Lebih Sehat dengan Pengendalian Pikiran

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari
Sebanyak 21 relawan Tzu Chi Komunitas He Qi Timur mengunjungi rumah Lisawati di wilayah Pisangan Timur, Pulo Gadung, Jakarta Timur. Mereka bertemu Lisa dalam perjalanan ke rumahnya.
Sebanyak 21 relawan Tzu Chi Komunitas He Qi Timur mengunjungi rumah Lisawati di wilayah Pisangan Timur, Pulogadung, Jakarta Timur. Mereka bertemu Lisa dalam perjalanan ke rumahnya.

Berjalan menyusuri gang sempit di wilayah Pisangan, Pulo Gadung, Jakarta Timur menjadi pembuka hari bagi 21 relawan Tzu Chi komunitas He Qi Timur, pekan lalu (27/8/16). Mereka tengah mengadakan kegiatan rutin berupa kunjungan kasih untuk para penerima bantuan pengobatan Tzu Chi.

Rumah pertama yang mereka singgahi adalah kontrakan Lisawati, kontrakan sederhana dengan cat warna biru di sebuah gang sempit. Kontrakan Lisa tidak besar, ukurannya 4x10 meter. Di kontrakan yang sesak itu relawan bergantian masuk ke dalam untuk sekedar menyapa Lisa dan anak-anaknya.

Lisa adalah seorang ibu rumah tangga, ia mempunyai dua anak yang satu di antaranya menderita keterbatasan fisik sejak usianya 1 tahun 3 bulan. Sudah lima bulan lamanya, Lisa akrab dengan relawan Tzu Chi karena permintaan bantuan yang ia ajukan untuk membantu pengobatannya. Sejak 2004, Lisa sudah menderita penyakit lambung dan harus mengonsumsi resep dokter secara rutin. Suaminya yang bekerja sebagai sopir merasa berat membiayai kebutuhan harian mereka.

Ketika melakukan survei ke kontrakkannya, relawan pun melihat kondisi putra bungsu Lisa yang juga membutuhkan bantuan. Mereka lalu menganjurkan Lisa untuk kembali mengajukan bantuan yang kali itu untuk putranya. Sejak itulah ia mulai dekat dengan Tzu Chi. Lisa pun kerap datang dalam kegiatan-kegiatan Tzu Chi mulai dari kegiatan pertemuan para penerima bantuan hingga kegiatan di daur ulang. “Pertama ikut kegiatan, dia kelihatan kacau,” kata Yusdeli Aimei, relawan Tzu Chi komunitas He Qi Timur.

Kacau yang dimaksud relawan bukan karena pakaian yang dikenakan Lisa kurang baik, bukan pula karena tindak tanduknya yang tidak sopan. Melainkan karena tatapan kosong yang terlihat di mata ibu dua anak tersebut. Lisa juga tidak mengerti apa yang disampaikan relawan. “Ngobrol sama dia itu nggak nyambung. Ngomongnya ngelantur,” ucap Aimei lagi.

Sejak melihat kejanggalan perilaku Lisa di bulan pertama perkenalan itu, relawan mencoba mendekatkan diri. “Kami sering main ke rumah Lisa, kunjungan ke sana. Lalu ketika kegiatan gathering gan en hu diadakan, kami juga mengajak Lisa untuk banyak bercerita tentang kehidupannya,” lanjut Aimei. Melalui pendekatan tersebut, relawan melihat bahwa bukan hanya perekonomiannya yang tengah memerlukan bantuan, tapi psikis Lisa pun membutuhkan hal yang sama.

Di kontrakannya yang sesak, relawan berbagi cerita dengan Lisa. Mereka bahagia melihat perkembangan Lisa yang semakin hari semakin membaik.

Aimei dan relawan lain menduga Lisa sedang menderita depresi, “Kelihatan jelas kalau Lisa sedang stres.” Di bulan-bulan awal mengenal Tzu Chi, Lisa gampang marah, mukanya pucat, dan ia sering menghabiskan uang untuk membeli obat-obatan yang tidak perlu untuk ia minum. Ia takut menghadapi rasa sakit dan ia terlampau sedih melihat kondisi anaknya yang cacat. Perilaku Lisa itu pun telah membuat suaminya sering kesal.

Relawan yang paham akan hal tersebut kemudian menyisihkan waktu lebih panjang untuk menemani Lisa. Mereka beberapa kali mengundang Lisa untuk bertemu di Jing Si Books & Café Kelapa Gading. “Kami mendengarkan curhatannya dan mencoba memberikan solusi untuk mengubah pola hidupnya,” tutur Aimei. Memang tidak mudah, namun sedikit demi sedikit Lisa mendengarkan apa yang dikatakan relawan.

Perkembangan itu mulai diperlihatkan Lisa di bulan ketiga perkenalannya dengan relawan. Lisa mengaku sudah tidak lagi mengonsumsi obat-obatan yang ia beli dari warung dekat rumahnya, ia sudah meminta anak sulungnya untuk membuang obat-obatan tersebut. Ia juga sudah belajar menyimpan uang pemberian suaminya, ia pun mendengarkan relawan untuk tidak banyak berpikir negatif tetang kondisi anaknya. “Sekarang kondisi Lisa sudah jauh lebih baik, sudah bisa ketawa,” tutur Aimei.

Hidup dengan Napas Buatan

Selain berkunjung ke kontrakan Lisa yang sesak, relawan juga bertamu ke rumah Drs. Rachmat Hidayat di Cipinang. Pensiunan Departemen Agama itu menumpang di rumah keluarganya yang terlihat besar dan megah. Di sana relawan disambut oleh Metty Zarliana, istri Rachmat. “Bapak (suami) lagi istirahat di kamar, silakan masuk bapak-ibu,” ucapnya ramah.

Rachmat Hidayat yang kini berusia 60 tahun menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan bisa bertahan hidup dengan bantuan alat pernapasan dengan kabel-kabel yang terpasang di tubuhnya. “Hidup bapak bergantung sama alat, sama listrik,” ucap Metty lirih di samping ranjang suaminya. Relawan mencoba menenangkannya dengan mengusap punggung Metty.

Dulu, kondisi kritis Rachmat dipicu oleh pencurian di rumahnya. Dua mobilnya raib. Tak lama setelah pencurian terjadi, ia lalu tertekan dengan kondisi perekonomian keluarga. Pikirannya dibelenggu dengan banyak hal, berat badannya menyusut dari hari ke hari, dan akhirnya dia tak berdaya, sakitnya makin menjadi.

Selain berkunjung ke kontrakan Lisa yang sesak, relawan juga bertamu ke rumah Drs. Rachmat Hidayat di Cipinang. Rachmat Hidayat yang kini berusia 60 tahun menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan bisa bertahan hidup dengan bantuan alat pernapasan dengan kabel-kabel yang terpasang di tubuhnya.

Sebelum menerima bantuan alat pernapasan dari Tzu Chi, Racmat sudah lebih dulu dirawat selama 14 bulan di RSCM Jakarta dengan bantuan dari beberapa pihak. “Sebenarnya pengen sekali bawa bapak pulang, tapi kami nggak punya alat itu di rumah. Harganya sangat mahal,” tutur Metty. Ada juga yang pernah menjanjikan untuk memberikan alat itu untuk Rachmat, namun ternyata tidak terwujud. Pihak rumah sakit kemudian mencoba meminta keluarga untuk bertanya pada Tzu Chi. Sejak itu pula mereka saling mengenal. Tzu Chi lalu memberikan bantuan berupa ventilator portable untuk Rachmat.

Hidup Rachmat yang tergantung dari alat bantu pernapasan dan listrik sering kali membuat Metty was-was. Satu kali ia pernah menelpon kantor PLN berulang kali untuk memohon menyalakan listrik di lingkungan rumahnya. “Saat itu lagi ada giliran pemadaman listrik di daerah sini. Saya sudah panik karena bapak sudah susah napas. Saya ambil genset (generator), tapi susah juga buat nyalain sendiri,” cerita Metty. “Akhirnya saya telepon PLN berulang kali dan minta tolong untuk nyalain listrik. Beruntung mereka bisa mengerti kami,” imbuhnya lega.

Bantuan dari Tzu Chi pun membuat Metty sangat lega. Ia berterima kasih kepada relawan dengan cara merawat suaminya sebaik mungkin. “Karena untuk sementara ini, hanya itu yang bisa saya lakukan,” ucapnya. Relawan pun bersyukur dengan ketabahan yang dimiliki para penerima bantuan Tzu Chi.

Metty Zarliana (baju putih), istri Rachmat Hidayat, mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada relawan dengan cara merawat suaminya sebaik mungkin.

Dengan melihat penderitaan orang lain, maka baru bisa menumbuhkan rasa syukur dalam diri sendiri. Dengan melihat penderitaan orang lain berkurang maka kebahagiaan relawan semakin bertambah. Hal tersebutlah yang dituturkan relawan usai mengunjungi dua penerima bantuan Tzu Chi. “Bahagia sekali karena apa yang kita inginkan bisa tercapai, keinginan kita adalah membantu orang-orang agar mereka yang kita bantu ini keluar dari penderitaan,” ucap Aimei. “Penderitaan itu bisa datang dari mana aja, termasuk dari pikiran dan batin. Maka kami, relawan selalu siap mendampingi agar pikiran dan batin dari penerima bantuan kembali lurus supaya arahnya benar,” tambahnya.

Master Cheng Yen mengatakan bahwa pencegahan yang terbaik adalah dimulai dari sumbernya. Segala upaya pencegahan harus dimulai dari akarnya maka relawan harus mencari dari mana akar masalahnya. Dengan mengetahui sumber penderitaan, maka penderitaan baru bisa dihapuskan.

Artikel Terkait

Kita hendaknya bisa menyadari, menghargai, dan terus menanam berkah.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -