Master Bercerita: Burung yang Pelit


Manusia menjalani hari-harinya dengan berbagai kesibukan. Untuk apa manusia begitu sibuk? Ini tak luput dari nafsu keinginan manusia terhadap kekayaan, kecantikan, ketenaran, makanan, dan kenyamanan. Semua orang bekerja keras untuk menghasilkan uang, tetapi tidak memikirkan bagaimana menggunakan uangnya dengan bijak. Demi memenuhi nafsu keinginan akan kekayaan, orang-orang terus sibuk seumur hidupnya. Ini sungguh melelahkan.

Ada seorang pasien di rumah sakit kita yang murung setiap hari. Dia suka menyendiri dan dipenuhi kekhawatiran. Apa yang dia khawatirkan? Ternyata, bapak ini bekerja keras untuk menghasilkan uang sejak masih muda. Ia memulai langkahnya dari usaha kecil dan hidup dengan sangat hemat. Ia hanya berpikir untuk menghasilkan uang sehingga memutuskan untuk tidak menikah. Jadi, ia tidak berkeluarga dan tidak memiliki anak. Ia juga tidak memiliki sanak saudara.

Bapak itu kini dia menderita penyakit serius. Meski begitu, yang ia khawatirkan justru lahan dan hartanya, bukan apa yang akan terjadi setelah ia meninggal dunia. Saat bekerja keras untuk menghasilkan uang, ia tidak memikirkan kegunaan uang yang dihasilkannya. Apakah itu untuk menafkahi keluarga, mendidik dan membesarkan anak, atau bersumbangsih untuk membantu orang-orang yang kekurangan? Ia tidak pernah memikirkan hal ini. Hingga kini kesehatannya memburuk, yang dikhawatirkannya masih tetap puluhan hektare lahan miliknya. Kehidupan seperti ini bagaikan tungku yang terus diisi dengan kayu bakar. Ia hanya ingin memperoleh kobaran apinya dan tidak menghargai kayu bakarnya.

Dalam kehidupan ini, jika kita membiarkan diri sendiri terbakar oleh api nafsu keinginan tanpa melakukan hal yang bermakna, maka itu sungguh sangat disayangkan.

Di sebuah pinggiran kota, terdapat sebuah kebun buah yang salah satu areanya khusus menanam biwa (di Indonesia disebut Anggur Karo. Tanaman ini hanya hidup di dataran tinggi – red) . Setiap musim semi, saat pohon biwa berbunga dan berbuah, ada seekor burung yang selalu terbang mengitari kebun biwa dan mengawasinya. Jika ada orang yang mendekati kebun tersebut, burung itu akan berkicau. Jika ada orang yang mengulurkan tangan untuk memetik buah biwa, kicauannya akan semakin keras. Jika didengarkan dengan teliti, kicauan burung itu seakan-akan sedang berkata, "Semuanya adalah milik saya." Ia terus-menerus berkicau. Semakin banyak buah yang dipetik orang, semakin keras kicauannya.

Pada suatu musim semi, banyak orang yang pergi ke kebun biwa. Demi mengawasi kebun biwa, burung ini terbang kesana-kemari dan terus berkicau. Namun, tidak ada orang yang menghiraukannya. Burung ini terus-menerus berkicau hingga akhirnya muntah darah. Tetesan darahnya jatuh ke pohon biwa. Akhirnya, burung itu pun mati.

Hal ini terus tersebar dari mulut ke mulut. Seorang anggota Sangha yang mendengarnya lalu bercerita kepada Buddha tentang kisah burung di kebun buah yang terdapat di pinggiran kota itu dan menanyakan apa penyebabnya. Buddha berkata bahwa dahulu di kota ini terdapat sebuah keluarga yang kaya. Saat sang anak masih kecil, kedua orang tuanya sudah meninggal dunia dan meninggalkan banyak harta. Setelah memperoleh warisan, sang anak terus berpikir bagaimana cara meningkatkan kekayaannya. Dia bahkan memecat pelayan-pelayan yang dahulu dipekerjakan oleh ayahnya.

Ada orang yang berkata padanya, "Kamu hendaknya menikah agar memiliki pendamping hidup."

Dia berpikir, "Jika saya menikah, akan bertambah satu orang yang makan. Berapa biaya makan setiap harinya. Terlebih, setelah menikah, kami akan memiliki anak. Berapa pengeluaran setiap harinya?"

Ia merasa jika menikah itu tidak menguntungkan. Karena itu, tahun demi tahun terus berlalu dan usianya juga terus bertambah. Anak kecil yang kini tumbuh dewasa itu tetap memutuskan untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak. Namun, hidup manusia tidaklah kekal. Setelah ia meninggal dunia, tidak ada orang yang mewarisi hartanya sehingga semua harta dan lahannya menjadi milik kerajaan.

 

Buddha berkata bahwa kehidupan lampau burung itu merupakan orang kaya tersebut. Ia kaya akan materi, tetapi batinnya sangat miskin dan tamak. Ia selalu merasa bahwa kekayaannya belumlah cukup sehingga menjalani hidupnya bagaikan orang miskin. Dia bersusah payah menjaga hartanya. Setelah ia meninggal dunia, hartanya justru menjadi milik kerajaan. Ia pun lahir kembali menjadi seekor burung. Burung itu merasa bahwa kebun biwa itu ialah miliknya. Saat banyak orang yang memetik buah biwa, ia merasa sangat tidak rela. Karena itu, ia terus berkicau hingga akhirnya muntah darah dan mati.

Bercerita sampai di sini, Buddha berkata pada murid-murid-Nya, "Anggota Sangha sekalian, sifat hakiki manusia ialah bajik. Namun, jika kita tidak membangkitkan niat untuk berbuat baik dan menciptakan berkah, kita akan selamanya hidup kekurangan. Cinta kasih yang dimiliki setiap orang merupakan sumber daya yang berlimpah. Namun, jika tidak membangkitkan cinta kasih ini maka kita tetaplah akan merasa selalu kekurangan."

Kita semua hendaknya tahu tentang kebenaran yang Buddha katakan ini. Dengan membangkitkan cinta kasih, kita akan memiliki kekuatan yang tak terhingga. Tanpa cinta kasih, meski memiliki banyak harta, kita tidak akan bersedia berdana, bahkan mungkin sangat pelit pada diri kita sendiri. Pelit pada diri sendiri dan enggan membantu orang lain bisa menjadi tabiat buruk yang terbawa ke kehidupan mendatang. Jadi, kita harus bersungguh-sungguh membina tabiat baik dan membangkitkan niat baik.

 

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah : Hendry, Karlena, Merlina (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras : Hadi Pranoto

Orang yang berjiwa besar akan merasakan luasnya dunia dan ia dapat diterima oleh siapa saja!
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -