Senyum Ita di Hari Pertama Sekolah

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
Ita Ahyani (paling kanan) memulai hari pertamanya masuk sekolah di SMP Baitul Hikmah, Kopo, Serang Banten.

Setelah sempat terhenti tiga tahun, kini Ita bisa kembali belajar di sekolah. Semangatnya terlihat dalam wajah dan langkah kakinya. Sekolah, tempat yang akan membuka cakrawala sekaligus tempat terbaik untuk melupakan sejenak penyakitnya.

Senin, 17 Juli 2017 menjadi hari yang spesial bagi Ita Ahyani (12). Gadis mungil ini bangun lebih pagi dari biasanya, jam 5 pagi. Setelah mandi dan salat Subuh, ia bergegas rapi-rapi dan sarapan, sebelum kemudian berangkat ke sekolahnya di SMP Baitul Hikmah yang hanya sepelemparan batu jaraknya dari rumahnya di Kampung Ranca Gede, Desa Carenang Udik, Kecamatan Kopo, Serang, Banten. Ia menjadi murid pertama yang tiba di sekolah.

Hamimah (39), ibunda Ita mengatakan jika sejak malam hari putrinya itu begitu bersemangat menyambut hari pertamanya masuk sekolah. “Waktu malam sebelum tidur dia bilang, ‘Umi (ibu dalam bahasa Sunda-red), besok dah mulai sekolah ya?’. Wajahnya senang banget,” kata Hamimah. Kebahagiaan Ita mungkin berlipat-lipat dari teman-temannya. Maklum saja, jika sebagian teman-temannya masuk sekolah setelah menjalani liburan panjang, Ita justru baru kembali merasakan bangku sekolah setelah tiga tahun terpuruk akibat penyakitnya. “Makanya saya juga bahagia banget Ita bisa kembali sekolah. Ini yang saya nanti-nantikan, saya pengen anak saya sekolah lagi, bersosialisasi lagi, berbaur dan punya semangat,” ungkap Hamimah. 

Ragu dan Minder

Kebahagiaan Hamimah bukan tanpa alasan. Pasalnya sejak terkena penyakit yang memaksanya tidak bisa lagi beraktivitas seperti anak-anak lainnya, Ita tumbuh menjadi sosok yang minder dan pemalu. Ita pun lebih sering menutup diri, tak mau bertemu sembarang orang maupun teman-temannya. Bahkan jika teman-temannya datang, Ita justru bersembunyi. “Mungkin malu juga karena badannya kecil, nggak sebesar teman-teman sebayanya,” terang Hamimah. 

doc tzu chi

Di hari pertama sekolah ini Ita diantar ibunya, Hamimah. Hari berikutnya Ita akan berangkat sekolah sendiri, mengingat jarak dari rumah ke sekolah sangat dekat.

Sejak diketahui mengidap penyakit Renal Tubular Acidosis (RTA), pertumbuhan Ita memang terhambat. Di usianya ini ia hanya berbobot 15,7 kg. Penyakit Renal Tubular Acidosis sendiri adalah kondisi di mana bagian dari ginjal yang bernama tubulus renalis tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga hanya sedikit asam yang dibuang ke dalam urin. Akibatnya terjadi penimbunan asam dalam darah, yang mengakibatkan terjadinya asidosis, yakni tingkat keasamannya menjadi di atas ambang normal. Akibatnya, fungsi penyerapan kalsium pun menjadi terhambat. Ini yang membuat perkembangan fisik Ita lambat.

Beruntung, setelah menjalani pengobatan secara rutin di RSCM Jakarta, kondisi Ita membaik. Dari tidak bisa berdiri, Ita mulai bisa melangkah, meski dengan sangat pelan dan hati-hati. Kini Ita sudah bisa berjalan dengan normal, sehingga Hamimah pun cukup PD (percaya diri-red) untuk melepas Ita pergi dan pulang sekolah sendiri. “Makanya saya pilih sekolah yang dekat rumah aja, yang penting Ita bisa sekolah,” tegas Hamimah, yang berprofesi sebagai guru madrasah ini.

Murid Istimewa

Tidak mudah bagi Hamimah awalnya untuk membujuk Ita untuk kembali ke bangku sekolah. “Dia sempat bilang nggak mau sekolah lagi, malu, karena badannya paling kecil. Tapi saya terus bujuk dan motivasi dia supaya tetap semangat.’ Nggak papa badan kamu kecil, yang penting tetap sekolah’,” kata Hamimah.

Hamimah tak ingin selain tertinggal pertumbuhan fisiknya, Ita juga mesti tertinggal pengetahuannya. Terlebih aktivitas Ita saat itu hanya bermain di rumah dan menonton televisi saja. “Kalau di sekolah kan dia bisa banyak interaksi, dapat ilmu dan juga banyak teman,” ungkap Hamimah. Untuk menjaga harapan Ita untuk bersekolah, selama di rumah Hamimah selalu mengajari Ita pelajaran seperti di sekolah agar nantinya bisa mengikuti ujian sekolah non formal melalui jalur Kejar Paket A (setingkat sekolah dasar-red). Dan alhamdulillah Ita pun berhasil lulus dan memperoleh ijazah sekolah dasar. Hasilnya, di tahun ajaran baru ini, Ita bisa melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya.

Saeful Anwar, Kepala SMP Baitul Hikmah tengah memberikan pesan kepada para siswa di hari pertama masuk sekolah ini.

Di hari pertamanya belajar di SMP Baitul Hikmah, Ita tampak masih sedikit pemalu. Tetapi ia terlihat sangat nyaman bersama teman-temannya di kelas. Sesekali ia mencatat berbagai keterangan yang disampaikan gurunya dengan buku di tangan. Sekolah Ita memang terbilang sederhana, tanpa meja dan kursi. Namun bagi Hamimah ini bukanlah masalah, yang terpenting Ita bisa sekolah. “Sekolah ini baru tiga tahun dan memang masih minim fasilitasnya, tapi bagi saya yang penting dekat dari rumah, jadi Ita bisa jalan sendiri ke sekolah, nggak perlu antar-jemput,” terang Hamimah.

Ita sendiri terlihat cukup nyaman belajar di kelas. Terlebih saat jam istirahat banyak teman-teman yang mendampinginya. Beberapa diantaranya memang teman-temannya sewaktu di sekolah dasar dulu. “Senang aja bisa sekolah lagi,” kata Ita yang bercita-cita menjadi koki ini. Ia pun tak terlihat canggung saat berkumpul dan bermain dengan teman-temannya. “Semangat, bangun pagi. Teman-temannya juga baik-baik,” ungkapnya.    

Di waktu istirahat, Ita dan teman-temannya menggunakan kesempatan ini untuk lebih mengenal satu sama lain.

Saeful Anwar, Kepala SMP Baitul Hikmah mengakui jika sekolahnya memang masih minim fasilitas. Namun, ia dan keluarganya tetap berkeinginan mendirikan sekolah di wilayah ini karena tergerak untuk memajukan pendidikan di desanya. “Mayoritas murid-murid di sini memang berasal dari keluarga kurang mampu, tapi mereka sangat semangat bersekolah, makanya kita dirikan sekolah ini dengan kemampuan kita yang terbatas,” ungkap Saeful. Meski minim fasilitas (gedung dan sarana prasarana), bukan berarti sekolah ini minim dalam hal pengajaran. Semua materi pelajaran sesuai dengan arahan dari pemerintah. Begitu pula dengan tenaga pengajarnya. “Guru-guru di sini memang sifatnya lebih kepada pengabdian,” kata Saeful tersenyum.

Mengetahui kondisi Ita yang perlu perlakuan khusus, Saeful pun sudah menyiapkan penanganan khusus. Salah satunya akan ada guru pembimbing yang khusus mendampingi Ita untuk mengejar ketertinggalan pelajarannya. “Karena meski Ita sudah lulus sekolah dasar melalui jalur non formal, tapi tentu beda (kemampuannya) dengan anak-anak yang bersekolah setiap hari,” kata Saeful. Begitu pula untuk aktivitas fisik, tentu akan ada perlakuan khusus untuk Ita. “Intinya kita akan dampingi dan perlakukan Ita sesuai dengan kemampuan fisik dan kesehatannya,” kata Saeful. 

Relawan Tzu Chi, Nani Sutanto saat mendampingi Ita dan ibunya pascaoperasi di RSCM Jakarta pada tahun 2016 lalu.

Walaupun sudah terlihat normal dan sehat, nyatanya Ita setiap bulan memang harus tetap menjalani pemeriksaan secara rutin ke rumah sakit di Jakarta (RS Cipto Mangunkusumo). Jika akan melakukan pemeriksaan rutin, Hamimah dan Ita harus menginap setidaknya dua hari di rumah singgah yang ada di sekitar rumah sakit. “Kalau ada pemeriksaan ginjal dan lainnya, itu bisa sampai empat hari,” terang Hamimah. Karena itulah Hamimah merasa bersyukur karena Tzu Chi terus mendampingi dan membantu pengobatan Ita hingga saat ini. “Kalau nggak dibantu Tzu Chi mungkin berobatnya nggak bisa rutin, mungkin kondisi kesehatan Ita nggak (sehat) seperti ini,” ungkapnya haru.

Editor: Arimami Suryo A.


Artikel Terkait

Senyum Ita di Hari Pertama Sekolah

Senyum Ita di Hari Pertama Sekolah

18 Juli 2017

Senin, 17 Juli 2017 menjadi hari bersejarah bagi Ita Ahyani (12). Setelah sempat terhenti tiga tahun, kini Ita bisa kembali belajar di sekolah. Semangatnya terlihat dalam wajah dan langkah kakinya. Sekolah, tempat yang akan membuka cakrawala sekaligus tempat terbaik untuk melupakan sejenak penyakitnya. 

Langkah Kecil Ita Ahyani

Langkah Kecil Ita Ahyani

31 Oktober 2016

Selama empat tahun gadis mungil itu hanya bisa duduk di kursi roda. Dua roda menjadi pengganti kedua kaki mungilnya untuk beraktivitas. Setelah menjalani pengobatan secara rutin, kaki-kaki mungil itu menjadi lebih kuat hingga sanggup menopang tubuhnya. Kini, gadis kecil itu, Ita Ahyani, sudah siap melangkah mengejar ketertinggalannya.

Bila sewaktu menyumbangkan tenaga kita memperoleh kegembiraan, inilah yang disebut "rela memberi dengan sukacita".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -