Belajar Ketegaran dari Ibu Wati

Rugun Adelina sedang memangku Semi (kanan) dan Elly Damanik sedang memangku Soleha (tengah). Relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas berkesempatan untuk mengunjungi keluarga Suhariadi dan Wati yang ketiga anaknya mengalami keterbatasan fisik.

“Menjalani kehidupan dengan ikhlas bukan berarti bersikap pasif, melainkan harus melakukan kebajikan setiap saat. Menjalani kehidupan dengan ikhlas juga bukan berarti tidak memiliki apa-apa, melainkan merasa puas atas apa pun yang dimiliki.” -Kata Perenungan Master Cheng Yen-

*****

Suara rengekan anak kecil terdengar dari sebuah rumah rumah papan sederhana. Seorang ibu segera menenangkannya dengan sebotol susu. Belum sempat ia mengistirahatkan badannya, anak yang kedua perlu segera dibersihkan mulutnya. Sementara itu sang suami menenangkan anak ketiga dengan menggendongnya. Itulah kesibukan Wati (32) dan Suhariadi (42) yang tinggal di Desa Bagan Jaya, Kecamatan Enok, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Mereka tinggal bersama ketiga anaknya, yaitu Fitri Wahyu Setia (13), Siti Soleha (9), dan Muhammad Wiji Kasihani (4).

Suhar, begitu biasa Suhariadi disapa, sehari-hari menggarap lahan kebun yang tidak begitu luas. Terkadang ia membantu panen di ladang milik orang lain. Penghasilannya tidak menentu. Ia mengalami gangguan pendengaran sehingga sulit berkomunikasi dengan orang lain. Sementara Wati, lebih banyak mendedikasikan waktunya untuk merawat ketiga anaknya, terlebih ketiganya memiliki keterbatasan fisik karena menderita polio. Terkadang ia juga membantu sang suami, jika ada yang membantu menjaga anaknya. “Ya kalau ada pinang ya kerja pinang, kadang ada orang suruh bikinkan sapu, ya saya bikinkan sapu. Ya apa yang bisa saya kerjakanlah Pak sehari-hari saya. Kadang saya ke kebun cari ubi untuk bikin kerupuk kalau anak saya ada yang jaga. Kadang dijual. Kadang ada pisang tua, dibikin keripik untuk dititipkan di warung,” tuturnya.

Merawat Tanpa Syarat
Anak pertama mereka, Fitri Wahyu Setia biasa dipanggil Semi. Usianya 13 tahun, tetapi terlihat seperti anak yang masih berusia 7 tahun. Sedangkan anak keduanya Siti Soleha, biasa dipanggil Soleha. Ia sudah berumur 9 tahun, tetapi terlihat seperti anak yang masih berusia 5 tahun. Anak bungsu mereka Muhammad Wiji Kasihani, biasa dipanggil Hani. Saat ini memasuki usia 4 tahun, tetapi terlihat seperti anak yang masih berusia 3 tahun. Ketiganya terlahir normal, tapi di usia 2 hari, mereka samasama mengalami kejang.



Kondisi rumah papan kayu pasangan Suhariadi dan Wati sangat sederhana tampak usang digerus waktu. Teras depannya ada tangga dari papan yang sudah miring ke arah satu sisi. Tak ada barang berharga di dalam rumah ini.

Oleh kedua orang tuanya, Semi dibawa ke “orang pintar” dan hanya diberi minum air putih yang sudah didoakan. “Katanya ini kena-kenaan gitu, jadi saya nggak pernah bawa ke dokter,” kata Wati, “tapi makin lama kok anak saya nggak bisa apa-apa gitu.” Bulan berganti bulan, kaki Semi mulai mengecil. Jangankan untuk berdiri, untuk duduk saja Semi tidak mampu. Ia juga belum bisa memiringkan badannya ke kanan atau ke kiri. Hati Wati sedih seketika, tapi ia hanya bisa pasrah.

Lalu karena ada pengalaman di anak pertama, ketika Soleha mengalami kejang, Wati segera membawa anak keduanya itu berobat ke dokter. Hasil pemeriksaan dokter, Soleha didiagnosa menderita polio. Sama seperti kakaknya, pada usia 8 bulan Soleha juga belum bisa miring ke kanan atau ke kiri, ditambah lagi Soleha sering bersuara seperti ada dahak yang terhenti di tenggorokannya. Mendengar penjelasan dokter, hati Wati seperti teriris. Kedua anaknya mengalami kelumpuhan dengan gejala yang sama.

Sifat Soleha sedikit berbeda dengan Semi. Soleha lebih sering rewel dan menangis. Seperti ada sesuatu yang dirasakan kurang nyaman. Hal ini yang sering membuat Wati sedikit lebih sering menggendong Soleha. “Rasanya seperti tidak terima Bu, ya Allah ngopo kok anakku meneh, koyo ora kuat rasane ati Bu (ya Allah kenapa anak saya lagi, hati saya tidak kuat rasanya),” cerita Wati dengan air mata yang berlinang.

Kemudian Hani, anak bungsu Suhar dan Wati, tidak dibawa berobat karena ia sudah pasrah menerima keadaan anak ketiganya itu. “Aku wis pasrah wae Bu, bukan menyerah tapi wis ikhlas menerima kondisi tiga anakku, wis garis seko Gusti Alloh. Kadang yo meratapi nasib kenopo kudu anakku, kenopo kabeh anakku koyo ngene (Saya sudah pasrah Bu, bukan menyerah tetapi sudah ikhlas menerima kondisi ketiga anakku, sudah garisnya Gusti Allah. Kadang ya meratapi kenapa nasib, kenapa harus anak saya, kenapa semua anak saya seperti ini),” ujarnya berlinang air mata.

Anita, relawan Tzu Chi menenangkan Wati yang sedang menangis. Kondisi yang dialami Wati dan keluarganya membulatkan tekad relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas untuk terus melakukan pendampingan.

Wati lebih banyak memberikan susu dan bubur untuk Hani sebagai pengganti obat. Kebetulan Hani lebih cepat untuk makan dan minum, nafsu makannya juga lebih bagus daripada kakak-kakaknya.

Semi, Soleha, dan Hani tidak dapat minum susu bubuk dengan merek apapun. Karena keterbatasan ekonomi, dari sejak lahir Semi, Soleha dan Hani terbiasa minum susu cair kaleng. Jika diganti susu bubuk, justru ketiganya mengalami gangguan ketika buang air besar.

Keterbatasan ekonomi juga membuat Wati jarang sekali membawa anak-anaknya periksa ke dokter, terutama dokter spesialis saraf. Karena hal itu pula, Wati tidak sering membeli popok sekali pakai sehingga ketiga anaknya buang air kecil dan besar di celana masing-masing. Tidak heran alas tilam ketiga anaknya sering berbau menyengat dikarenakan celana yang basah dalam waktu lama.

Yang ia lakukan hanya mengurus ketiga anaknya dengan penuh kasih sayang. Mulai dari mengganti baju, mandi, makan dan minum, dilakukan secara bergantian. Untuk buang air kecil atau besar juga dilakukan oleh Wati terlebih lagi apabila suaminya harus bekerja di pagi hari hingga siang hari. “Paling repot kalau salah satunya pas demam, terus satunya rewel, mana suami agak kurang dengar, perasaan wis campur aduk tenan, Bu (perasaannya sudah campur aduk),” cerita Wati.

Pendampingan yang menguatkan
Pada 3 Maret 2022, relawan Dharma Wanita Xie Li Indragiri mengumpulkan data masyarakat Desa Bagan Jaya dan sekitarnya yang memerlukan bantuan. Dari informasi warga, Rugun Adelina, salah satu relawan Dharma Wanita menemukan keluarga Wati. Dan setelah dilakukan survei, relawan mengetahui kondisi ketiga anak Wati yang menderita polio.

Relawan Tzu Chi secara rutin melakukan kunjungan kasih sebagai bentuk dukungan dan perhatian kepada Wati dan anak-anaknya. Dalam kunjungan kasih ini relawan memberikan bubur rasa beras merah, bubur nasi instan, susu cair kaleng, popok, beras, minyak goreng, telur dan gula pasir.

Kisah keluarga Wati menjadi perhatian relawan. Dan sejak saat itu, jalinan jodoh Wati dan relawan terjalin. Secara berkala relawan mulai melakukan kunjungan kasih, meski sering disertai derai air mata.

“Sangat terharu sekali, Mbak Wati adalah sosok seorang ibu yang sangat luar biasa, belum tentu saya sanggup bila berada diposisi Mbak Wati. Saya banyak belajar dari Mbak Wati, harus lebih banyak sabar dan bersyukur untuk segala hal,” tutur Rugun Adelina.

“Perasaan saya pertama kali survei itu saya terus terang terkejut ya, terharu, sedih campur jadi satu karena saya tidak menyangka melihat kondisi ketiga anaknya. Biasanya yang saya temui itu kan dalam keluarga hanya satu yang berkebutuhan khusus. Ini tiga anak sekaligus gitu. Jadi pada saat saya survei terus terang saya membayangkan anak saya, jadi saya melihat ketiga anak ini saya terbayang wajah anak saya, jadi saya langsung bisa merasakan apa yang dirasakan Ibu Wati sebagai seorang ibu,” tutur Fithria Calliandra sambil terisak.

Dalam setiap kunjungan kasih relawan membawakan bahan pangan seperti bubur beras merah, bubur nasi instan, susu cair kaleng, diapers, beras, minyak goreng, telur dan gula pasir. Selain itu, relawan juga memberikan kebutuhan lain seperti tilam untuk tidur, plastik karpet, dan bantal.

Kondisi yang dialami Wati dan keluarga, membulatkan tekad relawan untuk terus melakukan pendampingan. Selain memberikan dukungan kebutuhan pangan bagi anakanaknya, relawan juga berupaya untuk membantu kesehatan Semi, Soleha, dan Hani. Meski hal ini tidak mudah karena beratnya hati Wati meninggalkan dua anak lainnya ketika harus mengantarkan salah satu anaknya berobat.

Pendampingan yang dilakukan relawan, menguatkan hati Wati dalam merawat anak-anaknya. “Ya alhamdulillah saya sedikit lega karena ada ada ibu-ibu yang perhatian sama keluarga kami, ada yang mau mengunjungi rumah kami, yang peduli dan sayang sama kami, sama anak-anak, bisa kasih doa buat kami. Support dari ibu-ibu semua, menguatkan saya sama suami,” ungkapnya terbata-bata.

Agustina Melisa sedang bercengkerama dengan Hani. Walaupun tidak setiap hari, namun bagi Wati, pendampingan rutin yang diadakan setiap bulannya ini merupakan hal yang sangat berharga dan menguatkannya merawat ketiga anaknya.

Ketegaran dan keikhlasan Wati dalam merawat anak-anaknya menginspirasi sekaligus membulatkan tekad relawan untuk terus mendampinginya. Selama masih berada di Indragiri, Agustina Melisa dan Fithria Calliandra akan terus melakukan pendampingan. “Kalau saya pribadi, selama saya masih tinggal di sini, pasti akan mengunjungi Ibu Wati dan ikut melihat anaknya dan memberikan bantuan. Sebagai relawan, kami pun berupaya sebulan sekali bisa kunjungan ke rumah Mbak Wati,” ungkap Agustina Melisa.

Hal itu pula yang diungkapkan oleh Fithria Calliandra. “Karena saya sudah dekat dengan keluarga Mbak Wati. Sudah ada keterikatan emosional dengan keluarga dan anak-anaknya,” kata Fithria. “Setiap saya berkunjung Semi selalu merespon, dia tahu suara saya. Kalau saya datang, Semi langsung senyum gitu. Buat saya, senyuman Semi itu adalah senyuman yang paling indah. Semi-lah yang mengingatkan saya kepada anak saya. Jadi saya terus terang punya keterikatan emosi, keterikatan dengan keluarga ini,” lanjutnya menahan air mata.

Dari perjalanan panjang ini, ada satu hal besar yang diharapkan Wati. Ia ingin dipanggil ibu oleh anak-anaknya. “Nggak ada yang lain pokoknya. Bisa dia (anak-anak) manggil ibu, itu saja. Hati saya sudah senang banget,” harap Wati.

Teks: Fithria Calliandra, Widodo (Tzu Chi Cabang Sinar Mas)
Foto: Dok. Tzu Chi Cabang Sinar Mas
Kesuksesan terbesar dalam kehidupan manusia adalah bisa bangkit kembali dari kegagalan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -