Green Office di Tzu Chi Center: Harmoni dengan Alam
Tzu Chi Center, yang diresmikan tahun 2012, berdiri megah di tengah rindangnya pepohonan, cerminan harmoni antara manusia dan alam.
Sejak tahun 1990, Master Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, menyerukan pentingnya pelestarian lingkungan. Imbauan ini hingga kini terus diterapkan oleh insan Tzu Chi di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, prinsip keberlanjutan ini juga diwujudkan dalam pembangunan gedung Tzu Chi Center di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, dan berlanjut pada penggunaannya yang sudah berjalan 13 tahun.
*****
Di era modern ini, konsep ramah lingkungan bukan lagi sekadar tren, namun sudah menjadi kebutuhan untuk keberlanjutan hidup. Konsep yang sering disebut sebagai Green Office ini menjadi solusi bagi perusahaan atau organisasi dalam mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dari aktivitas yang dilakukan. Penerapan pelestarian lingkungan di gedung yang diresmikan pada tahun 2012 ini, terlihat nyata mulai dari pembangunannya hingga pengelolaannya.
Arsitektur Ramah Lingkungan
Sejak awal, bangunan Tzu Chi Center telah dirancang dengan mengedepankan prinsip ramah lingkungan. Herman, Project Manager Tzu Chi Indonesia, menjelaskan bahwa pemilihan material sangat diperhatikan. “Material-material yang dipakai itu semua ramah lingkungan, khususnya di bagian fasad gedung (bagian luar gedung) ini kita semuanya memakai batu sikat, dan material batu sikat ini diimpor seratus persen dari Taiwan,” ungkapnya.
Bangunan Tzu Chi di Indonesia memang mengikuti standar desain dari bangunan Tzu Chi di kantor pusatnya di Taiwan. Herman menyebutkan bahwa penggunaan batu sikat ini tidak hanya memberikan estetika seragam berwarna abu-abu, tetapi juga mengurangi biaya perawatan jangka panjang karena tidak memerlukan pengecatan ulang. “Bentuk bangunan itu bukan hanya di Tzu Chi Indonesia, tapi bangunan Tzu Chi di Taiwan dan Tzu Chi di tempat lain semua warnanya sama, abu-abu,” lanjutnya.
Winarso (kiri), Kepala Building Management Tzu Chi Center, dan Herman, Project Manager Tzu Chi Indonesia saat meninjau STP (Sewage Treatment Plant) yaitu treatment yang dilakukan untuk mendaur ulang air di Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara.
Lebih lanjut, Herman juga memaparkan bahwa desain bangunan juga mempertimbangkan efisiensi energi. Dengan adanya balkon di sekeliling bangunan yang terdapat di hampir setiap lantai, panas dari sinar matahari akan terpantul dahulu di balkon. Kondisi ini bisa menekan panas yang masuk ke dalam ruangan, dengan demikian diharapkan penggunaan pendingin udara di dalam ruangan dapat berkurang. Selain itu, jendela-jendela besar di seluruh bangunan memungkinkan pencahayaan alami yang optimal sekaligus meningkatkan sirkulasi udara. “Jadi kalau kita perhatiin di zona Tzu Chi Center ini tidak ada satu ruangan pun yang tidak ada cahaya (dari luar), yang benarbenar tertutup total, kecuali studio ya itu kan requirement khusus,” tambah Herman.
Selain itu, atap bangunan di Tzu Chi Center juga sudah didesain agar bisa dimanfaatkan untuk memasang solar panel. Langkah ini merupakan upaya nyata dalam mengurangi ketergantungan pada listrik konvensional. “Secara desain kita arahnya simpel tapi ramah lingkungan. Tzu Chi Center juga banyak ruang hijau seperti taman di lantai empat, jembatan (antar gedung) itu. Zaman 10 tahun lalu itu jarang ada diadopsi taman seperti itu, tapi sebenarnya konstruksinya tidak susah, meskipun ada pohon-pohon besar, itu hanya perlu dipilih pohon yang akarnya tidak merusak bangunan.” Herman menjelaskan bahwa dari sisi desain memang menyiapkan banyak ruang terbuka hijau yang bukan hanya terdapat di lantai dasar.
Pemanfaatan Air Daur Ulang
Pengelolaan air juga menjadi fokus utama dalam operasional gedung ini. Sejak awal, bangunan dirancang untuk memanfaatkan sumber daya air secara efisien. Di bawah gedung utama Tzu Chi Center ini terdapat penampungan air hujan berkapasitas besar. “Di gedung ini kita ada namanya Rain Water Tank (RWT), tapi itu sebenarnya standar di seluruh gedung-gedung di Indonesia ya. Jadi dari awal desain kita udah terapin konsep itu, konsep ramah lingkungan lah, jadi airnya itu bisa dipakai kembali,” jelas Herman.
Pemanfaatan air daur ulang (atas). Di atap gedung Tzu Chi Center, terpasang solar panel yang digunakan sebagai salah satu upaya pelestarian lingkungan dengan memanfaatkan tenaga surya (bawah).
Senada dengan Herman, Winarso, Kepala Building Management Tzu Chi Center, menambahkan bahwa air hujan yang tertampung di RWT digunakan secara optimal untuk operasional gedung. “Kita memiliki penampungan air hujan yang kapasitasnya 1.300 meter kubik. Untuk penggunaan AC kan kita ada chiller (pendingin) yang membutuhkan banyak air. Nah kalau musim hujan ini irit sekali, karena air hujan itu kita pakai untuk air chiller, itu penggunaannya bisa memenuhi 50- 60 persen dari kebutuhan air chiller,” papar Winarso.
Selain air hujan, air toilet di Tzu Chi Center juga didaur ulang. Sebanyak 70% dari air yang digunakan untuk menyiram taman- taman di area Tzu Chi Center ini berasal dari air daur ulang. “Air untuk flushing toilet itu semuanya kan jadi air kotor yang semestinya sudah dibuang, nah air ini kita tampung dan diproses melalui suatu treatmentnya, namanya STP (Sewage Treatment Plant). Kita olah di situ semuanya,” jelasnya. Winarso meyakinkan bahwa air hasil daur ulang tersebut adalah aman dan tidak berbahaya, karena setiap hasil olahan itu sudah melalui pemeriksaan laboratorium.
Budaya Ramah Lingkungan dalam Keseharian
Konsep green office di Tzu Chi Center tidak hanya diterapkan pada desain dan teknologi, tetapi juga dalam budaya kerja dan gaya hidup para penghuni gedung. Karyawan dan relawan di area Tzu Chi Center juga diimbau menerapkan langkah-langkah maupun upaya melestarikan lingkungan, seperti mengurangi penggunaan barang sekali pakai, menghemat penggunaan air dan listrik, memilah sampah, hingga mengolah sampah organik menjadi cairan pembersih serba guna seperti eco enzyme.
Salah satu optimalisasi cahaya dalam pembangunan Tzu Chi Center yaitu dari desain ruangan yang memungkinkan setiap ruangan mendapat cahaya dari luar sebagai upaya efisiensi energi.
“Jadi kami di sini semua berlatih untuk tidak menggunakan barang sekali pakai, berlatih untuk lebih bersih, berlatih untuk berbudaya sesuai budaya Tzu Chi, yaitu budaya humanis Tzu Chi, itu yang kita tekankan,” sebut Winarso yang sudah mengenal Tzu Chi sejak 28 tahun yang lalu.
Dalam hal penanganan sampah yang juga berada di bawah lingkup kerjanya, Winarso dan timnya juga mengolah sendiri sampah-sampah organik terutama yang bisa digunakan untuk membuat eco enzyme. “Sehari-harinya untuk maintenance gedung ini kita juga menggunakan eco enzyme, kita sendiri ada produksi, timnya Bu Apit (bagian dapur) juga ada produksi. Nah ini sangat bagus sekali untuk mengatasi misalnya bau tidak enak, atau sesuatu yang kotor atau tempat yang susah dibersihkan, eco enzyme ini sangat manjur dan banyak manfaatnya,” tukasnya.
Di dalam area Tzu Chi Center, taman atau ruang terbuka hijau dibuat seoptimal mungkin, sehingga bukan hanya terdapat di lantai dasar, namun juga di ruang terbuka di lantai 4.
Tzu Chi Center juga memberikan perhatian khusus pada penghijauan. Di setiap sudut kompleks, taman-taman hijau terlihat cukup mendominasi. Tidak heran kalau pengunjung yang pertama kali masuk ke Tzu Chi Center ini kebanyakan berkomentar bahwa lingkungannya asri, adem, tenang, dan sangat nyaman. Dengan komitmen kuat dari para penghuninya, Tzu Chi Center tidak hanya menjadi tempat bekerja, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak pihak untuk turut menjaga kelestarian Bumi.
Teks: Erli Tan
Foto: Anand Yahya, Arimami Suryo A.