Ceramah Master Cheng Yen: Mendalami Dharma Tanpa Rintangan
“Kami
akan setiap hari berdonasi, mengakumulasi berkah, menolong orang lain, dan berbuat
baik. Pesan cinta kasih kami untuk Kakek Guru, lebih banyak minum air, lebih
banyak berolahraga, dan lebih banyak makan agar lebih berstamina,” Guru dan murid
TK Cinta Kasih Kaohsiung menyumbangkan isi celengan bambu untuk menyambut
bantuan bencana internasional.
“Master yang terkasih, Saya adalah Guo Shi. Saya tidak pernah
bersekolah. Saya hari ini ingin berbagi tentang bagaimana saya mengikuti para
relawan lain membaca buku tentang Mahabhiksu Zhi Zhe. Setelah beberapa waktu, Kakak
Shu-yue memberikan sebuah buku kecil pada saya dan berkata, “Buku ini untukmu dan
kamu harus mengerjakan PR.” Namun, saya tidak bisa menulis. Kakak Shu-yue
sangat bersungguh hati. Dia berkata, “Kamu tulis dua huruf saja.” Saya
bertanya, “Huruf apa?” Dia berkata, “Gan en (bersyukur), bagaimana?”
kata Lin
Guo Shi relawan berusia 76 tahun.
“Di rumah, baik di kalender maupun brosur, saya terus berlatih
menulis dengan serius hingga saya merasa bahwa tulisan saya bisa dibaca, baru
saya kumpulkan. Menulis dua huruf itu saja, saya menghabiskan banyak waktu,”
imbuhnya.
Buta
huruf tidak apa-apa, menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menulis kata
“gan en” juga tidak apa-apa. Hati kita harus dipenuhi rasa syukur dan kesabaran
setiap waktu.
“Nama
saya Lai Ni. Semula saya tidak bisa dan tidak berani menggunakan buku
elektronik. Kemudian, Kakak Shu-yue menyemangati dan mengajari saya. Dia
mengajari saya dengan sabar sampai saya bisa mengunggah dan membaca Sutra Makna
Tanpa Batas dengan buku elektronik,” kata Nian Lai Ni relawan berusia 75 tahun.
“Saya
juga mengikuti acara bedah buku. Huruf di buku tentang Mahabhiksu Zhi Zhe terlalu
kecil, saya tidak bisa membacanya. Kakak Shu-yue sangat bersungguh hati dan memfotokopinya
dalam ukuran lebih besar sehingga saya bisa membacanya. Saya sangat gembira. Saya
membacanya dalam dialek Taiwan. Saya membacakan intinya dan dia menjelaskannya sehingga
saya memahaminya dengan baik. Kemudian, dia menunjukkan kisahnya dalam opera
Taiwan pada kami sehingga kami semakin memahaminya. Saya sangat gembira dan
tenang,” kata Lin De-chuan relawan berusia 81 tahun.
“Saya juga sangat bersyukur kepada Master yang membuka Jalan Bodhisatwa
bagi kami. Saya menapaki jalan ini dengan gembira, damai, dan tenang. Setelah
mengenal dan memahami Tzu Chi, saya merasa tidak memiliki penyesalan. Saya akan
terus bersumbangsih hingga tidak bisa bersumbangsih,”
imbuhnya.
Para
relawan senior yang sudah berusia lanjut juga mengikuti acara bedah buku. Namun,
dibandingkan dengan saya, berusia 81 tahun pun masih lebih muda. Kita belum tua
karena telah “menyimpan” 50 tahun di bank usia. Dengan bersungguh hati, hidup
kita akan sangat bermakna. Mari kita menjaga kesehatan baik-baik.
“Kami akan mengikuti langkah Master dan menjalankan Tzu Chi dari
kehidupan ke kehidupan,” ucap semua relawan.
Baik.
Saya juga tidak akan meninggalkan Tzu Chi dari kehidupan ke kehidupan. Jadi,
saya sangat bersyukur ada kalian yang menjalankan Tzu Chi. Asalkan ada orang
yang menemani, saya selamanya tidak akan meninggalkan Tzu Chi. Saya sangat
bersyukur.
Buta
huruf di kehidupan ini tidak masalah. Semoga di kehidupan mendatang, kita bisa
seperti Mahabhiksu Zhi Zhe dan begitu melihat Sutra, kita sudah tahu sebelum
membacanya. Dharma bagaikan sebutir benih. Kini kita harus menanam benih Dharma
di dalam ladang batin kita. Untuk mempelajari Dharma di kehidupan mendatang, kita
harus membangun fondasi sekarang.
Saya
sangat gembira mendengar relawan yang buta huruf bisa membaca buku hingga
memahami kebenaran. Ini sangat mengagumkan. Terima kasih.
Relawan Tzu Chi
He Min-cang berbagi pengalaman. “Pascatopan Morakot, relawan humas Tzu Chi menjangkau
berbagai lokasi bencana di Kaohsiung dan Pingtung. Salah satu misi tim humas
ialah menyalurkan informasi. Kita menyalurkan informasi dari luar ke Tzu Chi
dan dari Tzu Chi ke luar. Karena itulah, kita harus berada di garis terdepan,”
jelas He
Min-cang.
“Tempat
penampungan pertama pascatopan Morakot ialah Kuil Shunxian. Pada tanggal 11
Agustus, kita tiba di sana pada pukul 7 pagi. Saat itu belum ada organisasi
lain. Berhubung kita pernah menjalin jodoh baik dengan Kuil Shunxian, maka
dengan kerja sama pihak kuil, kita bisa mengadakan baksos kesehatan dan tempat
pendaftaran di sana,” sambungnya.
“Kita
dengan cepat menyalurkan informasi ini ke pusat koordinasi dan TIMA. Karena
itu, anggota TIMA bisa datang dalam waktu singkat. Setelah pergi ke Kuil
Shunxian, warga yang terkena dampak bencana dapat menerima pengobatan yang
baik. Ada kisah-kisah yang perlu kita bagikan. Meski bencana mendatangkan
kesedihan dan penderitaan, tetapi di dalamnya terdapat banyak kisah yang
menyentuh dan dapat menghimpun kekuatan banyak orang jika kita berbagi dengan
orang-orang. Kita bukan hanya berbagi kisah-kisah ini di Taiwan, melainkan
hingga ke luar negeri,” He Min-cang melanjutkan.
“Sejak
pembangunan Perumahan Cinta Kasih dimulai, setiap hari ada tim humas yang
bertugas di lokasi pembangunan untuk menyambut tamu, reporter, dll. Setelah
pembangunan rampung, kita mulai menjadi pemandu tur. Pemandu tur sangatlah
penting. Pemandu tur harus menjelaskan bahwa Perumahan Cinta Kasih ini berasal
dari tetes demi tetes donasi orang-orang dari 52 negara serta bantuan banyak
relawan dari dalam dan luar negeri. Yang kita lakukan ialah menyalurkan
informasi ke luar dan menerima informasi dari luar. Dengan menyambut tamu dan
menjadi pemandu tur, kita menginspirasi orang-orang,” pungkas He Min-cang.
Saya
bersyukur kepada tim humas dan tim bahasa asing yang menyambut tamu yang
berkunjung. Sungguh, janganlah kita melupakan tahun itu dan relawan yang
bersumbangsih saat itu. Mereka telah menginspirasi banyak orang. Berkat tim
bahasa asing kita, para pengunjung dari berbagai negara dapat memahami apa yang
terjadi di masa lalu.
Saat
suatu bencana terjadi, relawan kita menjangkau orang-orang yang membutuhkan dengan
cinta kasih dan welas asih agung. Inilah semangat agama Buddha, yakni cinta
kasih, welas asih, sukacita, dan keseimbangan batin. Semua orang bersumbangsih
tanpa pamrih dan penuh sukacita.
Pada
saat seperti ini, menabur benih kebajikan sangatlah penting. Kita harus terus
menabur benih kebajikan. Terima kasih.
“Saat tim bahasa asing belajar bersama, kami membaca buku
Master. Kami membaca buku yang diterjemahkan untuk melatih keterampikan
membaca, mendengar, dan bercerita kami. Kami berharap dapat menjelaskan Empat
Misi Tzu Chi dan Delapan Jejak Dharma dengan bahasa asing agar saat ada tamu
asing berkunjung, kami dapat berbagi secara langsung dan tepat tentang semangat
cinta kasih tanpa pamrih, rasa syukur, dan rasa hormat yang merupakan semangat
dasar Tzu Chi,” kata Wei Duan-xiang relawan Tzu Chi.
“Kelak, kami berharap tim bahasa asing dapat menjadi jendela Tzu
Chi dengan menyebarkan filosofi dan cinta kasih Tzu Chi agar para tamu asing
yang berkunjung dapat benar-benar memahami Tzu Chi. Kita juga berharap mereka
dapat menjadi relawan Tzu Chi,” tutupnya.
Saya
bersyukur kepada tim bahasa asing. Kita membina banyak insan berbakat yang menguasai
bahasa yang berbeda-beda untuk menginspirasi orang-orang dengan Dharma.
Tzu
Chi mengajarkan praktik Bodhisatwa. Dunia ini membutuhkan Bodhisatwa. Lewat
bahasa, kita bisa lebih mudah menginspirasi orang dengan cinta kasih. Kita bisa
menyatukan hati orang-orang dengan bahasa sehingga mereka semakin memahami asal
mula dan arah tujuan Bodhisatwa serta di mana dan bagaimana bersumbangsih bagi
umat manusia.
Kita
harus berpartisipasi dalam beragam kegiatan Tzu Chi. Selain menerjemahkan, kalian
juga harus mempelajari Dharma. Setelah memahami Dharma, kemampuan bahasa kalian
akan semakin mendalam. Jadi, kita harus senantiasa tekun dan bersungguh hati mempelajari
Dharma.
Giat belajar dan menabur benih
kebajikan di kehidupan sekarang Bijaksana dan memahami Dharma di
kehidupan mendatang Menginspirasi orang secara luas dengan
kemampuan bahasa Menyatukan hati dan memahami
kebenaran serta menyebarkan Dharma
Ceramah
Master Cheng Yen tanggal 4 Agustus 2019 Sumber:
Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah:
Hendry, Karlena, Li Lie, Marlina Ditayangkan
tanggal 6 Agustus 2019
Artikel dibaca sebanyak : 141 kali
Kirim Komentar
Kebahagiaan berasal dari kegembiraan yang dirasakan oleh hati, bukan dari kenikmatan yang dirasakan oleh jasmani.