"Saya Harus Sembuh, Saya Harus Kuat"

Jurnalis : Erli Tan, Fotografer : Erli Tan, Videografer: Clarissa R.

“Asalkan Mama sehat kembali, saya tidak capek, berbakti itu kewajiban,” ujar Chandra (18) yang telah mendampingi sang mama menjalani perawatan di Jakarta selama 6 bulan. Padahal Chandra sudah masuk usia kuliah, namun karena mamanya harus datang ke Jakarta menjalani perawatan, ia fokus mendampingi terlebih dahulu.

Chandra juga telaten menyiapkan kebutuhan mamanya, mulai dari makanan, buah-buahan, keperluan sehari-hari, dan lainnya. Saat ke rumah sakit, Chandra juga menjaga mamanya dengan baik. “Kalo lagi berobat, katanya ‘Mama duduk situ ajabiar Chandra aja yang kesana-kemari’. Jadi saya tak pernah kesana-kemari, saat udah selesai urusan administrasi dan lainnya. Nanti sudah mau ketemu dokter barulah sama mamanya ke sana,” ujar Wati senang. Chandra yang dipuji ibunya kelihatan tersenyum malu tapi bangga. 


Wati Wahyuti belajar mengendalikan pikirannya dengan rutin membaca Al-Qur’an, berzikir, dan sholat, untuk mengurangi sakit yang dideritanya.

Wati Wahyuti (56) amat bersyukur, bukan hanya Chandra, kedua anaknya yang lain juga sangat berbakti. “Alhamdulillah ketiga-tiganya berbakti pada orangtua, yang dua lagi juga ada kirim-kirim (uang) biarpun sedikit, tapi kan karena dibagi-bagi, sebagian buat rumah, buat makan, dan buat Emaknya,” terang Wati.

Sepeninggal suaminya 12 tahun lalu akibat sakit jantung, Wati Wahyuti hanya bisa bergantung hidup pada kedua anaknya yang sudah bekerja. Berempat mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan semipermanen yang sederhana.

Sakit Perut yang Tak Kunjung Sembuh


Anak bungsu Wati, Chandra (kiri) merasa dirinya tidak capek mendampingi mamanya menjalani pengobatan. Baginya, berbakti pada mamanya adalah suatu kewajiban.

“Awalnya itu perut sering mules, sakit, nggak sembuh-sembuh, sudah ke Puskesmas, kemana-mana, dan akhirnya saat cek ke RSUD  Tanjung Balai Karimun ternyata kanker serviks,” tutur Wati memulai kisahnya.

Wati divonis mengidap kanker serviks stadium 2B pada medio Januari 2020. Karena di Tanjung Balai Karimun tidak ada dokter ahli kanker, ia kemudian dirujuk ke RS Otorita Batam. Dari Batam, Wati kemudian dirujuk lagi ke RS Dharmais Jakarta untuk menjalani terapi sinar.

“Pas divonis penyakit ini, pikiran kalang kabut, tak bisa tidur, tak bisa makan. Tapi di dalam hati saya berkata, saya pasti sembuh, karena saya pengen segera diobati, saya punya semangat, saya harus hidup, harus sembuh, saya harus kuat. Biar orang ngomong begini-begitu, saya tak peduli, yang penting saya harus berangkat ke Jakarta, harus sembuh berobat,” tekadnya.

“Tapi dari situ saya bingung juga, mau rujuk ke Jakarta nanti saya mesti gimana, saya tinggal di mana, untungnya anak saya di kantor sering ketemu sama relawan Tzu Chi,” sambungnya. Putri sulungnya, Desi (29) bekerja di sebuah hotel di mana relawan Tzu Chi Tanjung Balai Karimun setiap 3 bulan melakukan penuangan celengan bambu. Dari sana mereka kemudian mengajukan permohonan bantuan ke Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

Setelah disurvei relawan Tzu Chi Tanjung Balai Karimun pada 28 Januari 2020, Wati didampingi putra bungsunya, Chandra langsung berangkat ke Jakarta pada 31 Januari 2020. Tzu Chi membantu mengurus semua keberangkatan dan akomodasi serta perawatan selama di Jakarta. Saat ini Wati sudah selesai menjalani terapi sinar sebanyak 28 kali.

 

Wati berusaha tetap optimis menghadapi penyakitnya walaupun harus jauh dari keluarga di kampung, Tanjung Balai Karimun.

Selama di Jakarta, Wati dan Chandra diberi tempat tinggal sementara di Rusun Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. “Alhamdulillah di sini orang-orangnya baik-baik semua, saya disambut dengan gembira. Di sini kan orang dari berbagai daerah juga (sama-sama menjalani pengobatan), jadi di sini saya berkumpul dengan orang dari Papua, kalimantan, Batam, Palembang,” ucap Wati lega.

Tak jarang saat penyakitnya kambuh, Wati merasakan sakit yang cukup menyiksa. Tapi akhirnya Wati juga menyadari jika pikirannya kacau, stres tak menentu, itu bisa berpengaruh pada penyakitnya. Sehingga ia pun berusaha mengendalikan pikiran dengan rutin membaca Al-Qur’an, berzikir, dan sholat.

“Saya berusaha tak emosi, kita harus sabar, karena kalo tambah emosi itu kan yang di dalam itu bergerak, kalo kita terus-terusan emosi, banyak pikiran, kan tambah besar (sakitnya). Kita ini kan sudah dikasi cobaan, ya harus sabar, tabah menjalani cobaan ini. Jangan sampai pikiran itu kacau gitu kan. Pikiran kita harus jernih, gitu. Kalo udah positif pikiran kita, itu mulesnya hilang.” Bagi Wati, penyakit ini juga memberinya sebuah pelajaran hidup.

Selama terapi sinar, Wati juga kerap merasa mual, namun sesuai anjuran dokter ia berusaha tetap banyak makan buah, minum susu atau madu untuk menggenjot selera makannya. “Walaupun terus-terusan mual, tapi saya berusaha tahan dan makan buah, minum susu, supaya jangan turun kondisi badannya. Jadi tiap kali 5 kali sinar, saya cek darah alhamdulillah trombositnya normal,” Wati pun makin optimis.

 

Suster Weny Yunita khusus menyempatkan diri datang ke Rusun Cinta Kasih Tzu Chi untuk menyemangati Wati sekaligus memantau perkembangan pengobatannya.

Bukan itu saja, selama menjalani terapi di RS Dharmais, Wati mendapati bahwa masih banyak orang yang lebih menderita darinya. “Di Dharmais saya ketemu banyak pasien, saya juga sharing dengan mereka, dan sebenarnya banyak orang yang lebih parah dari saya. Saya alhamdulillah tak parah, saya masih bisa jalan kesana- kemari. Saya bersyukur, kita sudah diberi kehidupan, kita harus bersyukur apa adanya,” ucap Wati.

Suster Weny Yunita, staf badan Misi Tzu Chi yang juga anggota Tzu Chi International Medical Association (TIMA) Indonesia pada 2 Juli 2020 khusus datang ke Rusun Cinta Kasih Tzu Chi untuk menyemangati Wati sekaligus memantau perkembangan pengobatannya, sambil mengecek kebutuhan sehari-hari apa yang masih kurang.

“Memang penyakit ini sangat panjang ya Ibu, sudah 6 bulan ya, apalagi kemarin Lebaran di sini. Harus semangat ya, Ibu, harus kuat baik dari Ibu sendiri maupun semangat dari keluarga. Chandra juga harus sehat ya, kamu harus lebih kuat dari ibu, harus jaga kesehatan,” ucap Suster Weny lembut. Suster Weny berharap Wati tetap semangat dan tidak menyerah di tengah jalan, karena jika menyerah maka terapi sebelumnya akan jadi sia-sia.

Harapan Wati pun sangat sederhana, selain ingin segera sembuh total, juga ingin kembali beraktivitas seperti biasa dan berkumpul kembali dengan anak-anak dan sanak saudara. 

Editor: Hadi Pranoto


Artikel Terkait

"Saya Harus Sembuh, Saya Harus Kuat"

03 Juli 2020

Wati Wahyuti (56), seorang ibu rumah tangga penderita kanker serviks asal Tanjung Balai Karimun menjalani pengobatan di RS Kanker Dharmais. Selama di Jakarta, Wati yang didampingi putranya tinggal di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi. Tzu Chi juga menyediakan kebutuhan sehari-hari dan transportasi untuknya. Telah 6 bulan lamanya ia berada di Jakarta dan menjalani terapi sinar, didampingi anak bungsunya, Chandra. 

Cara untuk mengarahkan orang lain bukanlah dengan memberi perintah, namun bimbinglah dengan memberi teladan melalui perbuatan nyata.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -