Harapan Baru Seorang Petani Padi

Katarak tak menjadi penghalang bagi Burhan untuk tetap bekerja. Namun Ia akui penyakit mata ini tak jarang membuatnya rugi dalam proses panen padi.

Satu hari seorang bapak tua berdiri cukup lama di pinggir jalan raya. Ia tak melakukan apapun. Hanya berdiam diri dan tampak seperti menunggu sesuatu. Lalu lalang kendaraan yang melintas di jalur Trans Kalimantan dengan laju yang kencang seperti tak ia hiraukan. Bapak tua itu masih terus berdiri tanpa ada yang mendampingi. Tatapannya kosong memandang ke depan, tanpa menengok kanan dan kiri.

Tak berapa lama, seorang anak muda berteriak, “Ayo Pak nyeberang, jalanan sudah sepi.” Saat itulah bapak tua ini berani menyeberang jalan sembari berlari kecil.

“Terima kasih, Nak,” ungkapnya kepada anak muda itu sembari berlalu ke sawah.

Aktivitas itu terjadi setiap hari. Bapak tua ini menunggu ada tetangga atau seseorang yang memandu dengan teriakan saat hendak menyeberang. Apabila tidak ada, ia terpaksa mengandalkan pendengarannya. Telinga adalah pengganti penglihatan baginya.

Bapak tua itu adalah Burhan A.S Busamah atau biasa dipanggil Burhan. Ia adalah seorang petani padi yang hidup di sebuah desa terpencil di wilayah Kalimantan Tengah, tepatnya di Desa Seruyan. Usianya tak lagi muda, menginjak 68 tahun. Di usia yang sudah senja ini, Burhan masih memiliki tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga, menghidupi istri dan anak-anaknya yang belum menikah.

Burhan hidup penuh kesederhanaan. Rumahnya terbuat dari kayu dan tidak ada aliran listrik masuk ke dalam rumahnya. Selama ini lilin menjadi alat bantu penerangan di kala malam. Itupun jarang, karena mereka tahu untuk membeli lilin harus menyisihkan rupiah demi rupiah. Maka dari itu keluarga Burhan terbiasa hidup dengan bantuan cahaya bulan di kala malam.

Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya Burhan bekerja sebagai seorang petani padi. Namun lahan yang ia garap bukan miliknya sendiri, melainkan milik tetangga atau kerabat. Dari hasil panen inilah ia mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya sehari-hari walaupun dengan bayaran yang tak menentu. Dengan penghasilan yang tak menentu, Burhan tak jarang harus bersabar menahan perihnya lapar karena ketiadaan uang untuk membeli lauk dan nasi.

Katarak Membelenggu Burhan


Dua jam perjalanan ditempuh Burhan untuk bisa mengikuti operasi katarak yang dilaksanakan oleh Tzu Chi Cabang Sinar Mas bekerja sama dengan TNI.

Tidak mampu melihat bukan berarti buta. Jika berjalan, Burhan memang harus meraba sesuatu atau didampingi oleh seseorang. Jika sendirian, ia akan berjalan dengan sangat lambat dan penuh kehati-hatian.

Katarak sudah bersarang di mata Burhan sejak dua tahun terakhir. Paparan sinar matahari selama bekerja di sawah, serta usianya yang semakin tua menjadi penyebab munculnya katarak di kedua matanya. Alhasil, penglihatan Burhan semakin hari semakin rabun. Tidak hanya mata yang semakin rabun, namun Burhan juga kerap merasakan sakit yang luar biasa pada mata sebelah kirinya apabila terik matahari yang begitu menyengat. Katarak di mata kirinya memang lebih parah. Namun apa boleh buat, apabila ia tidak ke sawah, maka keluarganya tidak akan makan. Inilah yang menjadi cambukan bagi Burhan untuk terus bekerja, apapun kondisinya.

Kondisi katarak yang semakin parah dari hari ke hari membuat Burhan kerap mengalami pusing-pusing, bahkan tiba-tiba merasakan gelap. Kondisi ini yang menimbulkan kekhawatiran bagi keluarga Burhan apabila ia berangkat ke sawah sendirian. Sang istri yang adalah seorang ibu rumah tangga sesekali menemani Burhan bekerja di sawah. Namun ini tidak bisa setiap hari ia lakukan lantaran istrinya juga bekerja sebagai buruh cuci. Terkadang jika istri tak bisa menemani, anak bungsu Burhan lah yang akan mengantarnya ke sawah.

Sejak menderita katarak, gerakan Burhan memang menjadi lebih lambat, termasuk ketika menyeberang. Mobil dari jarak kejauhan tak bisa ia lihat dengan jelas. Pandangannya hanya putih. Itulah sebabnya ia mengandalkan orang lain atau inderanya sendiri untuk memandunya menyeberang.

“Telinga saya sudah menjadi alat bantu penglihatan saya. Saya dengar dulu ada kendaraan yang lewat atau tidak. Kalau sepi, baru saya berani nyebrang. Kalau bertani ini saya lewatin jalan provinsi, saya sering merasa kesusahan,” ungkap Burhan.

Kondisi kesehatan mata yang terus menurun tak membuat Burhan berhenti bertani. Baginya, apapun kondisi kesehatannya, roda perekonomian keluarga harus tetap berjalan. Walaupun ia tahu ada risiko yang harus ia tanggung dengan kondisi penglihatannya yang terus menurun.

Ia mengakui, sejak menderita katarak, pemilik lahan sering mengeluh akibat semakin sedikitnya padi yang dipanen. Tak jarang pula sang istri yang menunggunya di rumah terkejut dengan hasil panen yang dibawa Burhan dari sawah.

“Ketika lagi garap sawah, rumput saya kira padi sedangkan padi saya kira rumput. Jadi saya sering salah cabut. Niatnya mau cabut rumput, malah padi yang masih hijau yang saya cabut. Jadi kerjaan saya banyak sia-sia,” tuturnya mengingat betapa katarak sangat mengganggu penglihatannya.

Beruntung, Burhan masih tetap diizinkan untuk menggarap sawah dengan kondisi penglihatan yang sudah sangat terbatas. Hati sang pemilik sawah terketuk dengan semangat juang Burhan untuk menghidupi keluarganya.

Harapan Baru Bersama Tzu Chi


Relawan medis memeriksa kesehatan mata Burhan setelah menjalani operasi. Burhan kini dapat melihat dunia yang cerah dan indah.

Hidup Burhan berangsur-angsur berubah saat relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas di Perkebunan Sinar Mas (PSM) 6 & 6A, wilayah Kalimantan Tengah dan Gunung Mas mengunjungi Desa Seruyan. Di sana relawan memberikan informasi kepada warga tentang baksos yang akan diadakan oleh Tzu Chi Sinar Mas. Relawan pun menyurvei keadaan warga dan bertemu dengan Burhan. Relawan menganjurkan Burhan mendaftar sebagai pasien dalam bakti sosial operasi katarak yang digelar di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, 16 Februari 2016 lalu.

Kabar yang dibawa relawan Tzu Chi itu seperti oase di padang gurun bagi Burhan dan keluarga. Dirinya seperti mendapatkan pengharapan dan semangat baru bagi kondisi matanya yang kian hari kian menurun. Tanpa berpikir panjang, Burhan menyatakan kesediaannya untuk terdaftar sebagai peserta dalam bakti sosial ini. Proses demi proses ia jalani hingga akhirnya dokter menyatakan Burhan lolos untuk dioperasi.

Jarak tempuh antara rumah Burhan di Desa Seruyan dengan lokasi baksos di Kota Sampit cukup jauh, yakni 107 Kilometer. Artinya dua jam waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai di lokasi baksos. Kondisi ini tak membuat semangat dan kesiapan Burhan untuk sembuh menjadi luntur. Dengan perhatian dan cinta yang tulus dari relawan Tzu Chi, Burhan sampai di lokasi baksos dengan selamat dan tepat waktu. Sang istri dengan setiap mendampingi dirinya menjalani tahap demi tahap pemeriksaan, hingga akhirnya Burhan masuk ke dalam ruang operasi.

Khawatir, cemas, takut. Perasaan itu bergumul menjadi satu di hati sang istri. Di satu sisi ia tidak sabar akan kesembuhan sang suami, namun di sisi lain ia cemas jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun rasa khawatir itu sesaat sirna setelah semua proses dijalani dengan begitu baik.

Tak sampai satu jam Burhan menjalani proses operasi yang dilakukan oleh relawan medis dari Tzu Chi International Medical Association (TIMA). Katarak yang sudah bersarang di mata Burhan selama dua tahun terakhir berhasil dioperasi oleh dokter.

Wajah bahagia Burhan bersama Surya (kiri) dan Zulkifli Pandia (kanan) relawan Tzu Chi yang selalu mendampingi.

Kini Burhan sudah bisa melihat dengan jelas. Tidak ada lagi ketakutan dirinya saat menyeberang. Bahkan ia sudah bisa membedakan antara padi dan rumput, sehingga ia tak lagi merugi ketika sedang panen padi. Lebih daripada itu, kebahagiaan Burhan adalah di saat ia bisa memandang wajah sang istri dan anak-anaknya dengan begitu jelas. Baginya, ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan apapun.

“Terima kasih Tzu Chi, setelah menjalani operasi katarak, saat ini saya sudah bisa melihat dengan jelas. Sebagai petani, penglihatan sangat penting. Sekarang saya menjadi lebih bersyukur dan semangat menjalani hari-hari saya ke depan. Saya juga sekarang sudah bisa melihat wajah istri saya yang cantik dan wajah anak-anak saya. Kalau dulu semuanya serba putih, saya seperti orang buta. Namun kini saya jadi tahu bahwa dunia itu sangat indah,” tuturnya dengan mata yang berbinar.

Tidak hanya Burhan dan keluarga, kebahagiaan ini juga turut dirasakan oleh Pembina Tzu Chi Sinar Mas PSM 6 & 6A, Edy Saputra Suradja. Bagi Edy, semangat yang dimiliki oleh Burhan menjadi pelajaran bagi semua relawan untuk menjalani hidup dengan penuh syukur apapun kondisi yang dihadapi. Edy Saputra Suradja juga berharap Burhan memiliki semangat hidup yang lebih luar biasa lagi setelah menjalani proses operasi katarak.

“Yang utama adalah bagaimana kita mempunyai semangat hidup yang luar biasa, yang bagus sekali apapun yang ada yang kita miliki. Apalagi kalau sudah dibantu dengan operasi katarak, tentunya harus memiliki semangat hidup yang lebih bagus lagi,” ungkap Edy Saputra Suradja sesaat setelah bertemu dengan Burhan.

Sejak berdiri dan menjejakkan kaki di berbagai wilayah di Indonesia, Tzu Chi Sinar Mas mengaku akan selalu berkomitmen untuk membantu warga, sejalan dengan misi Tzu Chi. Seperti salah satu perenungan Master Cheng Yen mengungkapkan, bila semua orang dapat bersumbangsih dengan cinta kasih yang tulus dan murni, pelita harapan akan menyala di berbagai pelosok gelap di dunia.

Satu pasien penderita katarak di Desa Seruyan kini telah sembuh dari belenggu katarak yang diderita selama bertahun-tahun melalui kegiatan bakti sosial operasi katarak yang digelar oleh Tzu Chi Sinar Mas. Benih kebaikan yang ditebarkan oleh relawan Tzu Chi ini lambat laun akan menuai kebaikan, sehingga pelita harapan akan menyala tidak hanya di Desa Seruyan, namun desa-desa lainnya dengan jangkauan yang lebih luas lagi.

 

Penulis: Ruth Putryani Saragih, Fotografer: Dok. Tzu Chi Perwakilan Sinar Mas

Ada tiga "tiada" di dunia ini, tiada orang yang tidak saya cintai, tiada orang yang tidak saya percayai, tiada orang yang tidak saya maafkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -