Florentina Limanto
Perwujudan Cita-Cita Sejak Kecil

Saya mengenal dan mulai mengikuti kegiatan Tzu Chi pada tahun 1999. Keponakan saya, Oey Hoey Leng (relawan komite) yang mengajak saya untuk ikut baksos kesehatan Tzu Chi di daerah Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Saat itu saya belum sepenuhnya mengerti apa itu Tzu Chi, tetapi karena saya menyukai kegiatan sosial maka saya pun ikut dalam kegiatan tersebut. Sejak kecil saya memang memiliki cita-cita jika dewasa ingin membantu dan menolong orang yang membutuhkan bantuan.

Saat itu saya bertugas di bagian pengukuran tekanan darah (tensi) pasien. Kegiatan baksos pada masa itu sungguh berbeda dengan sekarang, karena saat itu jumlah relawan Tzu Chi masih sangat sedikit, terutama relawan pria. Baksos juga lebih sering diadakan di bawah tenda, sehingga untuk pemasangan dan pembongkaran tenda pun dilakukan oleh relawan wanita (Shijie). Sejujurnya badan memang terasa lelah, tetapi ada kegembiraan dan kebahagiaan dalam hati yang sukar saya ungkapkan dengan kata-kata.

Ada kesan mendalam saat saya mengikuti baksos kesehatan Tzu Chi. Pertama saya melihat keramahtamahan para relawan terhadap warga dan sesama relawan. Hal lainnya adalah warga yang saya “periksa” memanggil saya “dokter’. Walaupun sudah saya jelaskan jika saya bukan dokter, tetapi mereka tetap memanggil dengan panggilan itu. Saya merasa bahagia saat itu, seolah cita-cita saya sewaktu kecil (menjadi seorang dokter dan dapat menolong orang) tercapai sudah.

Ikhlas Melepas

Walau dimulai sejak tahun 1999, tetapi sebenarnya saat itu saya belum terlalu aktif dan hanya dapat mengikuti kegiatan Tzu Chi pada hari Sabtu dan Minggu saja. Meski begitu, nilai-nilai Tzu Chi sudah mulai mempengaruhi sikap saya kepada orang lain. Dulu sebelum mengenal Tzu Chi, sikap saya kepada karyawan saya sangat tegas, bahkan bisa dibilang sedikit kasar. Kalau mood sedang kurang baik atau omzet kurang baik, terkadang kesalahan kecil dari karyawan saya dapat membuat saya marah hingga menggebrak meja. Tetapi sejak mengenal Tzu Chi, saya bisa lebih sabar dan toleran kepada orang lain dan lebih mensyukuri hidup.  

Saya mulai lebih aktif ketika kemudian memutuskan melepas usaha (bisnis) saya di  bidang tekstil. Ada dua peristiwa yang membuat saya melepaskan bisnis keluarga ini, yang pertama karena meninggalnya suami, dan yang kedua adalah peristiwa terbakarnya Pasar Tanah Abang di tahun 2003. Dalam kebakaran tersebut sebenarnya yang terbakar hanyalah toko saya, sedangkan gudang yang penuh dengan stok bahan tekstil selamat karena berada di blok lain. Tetapi akibat peristiwa ini, tagihan (piutang) saya macet, banyak debitur yang gagal membayar dengan alasan toko mereka terbakar. Setelah melalui pemikiran yang matang dan mengingat anak-anak saya semua sudah mandiri, maka saya ikhlas tidak mengejar para debitur dan saya bertekad untuk lebih aktif di jalan Bodhisatwa Tzu Chi. Di tahun itu pula saya dilantik menjadi relawan biru putih, dan lima tahun kemudian (2008) saya dilantik sebagai anggota Komite Tzu Chi.

Seiring berjalannya waktu, tanggung jawab saya sebagai relawan Tzu Chi semakin bertambah saat dipercaya menjadi Ketua Hu Ai Jembatan Lima (He Qi Pusat). Awal saya mengemban tanggung jawab ini bukannya tanpa kendala, terlebih saya tidak lancar menulis dalam bahasa Indonesia. Pernah saat saya mengirim info kegiatan melalui BBM dan SMS, relawan lain kurang mengerti, dan bahkan ada yang salah mengerti. Saya sempat merasa sedih hingga menitikkan air mata. Beberapa kali saya mengeluhkan kendala ini dengan Ketua He Qi Pusat (Like Hermansjah), beliau dengan arif memberikan semangat kepada saya jika saya pasti sanggup mengemban tanggung jawab ini. Arahan tersebut menambah semangat saya untuk mengatasi kendala ini. Beruntung kemudian ada relawan muda yang lancar berbahasa mandarin, Wansy Shijie. Melalui Wansy saya mengirimkan info dalam bahasa Mandarin untuk diterjemahkan. Setelah Wansy mengirimkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, barulah saya broadcast ke grup Hu Ai Jembatan Lima.

Melekat di Hati

Pada dasarnya saya menyukai semua kegiatan Tzu Chi, tetapi yang paling saya sukai adalah pendampingan pasien penerima bantuan Tzu Chi (Gan En Hu). Ada satu kasus yang membekas di hati saya saat menangani Chen Qun Ying yang mengalami kelumpuhan pada tahun 2007. Chen Qun Ying adalah seorang janda tanpa anak berusia sekitar 40 tahun yang berprofesi sebagai tour guide. Beberapa kali dalam seminggu saya menjenguk ke rumahnya di daerah Grogol, Jakarta Barat untuk mengantarkan obat-obatan dan makanan. Chen Qun Ying  juga menderita diabetes sehingga setiap hari memerlukan suntikan insulin. Karena Chen Qun Ying lumpuh, maka agak sulit bagi saya untuk membawanya ke rumah sakit. Saya kemudian minta bantuan dr. Kurniawan (dulu Direktur RSKB Cinta Kasih Tzu Chi) yang kebetulan tinggal tidak terlalu jauh dari rumah Chen Qun Ying. Dokter Kurniawan juga rutin memeriksa kondisi kesehatan Chen Qun Ying di rumahnya.

Chen Qun Ying adalah umat Katolik. Ia kerap mendapat kunjungan kasih dari gerejanya. Kepada pasturnya ia bercerita jika yang membantu pengobatannya adalah Tzu Chi dan memuji relawan dan dokter Tzu Chi yang sangat luar biasa, membantunya seperti keluarga sendiri. Melalui saya, sang pastur mengungkapkan rasa kagum dan terima kasih kepada Tzu Chi. Saya kemudian mengajak pastur tersebut dan beberapa umatnya untuk ikut sosialisasi Tzu Chi di Jing Si Book & Café Pluit, Jakarta Utara. Saat sharing, salah seorang umatnya berbicara dengan penuh semangat: “Tzu Chi Wan Sui’ atau “Hidup Tzu Chi”. Ternyata ia berasal dari Aceh dan saat terjadi tsunami tahun 2004, keluarganya mendapat bantuan dan pertolongan dari Tzu Chi. Ketika saya tawarkan menjadi donatur Tzu Chi, mereka semua bersedia. Bahkan ada anak dari salah satu donatur itu yang kini menjadi donatur setelah ayahnya meninggal dunia.

Setelah dirawat beberapa waktu, Chen Qun Yin menunjukkan kemajuan dan mulai belajar berjalan. Namun umur manusia tiada yang dapat menentukan. Setelah kurang lebih setahun didampingi, Chen Qun Yin kemudian meninggal dunia.

Kenangan lain yang juga melekat dalam hati adalah saat mendampingi anak asuh Tzu Chi bernama Noor Hadi. Cerita berawal ketika ayah Noor Hadi memohon bea siswa untuk anaknya yang saat itu tengah kuliah di Fakultas Kedokteran semester 2 Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Saya bersama Lulu Shijie kemudian menyurvei ke Kota Gudeg tersebut. Masih terbayang saat mengunjungi tempat kos Hadi yang kecil dan kurang layak. Keprihatinan sekaligus kekaguman saya berbaur menjadi satu.  Ini membulatkan tekad saya dan relawan lainnya untuk mendukung Noor mewujudkan cita-citanya: menjadi dokter humanis, yang bisa membahagiakan orang tuanya dan juga membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan.

Seperti dituturkan kepada Rianto Budiman (He Qi Pusat)

Cemberut dan tersenyum, keduanya adalah ekspresi. Mengapa tidak memilih tersenyum saja?
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -