Bertumbuh Dalam Rangkulan Cinta Kasih


Bermula dari program bedah rumah, pertemuan dengan Tzu Chi mengubah jalan hidup Wulan Permatasari. Jika sebelumnya masa depannya seolah berselimut awan, kini selalu ada asa dalam setiap langkahnya.

 

Mengalir seperti air, prinsip itu semula yang ada dalam benak Wulan Permatasari, remaja putri asal Pademangan, Jakarta Utara. Wulan cukup tahu diri.  Ayahnya seorang Satpam, dan ibunya penjual nasi uduk merangkap buruh cuci. Cita-citanya sederhana, menjadi penjaga toko atau waitress di restoran. Tinggal di lingkungan padat membuat asa Wulan juga mampat. Menjelang kelulusannya dari sekolah menengah kejuruan, puluhan lamaran pun ia siapkan.

Nyatanya tak semua air terjun bebas, adakalanya ia justru tertarik ke atas menjadi awan. Begitu pula nasib Wulan. Alih-alih menjadi pelayan toko, ia justru menjadi seorang mahasiswi di sebuah akademi keperawatan di Jakarta. Tiga tahun berselang, Wulan pun menjadi perawat. Sebuah profesi yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan. “Dulu pikirannya paling jadi pelayan toko,” ucapnya sembari tertawa.

Bukan kali ini saja nasib baik berpihak pada Wulan. Sepuluh tahun lalu, Wulan dan keluarga masih tinggal di rumah yang kurang layak huni. Atap bocor, lantai selalu basah (rembes), dan kamar mandi tidak lagi bisa dipakai. Atap rumahnya bahkan nyaris rata tingginya dengan jalan. Karena jalan terus diuruk, rumah Wulan pun tersuruk.

Kondisi rumah Wulan berubah ketika keluarganya menjadi salah satu penerima bantuan program Bedah Rumah Tzu Chi. Program ini merupakan upaya Tzu Chi Indonesia memperbaiki kualitas tempat tinggal masyarakat. Dalam perjalanannya, selain rumah, kualitas kehidupan warga pun banyak yang meningkat dengan membaiknya tingkat pendidikan anak-anak mereka.

Berusaha, Berdoa, dan Bekerja
Tiada usaha yang mengkhianati hasil. Perjalanan Wulan menjadi seorang perawat bukan sesuatu yang mudah. Pendidikan perawat berbeda 180 derajat dengan bidang studinya dulu di SMK, manajemen. Setahun kuliah, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Wulan cekak. Padahal syarat mendapatkan beasiswa Tzu Chi IPK minimal 3. Bahkan pernah IPK Wulan hanya 2,5, yang membuatnya hampir putus kuliah. “Dari yayasan sudah kasih peringatan dari semester 1, tapi hasilnya masih sama, di bawah tiga. Pas semester tiga saya dipanggil, mau lanjut kuliah atau balikin biaya yang sudah dikeluarkan,” kata Wulan.


Sriyani ketika disurvei relawan Tzu Chi. Selain rumahnya menjadi lebih baik, masa depan anak-anak pun lebih cerah dengan bantuan pendidikan dari Tzu Chi.

Meski berasal dari Program Bedah Rumah Tzu Chi, dan Ibu Wulan, Sriyani aktif menjadi relawan, yayasan tak pandang bulu. Wulan diperlakukan sama seperti anak-anak penerima beasiswa Tzu Chi lainnya.

Nilai rendah bukan berarti Wulan tak sungguh-sungguh belajar. Semua upaya sudah dilakukan, termasuk belajar hingga larut malam. Kuliah juga Wulan tak pernah absen. Bisa dibilang Wulan tipe mahasiswi  baik. Hanya saja nilai akademiknya belum sejalan dengan semangatnya. Melihat “gap” ini kemudian relawan mencarikan solusi. Ketika sempat beasiswa Wulan nyaris di-stop, beberapa relawan pasang badan. Mereka merasa Wulan layak dipertahankan.  “Saya bilang sama Wulan, tuh, kamu harus berjuang, relawan saja pada bantu kamu,” kata Sriyani, sang ibu. Sri sempat panik. Ia tak ingin putrinya putus kuliah di tengah jalan.

Beruntung, Wulan masih diberi kesempatan. Semester depan ia harus bisa membuktikan jika ia layak dipertahankan. Wulan juga mulai kost di dekat kampusnya. Rupanya jarak yang jauh (Jakarta Utara – Pusat) membuat waktu Wulan habis di jalan. Begitu tiba di rumah, semangat belajar pun terlanjur padam. “Di kost-an kebetulan bareng sama teman-teman yang rajin. Kita ada kesepakatan untuk belajar pagi setelah salat Subuh,” terang Wulan. Benar saja, nilai Wulan pun terkerek. Ia lolos dari lubang jarum. “Dari IPK 2,5 naik jadi 3,5,” terang Wulan.

Hingga lulus pada September 2017, nilai Wulan terus bertengger di atas 3,5. “Dimotivasi juga sama relawan, katanya, ‘kamu tuh dikasih kesempatan untuk maju harus gunakan dengan baik’,” kata Wulan, mengenang nasihat Tjai Sui Mei, relawan yang menjadi orang tua asuhnya.

Wulan sadar, kondisinya saat ini tak lepas dari dukungan banyak orang. Ini membuatnya lebih menghargai berkah dan terinspirasi untuk membantu sesama. “Terutama ibu, yang sudah berjuang membesarkan ketiga anaknya sejak ayah meninggal waktu saya masih SMP,” kata Wulan. Kini setelah mempunyai penghasilan, bulan Wulan membantu kebutuhan ibu dan kedua adiknya. Meski sang ibu masih berdagang, setidaknya ini bisa sedikit meringankan bebannya.

 

Wulan (kanan) bersyukur bisa mengenal Tzu Chi. Dari semula yang tak memiliki cita-cita, Wulan kini telah menjadi perawat yang ikut mengangkat kehidupan keluarganya.

Wulan juga bersyukur ia dan keluarganya dipertemukan dengan Tzu Chi. “Dulu nggak pernah ngebayangin dan mimpi bisa kuliah, tapi begitu Lulu Shijie kasih inspirasi bahwa nggak ada orang yang bodoh, yang ada orang yang malas aja, saya jadi termotivasi,” tegas Wulan.  Rasa syukur itu kini ia wujudkan dengan menjadi donatur Tzu Chi. “Bisa dalam kondisi seperti ini, bagi saya dah Alhamdulillah banget,” terang Wulan.

Perjalanan Wulan dengan Tzu Chi memang cukup panjang, setelah rumahnya selesai dibedah, tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia. Dalam kondisi seperti ini, beban Sriyani cukup berat untuk menghidupi ketiga anaknya. Wulan pun mengajukan beasiswa ke Tzu Chi dan sejak kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia mendapatkan bantuan biaya hidup. “Wulan ini anaknya ulet, dari sekolah juga dah jualan makanan, dagangan di rumah dibungkusin kecil-kecil terus dijual di sekolah,” kata Sriyani, “waktu kuliah juga sama. Kalo ada pesanan nasi uduk dia bawain dari rumah.”

Bersama-sama Menjalani Tzu Chi
Dipertemukan lewat bedah rumah, perjalanan Sri (49), Wulan (24) dan kedua adiknya memang lekat dengan Tzu Chi. Adik Wulan, Deni Kurniawan (21) juga sedang kuliah di Universitas Bunda Mulia, jurusan Broadcasting, juga melalui beasiswa Tzu Chi. Begitu pula Tegar (16), adik bungsu Wulan yang masih duduk di bangku SMA. Selain “berkah” dalam bentuk material, Sri juga merasakan berkah dalam wujud lainnya: kekayaan batin. Berkah ini tak hanya untuknya, tetapi juga anak-anaknya. “Kalau saya ikut kegiatan (Tzu Chi), anak-anak pasti saya ajak,” terang Sri.

Sejak memutuskan menjadi relawan pascabedah rumah tahun 2008, niat itu tetap terjaga hingga hari ini. Sri membuktikan jika niatnya menjadi relawan bukan sekadar ikut-ikutan. Sebelas tahun dijalani hingga kemudian Sri dilantik menjadi Komite Tzu Chi di Taiwan tahun 2018.  Di saat itu pula ia merasa lebih dekat dengan Master Cheng Yen, pendiri Tzu Chi. Komitmennya sebagai relawan Tzu Chi pun menguat. “Saya cerita ke Master kalau saya dibantu bedah rumah dan anak saya dibantu sekolah. Saya nggak bisa balas apa-apa, hanya lewat tenaga saja,” kata Sri, “anak saya jadi perawat di Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi (RSCK). Saya gan en sama Master, karena ada Master maka ada Tzu Chi, karena ada Tzu Chi maka ada saya hari ini,” tambah relawan He Qi Pusat ini.


Sebagai bentuk rasa syukur, Sriyani (kiri) yang dulu dibantu kini juga tergerak untuk membantu orang lain dengan menjadi relawan Tzu Chi.

Bukan hanya Sri, Wulan pun merasakan manfaat dengan mengikuti kegiatan Tzu Chi. Setidaknya ini melatih keyakinan diri dan kepekaan batinnya. “Banyak nilai yang saya dapat bahwa kita sesama manusia itu hidup harus saling membantu karena kita hidup di dunia ini nggak sendirian. Kita pasti butuh orang lain, begitu juga orang lain mungkin butuh bantuan kita,” terang Wulan.

Dan yang terpenting dari semuanya adalah bagaimana Sri dan Wulan menjadi pribadi yang lebih menghargai berkah. Menjadi relawan membuka wawasan, pikiran, dan memperluas hati dan pandangan. Jika sebelumnya Sri dan Wulan merasa bahwa kehidupan mereka amat menderita, dengan melihat penderitaan orang lain keduanya kemudian bisa berkaca bahwa di atas langit masih ada langit. “Ternyata masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih sulit dari kami,” terang Sri.

Langkah Wulan belum berhenti. Sembari bekerja, ia bersama rekan-rekannya di RS Cinta Kasih Tzu Chi kini meneruskan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Carolus untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan. “Terima kasih buat Tzu Chi atas kebaikan yang diberikan, membuka kesempatan bagi saya untuk terus berkembang,” ungkapnya. Sekali lagi, Wulan bertekad tak menyia-nyiakan kesempatan untuk maju dan berkembang karena ia percaya setiap orang memiliki potensi yang tidak terhingga.

Jurnalis: Hadi Pranoto

Kendala dalam mengatasi suatu permasalahan biasanya terletak pada "manusianya", bukan pada "masalahnya".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -