, hubungan baik terjalin dengan para penerima bantuan. Hal ini terjadi dengan salah satu penerima bantuan yang saya dampingi, yaitu Abdul Somad. Dia menderita penyakit tumor mata stadium lanjut. Saya berusaha memotivasi dan mendampingi dia hingga hubungan kami terasa begitu dekat, layaknya keluarga sendiri.

Salah satu keinginan saya yang paling mendalam adalah melihat kedua anak saya, Andrew dan Edward tumbuh menjadi insan yang dapat membantu orang lain. Hal ini selalu saya ajarkan dan teruskan kepada mereka. Meski Andrew adalah pribadi yang berkebutuhan khusus, tapi saya yakin dia akan menjadi insan yang dapat bersumbangsih bagi sesama.
Setiap manusia pada dasarnya berhati Bodhisatwa, juga memiliki semangat dan kekuatan yang sama dengan Bodhisatwa.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -