Asa di Lembah Himalaya

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari

Dokter Wang Suryani bercanda bersama anak-anak Shree Mangal Dvip Boarding School atau yang biasa disebut dengan Himalayan School.

Sebuah tenda sirkus berdiri megah di tengah satu kompleks bangunan Shree Mangal Dvip Boarding School, Nepal. Di dalamnya, puluhan anak sedang duduk melingkar mendengarkan seorang relawan menceritakan kisah kelinci, gajah, dan singa. Tatapan mereka terlihat sangat serius sekali tertuju pada relawan itu, namun terlihat lucu dimata yang melihatnya. Bayangkan saja, mereka mempunyai mata yang bulat seperti orang Mongolia, dan mata yang bulat itu terlihat lebih bulat karena konsentrasi mendengarkan kisah yang diceritakan relawan. Sedangkan pipi mereka yang merah merona akibat terpanggang matahari terlihat lebih merah karena cerahnya sinar matahari siang itu. Sementara relawan masih bercerita, mulut anak-anak itu ternganga, mungkin mereka mencoba mengerti makna bahasa Inggris yang dipergunakan relawan. Untungnya, ada Wisnu, penerjemah yang membantu kami selama mengunjungi Sekolah anak-anak Himalaya ini. Dan sudah seharusnya kami berterima kasih kepada Wisnu karena anak-anak langsung tergelak saat ia selesai menerjemahkan cerita relawan.

Mendengar tawa riuh anak-anak, Shirley Blair ikut tersenyum. “Mereka terlihat senang sekali bermain dengan relawan,” kata Direktur dari Himalayan School, nama lain dari Shree Mangal Dvip Boarding School ini. Shirley bercerita, sejak gempa mengguncang Nepal, anak-anak banyak menderita trauma. “Kami juga mengalami trauma,” ucap wanita asal Kanada ini. Namun dengan kedatangan relawan Tzu Chi, ia bisa kembali melihat kegembiraan anak-anak.

Selain menghibur anak-anak, dalam kunjungan itu Tzu Chi memberikan bantuan berupa operasi kecil kepada dua kakak-beradik, Dechen Sangmo (5) dan adiknya Tenzin Sonam (4)

Anak-anak Himalayan School menyambut gembira kedatangan relawan Tzu Chi. Mereka juga sangat antusias saat diajak berfoto bersama.

Selain menghibur anak-anak, dalam kunjungan itu Tzu Chi memberikan bantuan berupa operasi kecil kepada dua kakak-beradik, Dechen Sangmo (5) dan adiknya Tenzin Sonam (4). Menurut Dokter Wang Suryani, mereka menderita penyakit kutil yang bisa menular. “Jadi harus segera disembuhkan, kalau tidak nanti bisa menulari teman-teman bermainnya,” ucap Dokter Kimmy. Ia juga mengoleskan salep gatal kepada anak-anak di sana. “Kalau dilihat, mereka membutuhkan perhatian orang tua. Makanya begitu melihat ada kami, mereka senang sekali,” tambahnya.

Anak-anak di Himalayan School ini memang datang bukan dari wilayah Khatmandu. Shirley menjelaskan bahwa mereka, yang bersekolah di sekolahnya merupakan anak-anak minoritas di Nepal yang datang dari pegunungan yang sangat jauh dari kota. Seperti Dechen dan Tenzin misalnya, mereka berasal dari Desa Tsum, wilayah pegunungan di Distrik Gorkha. Kakak tertua mereka mengatakan bahwa untuk sampai sekolah, waktu yang dibutuhkan sekitar 4 hari berjalan kaki dan satu hari menggunakan bis. “Itu kalau turun gunung dan cuaca baik. Kalau naik gunung pasti akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan ditambah cuaca,” tutur Shirley.

Bagi mayoritas anak-anak di Himalayan School, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk sampai di sekolah ini memang sangat panjang. Kira-kira satu minggu berjalan kaki menuruni gunung. Dari sana mereka baru mendapatkan angkutan kota dan menempuh perjalanan dengan bis selama satu hingga dua hari lagi. “Seminggu itu bisa ditempuh oleh orang gunung, untuk saya mungkin bisa 2 minggu baru sampai,” canda Shirley saat kami masih berbincang seraya melihat anak-anak yang bermain bersama relawan. Perjalanan untuk menuntut ilmu yang sangat panjang sekali, ditambah mereka harus berpisah dengan orang tua mereka dalam waktu yang tidak pasti.

Kedatangan relawan sangat menghibur anak-anak Himalayan School. Mereka bermain dan bernyanyi bersama.

Relawan berbincang dengan Shirley Blair (baju hitam), Direktur Himalayan School mengenai bagaimana menjaga kesehatan anak-anak.

“Bahkan ada satu anak, rumahnya di wilayah pegunungan di Desa Dolpo,” sambung Shirley, “Ia beberapa hari lagi akan melakukan interview untuk mengajukan visa pendidikan karena ia mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Kami harus menghubungi orang tuanya untuk melakukan penandatanganan dokumen. Kamu tahu berapa lama waktu yang orang tuanya butuhkan untuk ke sini?” pertanyaan Shirley hanya saya jawab dengan senyuman. “Orang tuanya datang dengan sembilan hari berjalan kaki dan dua hari naik bus. Bisa kita katakan sebelas hari dia turun gunung. Dan waktu untuk kembali ke rumah bisa lebih panjang,” jelas Shirley sambil berdecak kagum membayangkan kerasnya perjuangan para warga yang tinggal di pegunungan. Shirley mengungkapkan bahwa mereka begitu peduli akan kelangsungan masa depan anak-anak mereka melalui pendidikan, “itulah yang diinginkan oleh Trangu Rinpoche, pendiri sekolah ini.”

Sama seperti Master Cheng Yen yang mendirikan Tzu Chi dan misi pendidikan di dalamnya, Trangu Rinpoche, Bhiksu Tibet itu juga mempunyai tujuan yang sama saat mendirikan sekolah ini. Shirley masih ingat betul apa yang dikatakan Rinpoche saat memutuskan untuk membangun sekolahnya pada 1987 lalu. “Rinpoche berkata, beliau ingin memberikan alat yang suatu saat nanti bisa berguna bagi diri mereka pribadi dan membantu orang lain saat mereka tumbuh nanti. Beliau juga ingin membantu anak-anak untuk menjaga bahasa mereka, budaya mereka, dan jalan hidup atau cara hidup Buddhis,” tutur Shirley.

Sebelumnya, ia juga banyak bercerita mengenai betapa fasilitas pendidikan dirasa sangat diperlukan di wilayah pegunungan di Nepal. Banyak permasalahan mulai dari kesehatan hingga kesejahteraan sosial yang timbul dari kurangnya pengetahuan yang berujung pada kemiskinan. “Sebagai contoh,” kata Shirley, “seorang anak yang menderita diare tidak akan diberikan asupan air yang cukup oleh ibunya karena ibunya berpikir terlalu banyak air yang masuk akan membuat banyak air yang keluar.” Sehingga survei mengatakan bahwa setiap 18 menit ada satu anak Nepal meninggal dunia karena diare. “Karena ibu mereka tidak tahu, mereka kurang pendidikan,” ucapnya miris.

Rinpoche sendiri merasa bahwa kondisi tersebut sangat berbeda dengan Tibet. “Dan di sini, saya melihat makanan saja tidak cukup. Banyak melihat penderitaan, tidak ada akses pendidikan, dan saya merasa lebih kaya daripada orang-orang yang saya lihat,” kata Shirley menirukan ucapan Rinpoche. “Tapi,” sambung Shirley, “Saat beliau meninggalkan Tibet, beliau bahkan tidak mempunyai apa-apa. Beliau tidak punya emas, tidak punya uang, yang beliau punya adalah jubah yang beliau pakai. Dan beliau masih mengatakan bahwa beliau lebih kaya dari siapapun yang ditemui.” Dari keprihatinan itu, sekolah ini akhirnya berdiri untuk membantu memberikan akses pendidikan bagi anak-anak pegunungan Himalaya. Hingga kini, ada sekitar 670 anak yang mendapatkan pendidikan gratis di sekolah ini.

Anak-anak di Himalayan School ini memang datang bukan dari wilayah Khatmandu. Shirley menjelaskan bahwa mereka, yang bersekolah di sekolahnya merupakan anak-anak minoritas di Nepal yang datang dari pegunungan yang sangat jauh dari kota.

Foto bersama relawan dan anak-anak.

“Saya tahu bahwa bukan hanya Rinpoche yang mempunyai kepedulian yang luar biasa, kalian pun (Tzu Chi dan relawannya) melakukan itu,” ucap Shirley, “sudah bertahun-tahun saya tahu Tzu Chi dan kalian benar-benar melakukan hal luar biasa.” Menurut Shirley, Tzu Chi datang dengan hati yang lapang dan membuka hati setiap orang. “Kita berjalan di jalan yang sama dan dari perasaan saya pribadi, kalian sudah bagai saudara kami,” ucapnya lagi.

Dharma, ajaran Buddha tidak hanya bicara, tidak hanya melantunkan doa, tidak hanya membangun wihara, tapi juga membantu orang lain. “Dan Tzu Chi melakukan itu, mempraktikkan Dharma. Begitu juga dengan Rhinpoche. Welas asihnya benar-benar dipraktikkan.” Dharma, kata Shirley, mengajarkan akan lebih dari sekadar kebaikan, tapi juga bagaimana cara mempraktikkannya. “Jadi jika orang membutuhkan makanan, beri dia makan. Jika orang membutuhkan pengobatan, maka beri dia obat. Ia juga membangun wihara, melantunkan doa, membabarkan Dharma, tapi ia juga tidak lupa untuk membantu, melakukan praktik. Saya senang kita bisa mempraktikkan Dharma bersama-sama,” pungkasnya tersenyum.


Artikel Terkait

Asa di Lembah Himalaya

Asa di Lembah Himalaya

26 Juni 2015 Perjalanan panjang dan berat untuk memperoleh pendidikan sangat dirasakan oleh anak-anak dari wilayah pegunungan Himalaya, Nepal. Harapan untuk bisa maju dalam kehidupan mereka gantungkan sangat tinggi sejak dini.
Orang yang memahami cinta kasih dan rasa syukur akan memiliki hubungan terbaik dengan sesamanya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -