Asal Mula Membakar Kertas Sembahyang

 

Ada seorang nenek yang menjalani hidupnya dengan penuh kesulitan. Namun, seiring bertambahnya usia, kehidupannya juga semakin baik. Dia sangat bijaksana. Kehidupannya juga sangat bebas. Bebas dari apa? Jeratan noda batin.

Suatu hari, di Kantor Cabang Tzu Chi Taipei, dia mendengar saya mengulas tentang Sutra Bhaisajyaguru. Orang yang berkemampuan tajam dapat langsung tersadarkan meski hanya mendengar sepenggal Sutra. Kebetulan, dia mendengar Dharma pada bulan tujuh Imlek. Saya mengulas bahwa bulan tujuh Imlek merupakan bulan penuh syukur, bulan penuh berkah, dan bulan bakti. Inilah yang saya katakan pada saat itu. 

Saya juga mengimbau orang-orang untuk melenyapkan kepercayaan pada takhayul. Mengapa pada bulan tujuh Imlek, kita harus membakar begitu banyak kertas sembahyang? Pada saat itu, saya mulai menyosialisasikan konsep pelestarian lingkungan. Saya merasa bahwa membakar kertas sembahyang bukan hanya pemborosan, tetapi juga menimbulkan polusi dan merupakan tindakan yang didasari kepercayaan pada takhayul.

Saat itu, saya berbagi sebuah kisah. Ada seorang perempuan yang ingin membantu suaminya berbisnis. Dia berkata kepada suaminya bahwa dia merasa menjual barang yang dipakai setiap orang merupakan cara terbaik untuk mencari keuntungan. Dia pun mulai berpikir untuk menjual kertas yang dipakai dalam keseharian.

 

Setiap orang pasti akan meninggal dunia. Ada pula orang yang memohon kepada dewa. Orang-orang memohon kepada dewa karena takut akan kematian. Karena itu, perempuan itu pun memikirkan sebuah ide cemerlang. Dia berkata kepada suaminya, “Kamu turuti perkataan saya. Kamu pasti akan mendapatkan keuntungan besar.” Suaminya bertanya, “Apa yang harus saya lakukan?” Dia berkata, “Kamu harus berpura-pura mati.” Suaminya sangat marah.

Namun, istrinya berkata, “Ini demi mencari nafkah. Saat kamu berpura-pura mati, saya akan menangis dengan keras agar tetangga kita tahu bahwa kamu sudah meninggal dunia. Saat saya menangis dan orang-orang datang untuk berbelasungkawa, kamu harus menahan napas.” Suaminya benar-benar menuruti perkataannya. Dia mulai menangis dengan keras sehingga tetangga pun berdatangan. Saat dia menangis dan ada orang yang datang, suaminya pun menahan napas.

Banyak warga di desa itu yang datang untuk berbelasungkawa. Orang-orang merasa iba pada mereka. Setelah memberikan penghiburan, para warga pun meninggalkan rumah mereka. Lalu, sang istri berkata kepada suaminya, “Bangunlah. Kamu sudah boleh bernapas.” Pada saat jam makan, setelah orang-orang pergi, suaminya pun bangun untuk makan.

Setelah tujuh hari berlalu, sang istri berkata kepada suaminya, “Semakin banyak orang yang datang, saya akan menangis semakin keras. Jika saya berkata saya telah membakar banyak kertas sembahyang untuk membentangkan jalan agar kamu dapat kembali, maka kamu harus mulai bergerak. Saat kamu bergerak, saya akan membuka tikar yang menutupimu dan bertanya apakah kamu sudah kembali. Kamu harus segera bangun dan berkata kepada setiap orang,“Ya. Saya terus berjalan di dalam kegelapan tanpa tahu arah. Saat saya sudah berjalan sangat jauh, tiba-tiba saya mendengar suara orang memanggil saya dan melihat sebuah lentera. Saya lalu berjalan mengikuti lentera itu. Saya lalu terus berjalan mengikuti lentera itu.”

Lalu, sang istri berkata, “Benar, itu adalah ‘lentera ujung kaki’.” Lalu, suaminya kembali berkata, “Semakin lama, jalan yang saya tempuh semakin terang. Demikianlah saya kembali ke sini.” Sang istri kembali berkata, “Itu karena saya membakar kertas sembahyang untuk membuat jalan sehingga kamu dapat kembali ke sini.” Dia berkata kepada setiap orang, “Setelah seseorang meninggal dunia, kita harus membakar kertas sembahyang untuk menyalakan ‘lentera ujung kaki’ agar mendiang dapat menemukan jalan kembali.”

 

Ide perempuan ini menjadi sebuah legenda dalam kepercayaan tradisional dan terus berkembang menjadi sebuah tradisi dan budaya. Saat saya mengulas kisah ini, nenek itu mungkin mendengarnya. Usai mendengar kisah ini, dalam perjalanan pulang, dia berkata kepada putra dan menantunya, “Kelak kita jangan membakar kertas sembahyang lagi.”

Sungguh, kita harus memiliki kebijaksanaan dan keyakinan benar. Janganlah kita percaya pada takhayul. Sesungguhnya, memberikan persembahan pada bulan 7 Imlek berkaitan dengan Ananda. Dahulu, sebagian besar anggota Sangha menjalani masa varsa dari bulan 4 hingga bulan 7 Imlek. Hingga pada tanggal 15 bulan 7 Imlek, setiap anggota Sangha  merasakan kedamaian fisik dan batin.

Selain itu, kebijaksanaan mereka juga bertumbuh karena telah mendengar ajaran Buddha. Setiap anggota Sangha memperoleh banyak pencapaian. Jadi, tanggal 15 bulan 7 Imlek merupakan hari paling bersukacita bagi Buddha karena melihat pencapaian para murid-Nya. Suatu kali, saat sedang bermeditasi, tiba-tiba Ananda melihat sosok setan yang sangat buruk rupa di hadapannya.

Ananda bertanya, “Mengapa kamu terlihat begitu menakutkan dan buruk rupa?” Setan itu berkata, “Tidak lama kemudian, tepatnya tiga hari lagi, kamu juga akan buruk rupa seperti saya. Kehidupan manusia tidak kekal. Kehidupanmu hanya tersisa 3 hari lagi. Tiga hari kemudian, kamu akan sama seperti saya.”

Ananda merasa sangat takut dan segera bertanya kepada Buddha. Buddha berkata kepada Ananda,“Engkau hendaknya membangkitkan ketulusan. Saat masa varsa berakhir, ada banyak praktisi yang memperoleh pencapaian. Engkau hendaknya menggunakan hati yang paling tulus untuk memberikan persembahan kepada orang-orang yang memiliki teladan kebajikan. Dengan begitu, baru engkau bisa melewati kesulitan ini.”

 

Ananda benar-benar melakukannya dengan hati yang sangat tulus. Di India, orang-orang menyantap makanan dengan menggunakan jari tangan. Karena itu, sebelum memberikan persembahan, Ananda membawa baskom berisi air agar orang-orang dapat membasuh tangan dan mengeringkan tangan. Karena itu, kini saat orang-orang mengadakan upacara penyeberangan, di bawah altar selalu ditaruh sebaskom air dan sehelai handuk.Ini merupakan kebiasaan yang terus diwariskan dari saat itu.

Namun, saat itu merupakan zaman Buddha masih hidup. Saat itu, di dalam vihara, para anggota Sangha menjalani masa varsa. Setiap orang berkumpul bersama untuk melatih diri dan memupuk pahala kebajikan. Setelah memperoleh berbagai pencapaian, mereka bersama-sama berdoa bagi Ananda. Jadi, bulan 7 Imlek seharusnya merupakan bulan penuh berkah karena banyak praktisi memperoleh pencapaian.

Tanggal 15 bulan 7 Imlek merupakan hari bersukacita bagi Buddha karena para murid-Nya memiliki banyak pencapaian. Jadi, bulan 7 Imlek seharusnya merupakan bulan penuh syukur dan berkah. Sesungguhnya, setiap hari dan setiap bulan merupakan hari dan bulan penuh berkah. Asalkan kita berpikiran baik dan melakukan hal baik, maka setiap saat akan penuh berkah.

Cinta kasih tidak akan berkurang karena dibagikan, malah sebaliknya akan semakin tumbuh berkembang karena diteruskan kepada orang lain.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -