Kisah Penerima Bantuan: Dulu Hampir Putus Sekolah, Kini Riska Sukses Menjadi Perawat

Dengan penuh percaya diri, Riska Tri Maelani bercerita tentang perjalanannya menempuh pendidikan yang didukung penuh oleh Tzu Chi dan relawan, yang sudah bagai keluarga sendiri.

Rizka, anak seorang pekerja harian lepas di Kota Bekasi, tak menyangka mimpinya kini bisa terwujud. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang amat terbatas, melanjutkan pendidikan ke Akademi keperawatan adalah angan-angan yang terlampau tinggi bagi Riska. Tapi berkat Program Beasiswa Pendidikan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Rizka mampu mewujudkan cita-citanya.

*****

Riska Tri Maelani (21) tak pernah membayangkan akan menjadi seorang mahasiswi keperawatan. Latar belakang pendidikannya di SMK adalah Administrasi Perkantoran, jurusan yang jauh dari dunia medis. Namun, hidup sering kali membawa kita ke jalan yang tak disangka, apalagi saat ujian datang.

Saat duduk di kelas 2 SMK, pandemi COVID-19 melanda. Krisis ekonomi menghantam keluarga Riska. Ayahnya, Agus Saputra, yang bekerja sebagai pekerja harian lepas di sebuah pasar, kehilangan penghasilan karena banyak toko tutup.

Sementara Riska bersekolah di sekolah swasta, dan biaya tetap berjalan. Di tengah tekanan, sang ayah sempat menyarankan Riska untuk berhenti sekolah.

“Sempat mau putus sekolah,” kenangnya. “Papa bilang, ‘Kayaknya kamu harus berhenti sekolah aja, Ris.’”

Tapi Riska menolak menyerah. Ia mencari beasiswa pendidikan lewat internet, dan menemukan informasi tentang Yayasan Buddha Tzu Chi. Ia kemudian meminta ayahnya bertanya kepada kenalan tentang Tzu Chi, hingga akhirnya mereka dipertemukan dengan Denasari, relawan Tzu Chi komunitas Bekasi.

Lewat arahan Denasari, Riska mendaftar langsung ke kantor Tzu Chi di Jakarta. Di sanalah, ia mendapat pertanyaan yang membekas: “Kamu beneran mau sekolah?” “Iya, saya mau. Saya ingin punya masa depan yang baik,” jawab Riska mantap.

Tak lama setelah mengisi formulir dan mengikuti proses seleksi, Riska diterima sebagai anak asuh Tzu Chi. Tunggakan sekolahnya langsung dilunasi, dan ia bisa kembali melanjutkan pendidikan.

Setelah lulus SMK, Riska tak langsung puas. Ia aktif bertanya soal beasiswa kuliah. Ketika ditawarkan jurusan Akuntansi, Riska merasa tidak cocok karena lemah di matematika. Ia terus mencari hingga Denasari memberi info tentang beasiswa keperawatan di Akademi Keperawatan Andalusia, Tangerang.

“Saya sempat ragu. Saya kan jurusannya administrasi. Masuk ke keperawatan, nyambung nggak ya?” pikirnya. Tapi ia mencoba.

Ia diterima dan tinggal di asrama selama tiga tahun. Keputusannya terbukti tepat. Kini, ia merasa dunia keperawatan sangat relevan dengan lingkungan tempat tinggalnya di Bekasi, yang minim tenaga medis.

“Saya ingin membantu warga sekitar, mengedukasi mereka yang masih kurang pengetahuan tentang kesehatan,” ujarnya.

Namun, jalan menjadi perawat bukanlah jalan mudah. Riska yang seharusnya menghadapi dunia perkantoran, yang identik dengan mengetik, menyusun dokumen, dan bekerja di balik meja, tapi kini ia justru harus berhadapan dengan pelajaran anatomi tubuh manusia dan istilah medis yang jauh dari bayangannya selama ini.

Denasari bangga dengan pencapaian yang telah Riska peroleh. Walaupun sempat merasa berat menjalani masa perkuliahan yang berbeda jauh dengan jurusan semasa sekolah, tapi Riska menuntaskan kewajibannya dan bisa lulus dengan nilai yang sangat baik.

Riska sempat merasa tak mampu, bahkan terpikir untuk menyerah. Tapi Denasari terus mendampingi dan memberinya semangat.

Riska mulai menyusun ulang jadwal belajar. Ia belajar lebih disiplin dan menemukan cara yang cocok dengan dirinya: menghafal sambil berdiskusi bersama teman. Ia belajar bahwa perawat tak hanya merawat fisik, tapi juga menyentuh hati pasien dengan empati dan komunikasi.

Masalah komunikasi sempat jadi tantangan tersendiri. Tapi di dunia keperawatan, ia harus bisa memahami pasien, bukan sekadar mendengarkan.

Di masa-masa terberat, dukungan orang tua dan relawan sangat berarti. Ayahnya selalu mengatakan, “Kalau kamu sudah memilih jalan itu, baik buruknya harus kamu jalani.” Saat Riska menangis karena tekanan kuliah, ia mengirim pesan kepada Denasari: “Aku nggak kuat lagi, Shigu. Aku mau berhenti.”

Tanggapan Denasari singkat tapi dalam: “Saya yakin kamu bisa. Coba diterusin ya, kan kamu juga sudah setengah jalan. Kalau kamu jadi perawat, masa depanmu akan lebih baik. Selain untuk dirimu sendiri dan membantu ekonomi keluarga, kamu juga bisa bantu lebih banyak orang. Hidupmu akan dipenuhi hal-hal baik karena kamu berbuat kebaikan.” Ucapan itu menjadi titik balik.

Pada 2021, cobaan datang lagi. Riska harus menjalani operasi usus buntu di tengah ujian kuliah. Sakit, jauh dari keluarga, dan tetap harus mengikuti ujian, semuanya menumpuk. Ia kembali merasa ingin menyerah. Tapi lagi-lagi, dukungan datang tepat waktu. Ia bertahan.

Bagi Riska, tinggal di asrama juga sangat membantu. Bersama 20 teman dari berbagai daerah, mereka saling mendukung dan menyemangati. Mereka belajar bersama, terus saling mengisi kekurangan, dan juga menjaga semangat agar semua bisa lulus dalam waktu bersama-sama.

“Kalau saya kesulitan di pelajaran anatomi, teman saya bantu. Kalau teman kesulitan bahasa Mandarin, saya yang bantu,” ceritanya.

Ayahnya pun selalu memberi dorongan, tidak memaksa tapi menguatkan: “Istirahat cukup, bisa sambil belajar, bisa sambil ujian.”

Hasilnya tak mengecewakan. Meski sempat pernah terpuruk, Riska berhasil menyelesaikan kuliah dengan IPK 3,50 dan termasuk lima besar dari 33 mahasiswa di kelasnya. Ia tak hanya membuktikan pada diri sendiri bahwa ia mampu, tapi juga menunjukkan bahwa semangat dan dukungan adalah kunci utama dalam meraih mimpi.

Dari waktu ke waktu, Denasari terus memberikan dukungan dan bimbingan kepada Riska hingga Riska sendiri merasa sudah menemukan keluarga baru yang hadir dalam setiap tantangan hidupnya.

Namun bagi Riska, pencapaian akademik bukanlah segalanya. Ia juga banyak belajar dari nilai-nilai yang diajarkan oleh Master Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi. Tiap hari, Riska menyaksikan video ajaran Master Cheng Yen di Tzu Chi Hospital sebelum mulai bekerja.

“Apa yang Master Cheng Yen ajarkan saya pegang. Terutama satu hal: perlakukan pasien seperti keluarga kita sendiri.”

Baginya, menjadi perawat bukan hanya tentang ilmu medis, tapi juga tentang kelembutan, empati, dan ketulusan dalam melayani. Ia percaya, pasien akan lebih cepat sembuh jika hatinya juga ikut dirawat.

Di akhir ceritanya, Riska memberi pesan pada para penerima beasiswa yang sedang menempuh pendidikan: “Percaya aja, apa yang kita lalui pasti akan berbuah baik. Tuhan sudah punya jalan-Nya sendiri. Jangan pernah mundur dari apa yang sudah kita mulai. Dan sebisa mungkin cari cara agar bisa terus melangkah ke depan.”

Riska sendiri belum selesai bermimpi. Ia ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 di Taiwan, sambil mendalami bahasa Mandarin yang kini sedang ia pelajari. Harapannya, ia bisa kembali ke Indonesia dengan ilmu baru dan membawa perubahan bagi dunia medis, khususnya di Tzu Chi Hospital.

“Kalau saya tahu bagaimana dunia medis berkembang di luar, saya bisa membawa perubahan baik untuk negeri kita sendiri.”

Impian Riska bukan semata untuk dirinya sendiri. Di balik cita-citanya, ada niat tulus untuk memberi kembali. Dan mungkin, di situlah letak kekuatan terbesarnya.

Teks: Anand Yahya
Fotografer: Anand Yahya, Dok. Pribadi
Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -