Mengingat Budi Luhur Buddha, Orang Tua, dan Semua Makhluk

Jurnalis : Elin Juwita (Tzu Chi Tebing Tinggi), Fotografer : Erik Wardi (Tzu Chi Tebing Tinggi)


Anak–anak Kelas Budi Pekerti ikut dalam barisan penyambutan tamu.

Setiap minggu kedua di bulan Mei, Tzu Chi mengadakan perayaan Hari Waisak, Hari Ibu Internasional dan Hari  Tzu Chi Sedunia. Perayaan ini sebagai wujud terima kasih atas budi luhur Buddha, orang tua, dan semua makhluk di manapun.

Tzu Chi Tebing Tinggi pada Minggu, 13 Mei 2018 mengadakan prosesi Waisak di lapangan Daur Ulang Kantor Penghubung Tebing Tinggi. Acara yang dimulai pukul 19.30 WIB ini dihadiri oleh 4 orang Bhikkhu, 3 orang suster Katolik Harapan Jaya P. Siantar, dan sekitar 400 tamu undangan. Tamu undangan ini berasal dari tokoh-tokoh agama dan organisasi di Tebing Tinggi, Relawan Tzu Chi dari Tebing Tinggi dan juga luar kota seperti Medan, Kisaran dan P. Siantar yang berjumlah 118, Anak–anak Kelas Budi Pekerti Tzu Chi Tebing Tinggi, dan sejumlah umat muslim dari komunitas relawan Desa Laot Tador dan Panti Asuhan Amaliyah.


Sebelum acara dimulai, para tamu diberi penjelasan tetang tata cara pemandian rupang Buddha dan makna waisak Tzu Chi yang diperagakan oleh relawan.


Tiga orang suster Katolik dari Panti Harapan Jaya P. Siantar juga mengikuti seluruh prosesi waisak dengan tulus.

Para tamu undangan yang berasal dari berbagai komunitas dan agama melebur dalam satu keharmonisan selama prosesi berlangsung. “Saya menyampaikan selamat Hari Waisak. Saya senang, bangga bersaudara dengan Buddha Tzu Chi karena saya lihat Buddha Tzu Chi realita hidupnya bersaudara dengan segala alam ciptaan dan saya pun diajarkan seperti itu. Saya berusaha berbuat lebih nyata sesuai yang diajarkan Master Cheng Yen dari buku yang telah saya baca sebelumnya,” ujar Suster Leonie FCJM dari Yayasan Panti Harapan Jaya P. Siantar.

Sebelum acara dimulai, para tamu diberi penjelasan tentang tata cara dan makna Waisak di Tzu Chi sehingga proses pemandian Buddha Rupang dan pradaksina bisa berjalan dengan khidmat. Kemudian para tamu undangan dituntun untuk berbaris di lapangan sesuai dengan titik yang telah ditempelkan di lantai. Mereka berbaris rapi dan indah sesuai dengan seragam dari masing– masing organisasi.


Sebanyak 32 orang relawan membawa persembahan berupa air, pelita (lilin), dan bunga ke meja persembahan sebagai wujud penghormatan paling tulus kepada Buddha. Sebanyak 400 tamu undangan yang terdiri dari tokoh-tokoh agama dan organisasi serta masyarakat Tebing Tinggi ikut dalam prosesi Waisak ini.


Prosesi pemandian rupang Buddha dipimpin oleh 4 orang bhikkhu.

Sebanyak 32 relawan membawa persembahan berupa air, pelita (lilin), dan bunga memasuki meja persembahan dengan tulus dan khidmat. Masing-masing persembahan tersebut memiliki makna tersendiri. “Kita membangkitkan niat paling tulus kepada Sang Pencerahan di alam semesta dengan prosesi kita. Persembahkan pelita melambangkan cahaya terang bisa menerangi bathin kita dan bathin setiap makhluk. Persembahan air melambangkan air yang jernih bisa membersihkan kotoran bathin, dan persembahan bunga melambangkan keharuman Dharma dapat menyebar di seluruh penjuru,” jelas Pinnie Djohan, Koordinator Perayaan Waisak ini.

Prosesi pemandian rupang Buddha dipimpin oleh empat orang Bhikkhu, dilanjutkan dengan relawan dan tamu undangan yang berbaris rapi di depan meja persembahan. Prosesi berlangsung dengan khidmat, tertib, dan lancar. Kemudian dilanjutkan dengan pradaksina yang memiliki arti meditasi berjalan.

Para tamu undangan dengan dibimbing relawan maju ke meja persembahan untuk mulai melakukan prosesi pemandian rupang Buddha dengan pikiran yang tulus.

Acara ditutup dengan doa bersama. Cahaya pelita tampak menerangi kegelapan malam, yang bermakna cahaya kebijaksanaan Buddha menerangi bathin setiap orang. Semoga bathin setiap orang tersucikan, masyarakat hidup damai dan tentram, dan dunia terbebas dari bencana.

Editor: Khusnul Khotimah


Artikel Terkait

Melatih diri adalah membina karakter serta memperbaiki perilaku.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -