Gubuk Alang-alang Nenek Ana

Nenek dari relawan Tzu Chi, Ana, yang buta untuk sementara waktu tinggal di gubuk yang terbuat dari alang-alang yang digunakan sebagai dapur. Bagian atap pondok yang terbuat dari alang-alang sudah bobrok sehingga bocor ketika hujan. Si nenek pasrah menjalani hidupnya dan tidak pernah mengeluh.

Pada pertengahan bulan Mei, relawan Tzu Chi Mozambik Cai Dai Lin mendapat kabar bahwa Ana, seorang relawan setempat memiliki seorang nenek berusia hampir seratus tahun yang mengalami kebutaan sejak berusia 12 tahun. Sang Nenek hanya memiliki seorang putri yang bernama Isabela. Ana adalah putri sulung Isabela yang dibesarkan oleh neneknya sampai berusia sepuluh tahun. Sejak kecil Ana sudah membantu merajut tikar rumput untuk memenuhi kebutuhan hidup, dengan menggunakan alat bantu ranting pohon dan batu yang sangat sederhana, sedangkan bahan baku tikar diperoleh dari tanaman di sekitar tempat tinggal mereka.

Tanggal 26 Mei 2013, Ana dengan sangat gembira mengajak relawan lainnya berkunjung ke tempat ia dibesarkan. Saat tiba di tujuan, Cai Dai Lin baru tahu bahwa gubuk dari alang-alang sudah terkoyak tertiup angin bulan lalu. Maka untuk sementara waktu mereka tinggal di bagian dapur dan saat hujan tiba mereka menjadi lebih menderita karena air masuk dari sela-sela atap yang rusak., Namun Si Nenek yang berhati ikhlas dengan gembira menjalani hidup tanpa pernah berkeluh kesah.

Mata Buta, Hidup dan Memasak Nasi dengan Cara Meraba-raba

Alasan utama kunjungan para relawan kali ini adalah untuk mengajak Yolanda Oti Leah yang berusia 28 tahun mengunjungi nenek yang sama-sama mengalami kebutaan, namun berusaha untuk bisa hidup mandiri. Mata Yolanda Oti Leah mengalami kebutaan karena sebab yang tidak jelas. Dua bulan setelah ia melahirkan dan menjalin jodoh baik dengan Tzu Chi, setelah melakukan survei relawan Tzu Chi baru mengetahui bahwa Yolanda tinggal bersama tetangganya. Meskipun sang tetangga sangat sibuk dalam menjalankan usahanya, namun ia tetap bersedia menampung Yolanda karena merasa kasihan pada Yolanda yang ditinggal suami dan anaknya setelah matanya buta.

Sebelumnya, Yolanda Oti Leah selalu murung sepanjang hari. Hari-harinya hanya diisi dengan duduk termenung dengan tatapan kosong. Penderitaannya mendorong Paolo, seorang relawan Tzu Chi, menceritakan kisah nenek dari relawan Ana yang sudah buta selama lebih dari 30 tahun, namun ia tetap hidup mandiri, optimis, dan tegar. Yolanda diajak untuk merasakan perjuangan sang nenek agar bisa menyadari makna dari sebuah berkah. Oleh karena itu, diaturlah sebuah acara “temu muka” antara dua orang yang tidak dapat saling melihat.

Pada saat menyaksikan nenek menyalakan kayu bakar dengan mengandalkan nalurinya, hal ini menggetarkan hati semua orang yang hadir, yang membayangkan dengan cara berdikari seperti inilah ia merawat Ana hingga berumur 10 tahun.

Dalam kunjungan kali ini kami memasuki kamar Sang Nenek, dan hanya menemukan selimut tipis, beberapa helai baju, dan alat masak: panci. “Ayo, sudah waktunya makan siang!” Dengan penuh kasih sayang Ana membantu neneknya membuka kotak korek api, juga mengajarkan kepada para relawan korek api harus dibungkus dengan kantung plastik agar tidak basah saat terguyur hujan. Selanjutnya nenek mengambil kayu bakar, lalu meletakkan sebuah kuali di atas batu yang disusun agak tinggi di kedua sisi seperti bentuk tungku pada umumnya. Semua bahan yang digunakan berasal dari bahan yang diambil dari sekitar tempat tinggal mereka. Pada saat menyaksikan nenek menyalakan kayu bakar dengan mengandalkan nalurinya, hal ini membuat semua orang yang hadir tergetar hatinya. Bukan saja karena sang nenek dapat hidup dengan mandiri, tetapi ia juga dapat merawat Ana hingga berumur 10 tahun.

Yang dapat dilakukan oleh nenek tanpa bantuan orang lain bukan hanya menyalakan kayu bakar dan memasak nasi, tapi ia juga dapat bercocok tanam. Di sekeliling pinggiran sawah di dekat gubuknya ditanami kacang tanah dan tanaman sayur. Si Nenek sama seperti orang lain juga dapat menggunakan cangkul. Dalam kondisi sama sekali tidak bisa melihat, ia meraba dengan kedua tangannya sebagai pengganti fungsi mata, ia juga dapat memisahkan antara rumput liar dan sayuran yang dapat dimakan.

Karena telah menghayati keuletan dan ketegaran nenek dalam menjalani kehidupan, Yolanda yang dulunya terbiasa menunggu bantuan orang lain berkata kepada relawan, “Saya sudah tidak memerlukan bantuan beras lagi, berikan pada Si Nenek saja!” Menyaksikan sosok sang nenek yang menarik hati, juga kelapangan hati Yolanda yang dapat menghayati rasa syukur dan menyadari berkah, semua relawan merasa sangat bahagia. Makna yang terkandung di balik perjalanan kunjungan hari ini telah tercapai! Setiap orang telah dapat menyaksikan sebuah dunia yang begitu indah dan baik!

Yolanda yang dulunya terbiasa menunggu bantuan orang lain berkata, “Saya sudah tidak memerlukan bantuan beras lagi, berikan pada Si Nenek saja.”

Berita Buruk! Tersiar Kabar Bencana Kebakaran Pada Malam Hari

Pada hari ketiga setelah berpisah dengan Si Nenek, tanggal 15 Juli, pukul 09.30 malam, di saat Cai Dai Lin sedang berdiskusi tentang dengan jurnalis Da Ai TV Taiwan yang datang ke Mozambik untuk melakukan wawancara khusus dengan sang nenek tentang kekuatan hidupnya yang lembut, ulet, dan optimis, tetapi malam itu Cai Dai Lin justru mendapat kabar dari Ana, bahwa rumah neneknya terbakar. Tapi beruntung Ana bersama neneknya yang buta berhasil selamat dari kejadian naas itu. Maka malam itu Ana menggunakan telepon tetangganya yang ia pinjam memohon kepada Cai Dai Lin untuk bisa menumpang tinggal barang satu malam. Setelah mengetahui berita ini, hati Cai Dai Lin dan suaminya Budiono merasa sangat cemas, dan memutuskan besok pagi segera berangkat untuk membantu Si Nenek.

Karena hal ini perlu ditangani secepatnya, tidak bisa disesuaikan dengan perencanaan awal pengambilan gambar Da Ai TV, Cai Dai-lin segera memberitahu jurnalis Da Ai yang sedang bekerja lembur di malam hari bahwa besok tidak bisa melakukan pengambilan gambar sesuai dengan jadwal karena harus segera berangkat untuk membantu si nenek. Dua jurnalis Da Ai TV pun setuju untuk mengubah jadwal dan ikut berangkat bersama Cai Dai Lin.

Keesokan harinya, pukul 6 pagi, Cai Dai Lin menelepon Victoria, seorang relawan setempat untuk dapat mengajak sekitar 4 orang relawan untuk membantu si nenek membangun rumah. Victoria segera menyanggupi dan segera berlari mendatangi rumah relawan lain untuk mengajak mereka. Pukul 6.30 pagi ia telah mengumpulkan delapan orang relawan. Namun karena kapasitas mobil tidak cukup, sebagian relawan segera berangkat dengan kendaraan umum. Pikiran mereka hanya ingin secepatnya pergi menjenguk si nenek yang sedang dalam kondisi ketakutan.

Meski semua orang tidak pernah membangun rumah, namun setiap relawan menunjukkan tekad untuk menyelesaikan pembangunan rumah dengan seluruh kemampuannya. Cai Dai Lin berkata dengan lembut, agar malam ini si nenek tidak sampai kedinginan lagi. Para relawan pun segera menjawab, “Kita semua adalah satu keluarga, kita akan mengerjakannya sampai selesai baru akan pulang!”

Para relawan dengan sangat kompak bergotong royong membantu Si Nenek membangun rumah.

Bertekad untuk Membangun Rumah Baru yang Kokoh untuk Si Nenek

Pukul 7.30 pagi, setelah acara pertemuan relawan selesai, dalam proses pelaksanaan tugas semua relawan aktif menghubungi kendaraan dan pengemudinya, sedangkan Ana sibuk mempersiapkan pakaian dan barang lainnya bagi neneknya untuk mengantisipasi udara dingin. Mempertimbangkan faktor keselamatan dan berbagai hal lainnya, sejak awal Cai Dai Lin sudah memutuskan untuk membangun sebuah pondok alang-alang yang agak kokoh untuk si nenek, hal yang terpenting adalah memanfaatkan kesempatan untuk mendidik!

Perjalanan menuju rumah Si Nenek cukup jauh. Dengan menggunakan mobil membutuhkan waktu hampir dua jam perjalanan. Seprang pengusaha Tionghoa asal Malaysia yang meminjamkan mobilnya terus menghibur Cai Dai Lin agar jangan sampai beban tekanan menjadi terlalu besar, pekerjaan membangun rumah tidak mungkin selesai dalam satu hari, namun di dalam hati Cai Dai Lin tetap dengan keyakinannya bahwa “pasti bisa diselesaikan!”

Karena pada hari itu tidak ada waktu untuk memotong rumput alang-alang sendiri, mau tidak mau Cai Dai Lin harus mendapatkannya dengan cara membeli. Akhirnya setelah menemukan orang yang menjual rumput alang-alang, relawan langsung berangkat menuju ke rumah si nenek. Mereka kemudian bertemu dengan si nenek yang sudah ketakutan, kedinginan, dan juga kelaparan semalaman, secepatnya para relawan memberikan makanan kotak yang sudah dipersiapkan dari rumah.

Pada waktu bersamaan, para relawan di lain tempat yang berniat membantu mulai bergerak menuju lokasi. Mereka baru tiba di lokasi pukul satu siang. Para relawan memang merasa tertekan oleh waktu yang rasanya tidak cukup, namun semua orang sangat percaya diri!

Akhirnya, Jonathan, relawan setempat yang selalu bekerja keras berhasil mendirikan tiang rumah yang pertama. Saat mengetahui rumah ini pernah roboh tertiup angin bulan April lalu, relawan kemudian memutuskan memberikan adukan semen di bagian bawah setiap tiang. Meski merupakan sebuah pondok alang-alang, namun terdapat empat tiang permanen sehingga menjadi lebih kokoh. Semua orang bertekad untuk menyelesaikan tugas sehingga memiliki kesepakatan dalam bekerja sama.

Saat hari senja, para tetangga yang semula datang untuk melihat keramaian juga menjadi terharu hatinya, mereka pulang ke rumah menggambil beberapa helai baju untuk diberikan kepada si nenek. Relawan setempat juga membantu memilah-milah sayur dan tanaman liar. Relawan lelaki bertugas membangun rumah, sedangkan relawan wanita memasak nasi dan bernyanyi menghibur si nenek.

Ketika matahari terbenam di ufuk barat, bidang tembok yang pertama telah selesai dibangun.

Ketika Matahari Terbenam di Ufuk Barat, Tembok yang Pertama Telah Selesai  Dibangun!

Karena di lingkungan itu belum ada aliran listrik, sedangkan jurnalis Da Ai TV juga datang untuk mengambil gambar, Huang Qi Lu, seorang relawan yang ikut hadir segera menyediakan lampu sehingga membuat pekerjaan dapat berjalan dengan lancar. Selama proses pembangunan rumah, yang terasa di dalam hati Cai Dai Lin  adalah bersatu hati, harmonis, saling mengasihi, dan gotong royong. Ini adalah harapan dari Master Cheng Yen. Bahwa di balik pemberian perhatian ada sebuah tujuan, yaitu menyucikan hati manusia. Semua yang dirasakan oleh para murid akan selalu diingat di dalam hati. Meskipun semuanya dalam keadaan dingin dan lapar, namun semua relawan menikmatinya sebagai tugas yang menyenangkan. Mereka bekerja sambil bernyanyi-nyanyi.

Rumah seharga 8.500 dolar NT (sekitar 3.400.000 rupiah) telah ditukar dengan sebuah pelajaran yang tidak ternilai. Hati para relawan menyatu dengan sangat erat, sekali lagi saat itu para relawan dapat memahami, bahwa yang terpenting bukanlah sekadar membangun sebuah rumah, tetapi hati  semua orang telah dijernihkan dan tumbuh menjadi sangat dewasa. Kegiatan ini bahkan telah menjernihkan dan menyentuh hati warga di sekitar tempat tinggal si nenek.

Pada malam harinya rumah telah selesai dibangun, kondisi hati si nenek yang galau juga telah pulih kembali. Rasa cinta dan haru berlimpah ruah di dalam hati para relawan! Mereka lupa jika mereka belum makan, dan juga lupa akan hawa dingin yang menyergap tubuh karena tidak mengenakan jaket, namun dalam hati mereka penuh dengan sukacita dan kehangatan!

catatan:

Setelah rumah selesai dibangun, si nenek berbagi kisah dengan relawan Tzu Chi: Cai Dai Lin, bahwa ia tidak ingin meninggalkan rumah dan ingin tetap berada di dalam rumah, takut rumah yang begitu bagus akan diangkut orang, ini merupakan rumah paling bagus yang pernah ia tinggali sepanjang hidupnya!

Sumber: http://www.tzuchi.org.tw/index.php?

Penulis: Cai Dai-lin  laporan: 14 agustus 2013 Mozambik

Penerjemah: Lienie Handayani

Editor: Agus Rijanto

PIC artikel : Hadi Pranoto

Editor artikel : Apriyanto

Jika menjalani kehidupan dengan penuh welas asih, maka hasil pelatihan diri akan segera berbuah dengan sendirinya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -