Jejak Cinta Kasih Yang Tak Hilang di Jagabita

Ketua Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei, Wakil Ketua Tzu Chi Indonesia, Sugianto Kusuma, bersama Relawan Komite Tzu Chi Indonesia, relawan Tzu Chi Sinar Mas, He Qi Tangerang, dan Summarecon bersilaturahmi dengan warga saat melakukan survei di Desa Jagabita.

Hampir satu dekade, Tzu Chi Indonesia menebar cinta kasih di Desa Jagabita, Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Hal tersebut diwujudkan mulai dari pemberian bantuan bagi penderita kaki gajah, bantuan perbaikan sanitasi dan fasilitas MCK, bantuan bedah rumah, bakti sosial kesehatan dan sembako, hingga pemberdayaan hasil kerajinan tangan. Cinta kasih itu pun kini masih meninggalkan jejak yang baik dan tidak dilupakan oleh warga.

Tahun 2016 menjadi awal perkenalan relawan Tzu Chi Indonesia dengan warga Desa Jagabita. Di tahun itu pula tepatnya 14 Februari 2016, Ketua Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei, Wakil Ketua Tzu Chi Indonesia, Sugianto Kusuma, Relawan Komite Tzu Chi Indonesia, Liliawati Rahardjo dan Hong Tjhin, beserta relawan Tzu Chi Sinar Mas, He Qi Tangerang, dan Summarecon melakukan survei langsung melihat kondisi warga, rumah, dan lingkungan Desa Jagabita.

Setelahnya, diputuskan untuk memberikan bantuan dalam berbagai hal untuk meningkatkan kualitas hidup warga. Kini di tahun 2025, jejak cinta kasih yang ditinggalkan Tzu Chi di wilayah tersebut masih melekat dan diingat para warga. Bukan hanya itu, relawan Tzu Chi juga masih memberikan perhatian dengan memberikan paket sembako saat Hari Raya Idul Fitri serta menampung dan menjual hasil kerajinan tangan warga untuk membantu meningkatkan perekonomian.

Rumah Kokoh dan Sehat Untuk Keluarga
Eni (34), warga RT 02/04, Kampung Pabuaran, Desa Jagabita sekaligus istri dari Agus, salah satu penerima bantuan bedah rumah merasakan perubahan nyata setelah rumahnya dibangun ulang Tzu Chi. “Rumah yang dulu sudah hampir roboh, mau dibetulin nggak ada biayanya. Anak-anak juga masih kecil dan suami kerja cuma buruh bangunan,” kenang Eni menceritakan rumah dan kehidupan keluarganya dahulu.

Agus dan Eni beserta anak-anaknya di depan rumahnya yang dulu. Setelah dibantu Tzu Chi, keluarga ini memiliki hunian yang layak, bersih, dan sehat.

Rumah yang ditempati Agus dan Eni beserta anak-anaknya dulu berdinding bilik bambu, lantainya masih tanah, untuk memasak juga masih menggunakan kayu bakar. Saat hujan, bocor dan banjir dimana-mana. “Rumah dulu jauh dari layak. Terus ada ibu Tri (relawan Tzu Chi Sinar Mas) yang ke sini survei. Waktu itu ya gede banget harapan (dibangun rumahnya), tapi takut juga dibangunnya setengah-setengah,” ungkap Eni.

Ternyata harapan itu menjadi nyata. Rumah milik Agus dan Eni dibangun ulang oleh Tzu Chi. “Pertama kali lihat rumahnya jadi, ya senang! Kalau bikin sendiri, nggak mampu,” kata Eni senang. Setelah hampir 10 tahun, rumah itu pun masih tampak kokoh, bangunan utama masih sama seperti dulu waktu diserahterimakan. Hanya ada penambahan di bagian teras dan samping kanan rumah.

“Rumahnya jadi bersih. Dulu kamar ada dua, anak ada lima, jadi nggak cukup. Sekarang ada 3 kamar, alhamdulillah,” kata Eni. Ia juga mengaku senang karena berkat bantuan Tzu Chi tidak perlu memikirkan untuk merenovasi atau membuat rumah. “Sekarang udah nggak bocor, tenang, kalau ada angin nggak takut roboh. Jadi enak, bangunannya bagus dibandingkan yang dulu,” tambahnya.

Setelah hampir 10 tahun, kondisi rumah yang dihuni Agus, Eni, dan keluarga masih tampak kokoh dan hanya tampak perubahan di bagian teras dan samping kanan rumah yang dibangun Tzu Chi.

Eni juga bersyukur kembali dikunjungi relawan walaupun hanya mampir dan melihat-lihat kondisi rumah. “Tentu merasa diperhatikan sama relawan, jadi mereka nggak lupa sama saya dan sebaliknya saya sama keluarga juga ingat,” ungkap Eni. Berkat bantuan rumah dari Tzu Chi pula, Eni dan Agus bisa membesarkan anak-anaknya dengan baik karena memiliki rumah yang sehat, kokoh, serta bersih.

“Sekarang anak-anak sudah besar, bisa mencari rezeki masing-masing. Ada yang jadi buruh bangunan, kerja di toko material, ada yang di pabrik. Bapaknya juga sudah bisa ngebor dan nguli lagi,” jelas Eni.

Bertemu Sahabat Lama
Nurlela (38), salah satu warga Jagabita yang menderita kaki gajah juga bersyukur akhirnya bertemu kembali dengan relawan Tzu Chi. Dulu saat usianya 18 tahun, Nurlela dibantu Tzu Chi untuk pengobatan penyakit kaki gajahnya. Sebelumnya dirinya dan keluarga tidak tahu harus berbuat apa dengan kondisi kaki kanan Nurlela yang semakin lama membesar.

“Setelah kenal Tzu Chi baru berobat, karena dulu nggak ngerti, nggak ada biaya juga. Sebelum berobat ya rasanya malu, sakit, sampai nggak berani keluar,” kenang Nurlela.

Nurlela (depan), bersama warga Jagabita yang menderita kaki gajah saat ditemi relawan Tzu Chi pada tahun 2016 di depan Kantor Desa Jagabita, Parung Panjang, Kabupaten Bogor.

Saat itu Nurlela mendapatkan layanan medis berupa operasi, rawat inap, dan rawat jalan selama 8 bulan di RSCM. Selama itu pula ia didampingi oleh Hok Cun atau yang akrab disapa Acun, salah satu relawan Tzu Chi komunitas He Qi Tangerang. Namun proses pengobatan Nurlela tidak tuntas karena faktor keluarga dan keinginannya sendiri.

“Jadi ada 10 kali tahap operasi, pas 6 kali operasi saya nyerah pengen pulang. Selain itu juga bingung harus urus ini itu,” cerita Nurlela.

Walaupun tidak tuntas, Nurlela tidak menampik bahwa peran relawan Tzu Chi begitu berarti bagi dirinya. “Pak Acun sama abah saya yang dampingi dulu. Banyak kenangan juga bersama Pak Acun. Setiap saya butuh pasti ada waktu berobat di RSCM. Intinya Pak Acun baik, perhatian,” ungkapnya. Relawan Tzu Chi yang kembali mengunjungi Nurlela sekaligus melakukan survei untuk program renovasi rumah pun seperti mimpi baginya.

Kebahagiaan Nurlela bisa bertemu kembali dengan relawan Tzu Chi. Ia masih ingat betul pendampingan dan peran besar relawan saat mendampinginya berobat di RSCM.

“Seneng (dikunjungi), kemarin sempat lihat HP ngebatin ada nih temen dulu dari Tzu Chi tapi kok nggak ketemu-ketemu. Ehh.. hari ini ke sini, kaya mimpi,” ungkap Nurlela.

Bak sahabat yang sudah lama tak bertemu, Nurlela pun menyabut rombongan relawan yang mampir ke rumahnya dengan penuh sukacita. “Pokoknya seneng banget, serasa ada yang ngakuin. Biasanya nggak ada yang merhatiin saya, nggak pernah ada yang tanya, kok ini tiba-tiba ada yang tanyain, kaget kan saya,” ucapnya.

Saat berbincang-bincang, Nurlela pun menumpahkan keluh kesah dan menceritakan kehidupannya saat ini. Ia merasa bersyukur karena bisa merajut kembali silaturahmi dengan para relawan Tzu Chi terlebih dengan Acun yang dulu mendampinginya. “Saya bersyukur banget, alhamdulillah, ternyata doa saya dikabulin pengen ketemu sama relawan Tzu Chi ini,” kata Nurlela bersemangat.

Melestarikan Budaya, Meningkatakan Ekonomi Warga
Warga Desa Jagabita rata-rata bekerja sebagai petani, buruh bangunan, berkebun, dan sebagian kecil menjadi pengerajin anyaman bambu. Hal ini juga menjadi salah satu perhatian yang diberikan relawan Tzu Chi ke pada warga di sana. Tentunya salah satu bentuk perhatian ini diwujudkan dengan membantu memasarkan hasil kerajinan para warga yang masih membuat anyaman dari bambu. Selain dapat menjadi salah satu cara melestarikan tradisi, juga dapat membantu meningkatkan pendapatan ekonomi warga.

Hal inilah yang dirasakan Arsudin (53), salah satu warga Desa Jagabita yang sampai saat ini masih membuat kerajinan anyaman dari bambu sebagai mata pencaharian. Sejak tahun 1995, ia mulai membuat kerajinan dari bambu saat masih bersekolah. “Dulu saya membuat ini (kerajinan) lihat orang tua bikin, terus ikut-ikutan, lalu dibantu sama orang tua untuk ngejualin. Lama-lama saya pulang sekolah rutin bikin,” cerita Arsudin.

Arsudin, salah satu warga Desa Jagabita yang memiliki keahlian membuat anyaman dari bambu. Ia bersyukur berjodoh dengan relawan Tzu Chi yang membantunya meningkatkan pendapatan dengan membeli hasil karyanya.

Setelah lulus, Arsudin mulai fokus membuat kerajinan dari bambu berupa pengki (alat untuk mengumpulkan sampah), topi pramuka, dan lain-lain. Bahan baku yang ia gunakan adalah pohon bambu milik sendiri yang ada di belakang rumahnya. Setelah jadi dan terkumpul, ia sendiri langsung membawa hasil kerajinan tersebut ke pasar untuk dijual. “Ada yang beli, tapi nggak cukup untuk sehari-hari. Dulu satu buah (pengki) saya jual seribu, tetapi sekarang perbuah sudah sampai lima ribu,” kata Arsudin.

Seiring perkembangan jaman, peminat barang kerajinan dari bambu juga semakin sedikit. Barang-barang tersebut kini sudah digantikan dengan barang dari plastik. Masyarakat pun lebih memilih barang dari plastik karena lebih praktis dan lebih awet. “Kendala banyak saingan kerajinan dari pabrik, sekarang kan banyak plastik. Kalau dulu sebelum ada barang dari plastik orang masih beli,” ungkap Arsudin. “Ada ketakutan (tergerus jaman) dan kepikiran kalau sudah tua mau bekerja apa lagi,” tambahnya.

Melihat kondisi inilah ada salah satu warga yang kenal dengan relawan Tzu Chi yang menanyakan tentang hasil kerajinan anyaman kepada Arsudin. “Ada yang ke rumah, tanya ‘bisa nggak ngumpulin (membuat dalam jumlah banyak)?” ceritanya. Rupanya ada salah satu relawan Tzu Chi yang memiliki perusahaan ritel ingin menjual barang-barang kerajinan anyaman bambu. “Iya orang itu bilang ‘saya kirim ke yang mau menerima kerajinan pengki ini, relawan Buddha Tzu Chi,” kata Arsudin.

Setelah menyanggupi permintaan pengadaan barang-barang anyaman dari bambu, dari sinilah perpanjangan tangan relawan Tzu Chi untuk membantu warga Desa Jagabita terus terjalin hingga saat ini. “Alhamdulillah, bersyukur ada yang nampung. Jadi kita nggak kemana-mana cari pembeli. Kalau nggak ada yang nampung, cari kesana kesini (pembeli), itu juga belum tentu orang mau, misalnya ada paling satu atau dua yang beli,” ungkap Arsudin.

Edi Sheen, Hok Cun, dan relawan Tzu Chi Tangerang lainnya berkunjung ke rumah Arsudin untuk melihat proses pembuatan topi dan pengki dari bambu.

Jalinan jodoh ini juga menjadi salah satu pintu rezeki bagi Arsudin dan pengerajin-pengerajin anyaman bambu lainnya di wilayah Jagabita dan sekitanya. Jika permintaan sedang banyak, tak jarang Arsudin juga sering mencari barang ke warga pengerajin lainnya supaya menutupi permintan.

“Kerjanya fokus kalau sudah ada yang nampung. Kadang malam juga dikerjain lagi supaya dapat lebih banyak, atau cari ke pengerajin lain di sini. Pendapatannya ya agak meningkat, buat makan sehari-hari, buat anak sekolah ya cukup karena harga udah tetap. Terima kasih sudah ada yang nampung pekerjaan saya, semoga diperpanjang dan yang menampungnya bisa maju terus,” kata Arsudin tersenyum lebar.

Silaturahmi Terus Terjalin
Hok Cun (Acun), relawan Tzu Chi komunitas He Qi Tangerang yang sejak awal terlibat dan menjadi pendamping di Jagabita turut bersukacita. Karena setelah hampir satu dekade, para penerima bantuan di Desa Jagabita masih ingat dengan jejak cinta kasih yang diberikan Tzu Chi. Acun pun menceritakan awal jalinan jodoh Tzu Chi dengan warga Jagabita di tahun 2016 karena ada relawan Tzu Chi Sinar Mas, bernama Ibu Tri yang membawa pasien kaki gajah bernama Nurlela ke RSCM. Setelah itu berlanjut proses survei oleh Ketua dan Wakil Tzu Chi Indonesia beserta relawan lainnya dengan damping TNI.

“Dulu di sini MCK-nya kurang, jadi ada beberapa yang mengidap penyakit kaki gajah, dari situ dikembangkan menjadi bedah kampung. Mereka juga rumahnya dari bilik bambu lantainya tanah liat,” jelas Acun.

Setelah proses survei dan verifikasi data, ditetapkan sebanyak 38 rumah warga Jagabita dibedah, disesuaikan dengan jumlah penghuni dan kondisi rumah. “Ada yang 2 kamar, 3 kamar, dan ada yang 4 kamar. Pembangunannya juga dibagi menjadi 4 tahap waktu itu,” cerita Acun. Setelah rumah selesai di bedah dan diserahterimakan, warga Jagabita yang tadinya tinggal di rumah yang tidak layak kembali memulai kehidupan di rumah yang lebih layak.

Stan relawan Tzu Chi komunitas He Qi Tangerang dalam acara Pekan Amal Tzu Chi 2025 yang berisi barang-barang anyaman dari bambu yang salah satunya berasal dari Desa Jagabita.

Relawan Tzu Chi komunitas He Qi Tangerang dalam beberapa kesempatan juga masih membantu warga Desa Jagabita dengan kegiatan bakti sosial pembagian paket sembako setiap tahun. Selain itu, cara lain relawan Tzu Chi untuk membantu meningkatkan kualitas kehidupan serta ekonomi warga dengan memasarkan barang-barang hasil kerajinan warga.

“Kita melihat ada potensi masyarakat di sini. Banyak pohon bambu jadi ada beberapa warga yang punya skill menganyam, membuat pengki, topi, bakul, kipas tetapi memasarkannya agak sulit. Akhirnya kita satu punya ide mereka tetap buat tetapi marketingnya kita yang urus atau ditampung,” jelas Acun.

Barang-barang hasil kerajinan warga Desa Jagabita dan desa sekitarnya ini ditampung oleh perusahaan PT. Senyum Pesona Timur (toko Senyum 5000) milik relawan Tzu Chi bernama Harmanto Soenaga Angga atau yang akrab disapa Aliong yang bergerak di bidang ritel dan peralatan rumah tangga. Selain membantu warga, hal ini dilakukan juga sekaligus untuk memajukan UMKM di sana.

“Warga yang punya skill menganyam kerajinan dari bambu dipasarkan langsung ke toko Senyum 5000 sehingga bisa menambah pendapatan keluarga. Produk kerajinan warga Jagabita yang sudah dijual di toko Senyum 5000 juga dibawa ke Pekan Amal Tzu Chi 2025. Jadi ada kontribusi dari Jagabita untuk Tzu Chi,” ungkap Acun.

Saat berkunjung lagi ke Desa Jagabita, Acun beserta relawan Tzu Chi Tangerang lainnya juga menyempatkan mengunjungi beberapa rumah penerima bantuan. “Saya lihat sudah 10 tahun masih oke (bangunannya), ada beberapa sedikit perubahan seperti ada kanopi di depannya dengan dana swadaya sendiri. Berarti ada kemajuan dan anak-anaknya mereka juga sudah dewasa, mereka bisa membantu perekonomian orang tua. Saya bahagia karena penerima bantuan dapat berkembang dapat hidup lebih baik dan harapan saya warga Jagabita bisa lebih mandiri, serta kemajuan bisa berestafet ke hal-hal lainnya,” tutup Acun.

Editor: Metta Wulandari
Bekerja untuk hidup sangatlah menderita; hidup untuk bekerja amatlah menyenangkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -