Kearifan dan Takhayul

Kearifan dan Takhayul

Dalam bulan ke tujuh penanggalan lunar, banyak orang yang mempersembahkan makanan dan uang kertas untuk leluhur mereka, berharap bahwa dengan cara ini dapat membantu mereka di akhirat (alam kubur). Namun, praktik ini sebenarnya tidak membantu para leluhur yang telah meninggal karena karma yang mereka buat menentukan takdir mereka sendiri setelah meninggal. Ada cerita sutra yang menggambarkan tentang hal ini.

Ada seorang tua yang kaya dan memiliki keluarga bahagia. Dia merupakan orang yang baik hati, ramah, dan sering menawarkan bantuan kepada mereka yang miskin dan berkebutuhan di desanya, dan menjunjung tinggi ajaran Budha. Ia juga menerapkan hal ini kepada anggota keluarganya, untuk melakukan perbuatan baik dan berbakti kepadanya.

Suatu hari, orang tua ini tiba-tiba meninggal dunia. Kematiannya sangat tidak terduga. Keluarganya tidak dapat menerimanya, terutama istrinya, yang sangat sedih dan berduka serta sering memanggil-manggil namanya. Ia sangat tidak rela ditinggal sang suami. Dia menginginkan anak-anaknya mengadakan kebaiktian dan doa setiap hari dengan harapan dapat membantu suaminya di akhirat. Di pemakaman, keluarga ini mengadakan ritual keagamaan, memberikan daging persembahan dan membakar uang kertas kepada dia (almarhum –red) setiap hari dalam beberapa minggu.

Suatu hari, seorang gembala sapi muda muncul di pemakaman dengan lembunya. Tiba-tiba, lembunya seketika mati. Pemuda itu terus menggoyang-goyangkan lembunya, dan berkata, “Kamu tidak boleh mati! Kamu harus kembali!”

Dia lalu memotong rumput dan meletakkannya di dekat kepala lembu, berharap binatang itu akan memakan rumput tersebut. Gembala itu berlutut di hadapan lembu. Dia mulai meratap dengan suara nyaring dan memohon supaya sang lembu hidup kembali.

Ratapannya itu mengundang perhatian orang-orang, termasuk keluarga orang tua itu. Mereka berkumpul mengelilingi pemuda itu dan berkata, “Jangan menangis, anak kecil. Lembu itu telah mati. Dia tak akan kembali. Jangan bersikap bodoh.”

Pemuda itu menatap ke atas dan berkata, “Aku tidak bodoh. Aku melakukan tepat seperti yang kamu lakukan. Ayah kalian telah mati, namun kalian menangis di sini setiap hari. Kalian telah membunuh banyak binatang sebagai persembahan kepada beliau. Apakah itu ada manfaatnya…?”

Mendengar hal ini, semua orang tertegun. Pemuda itu berdiri dan berkata, “Sebenarnya, aku adalah ayah kalian. Karena aku menjalankan ajaran Budha dan menolong banyak orang maka itu menjadi berkah ketika aku hidup. Aku telah terlahir kembali sebagai mahkluk surgawi di alam surga. Aku menuai buah kebaikan, persembahan kalian adalah sia-sia. Pembunuhan yang kalian lakukan hanya akan membuat karma buruk bagi kalian, dimana kalian harus menghadapinya nanti.”

Pemuda itu kemudia kembali kebentuk surgawinya dan menghilang bersamaan dengan lembunya. Pada saat ini, keluarga itu menyadari betapa bodohnya mereka dengan perbuatan mereka selama ini. Mempersembahkan makanan dan membakar uang kertas tidak akan membantu mendiang suami dan ayah mereka, namun hanya akan membuat karma buruk bagi mereka. Keluarga itu kemudian kembali ke cara lama, yakni membantu orang miskin dan yang membutuhkan bantuan, menjunjung tinggi ajaran Budha, dan menciptakan berkah. Sama seperti yang ayah mereka telah lakukan.

Bulan tujuh penanggalan lunar dianggap sebagai bulan arwah. Mereka percaya untuk menjaga keluarga mereka dari roh halus dan hantu karena itu mereka menganggap perlu membuat persembahan mewah untuk roh dan hantu selain juga untuk leluhur mereka. Ini adalah takhayul. Hukum karma menjelaskan bahwa karma seseorang sangat menentukan alam seperti apa yang harus mereka jalani ketika mereka meninggal. Kita perlu memiliki keyakinan yang benar dan menggunakan kearifan ketika mempraktikkan tradisi leluhur.

Sumber: Dharma Master Chen Yen

Diterjemahkan oleh: Samuel Wiguna

Penyelaras: Hadi Pranoto
Berbicaralah secukupnya sesuai dengan apa yang perlu disampaikan. Bila ditambah atau dikurangi, semuanya tidak bermanfaat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -