Meringankan Penderitaan dengan Welas Asih dan Kebijaksanaan

Ketulusan hati relawan Tzu Chi memberikan kekuatan yang menjadi dukungan moril yang dirasakan begitu hangat oleh keluarga Maladia Manalu.

Banyak orang memanfaatkan penderitaan Maladia Manalu hanya untuk mencari nama baik hingga akhirnya ia sempat tak percaya akan orang di sekelilingnya. Ia pun menjadi keras hati. Namun bertemu dengan relawan Tzu Chi membuatnya paham bahwa cinta kasih yang tulus betul-betul ada. Sedikit demi sedikit, jiwanya merasakan sentuhan hangat keluarga Tzu Chi hingga akhirnya ia mau menerima Tzu Chi dalam meringankan bebannya saat merawat Isden Sinaga, suaminya.

*****

Dalam salah satu ceramahnya, Master Cheng Yen berkata bahwa “Penyakit merupakan sumber kemiskinan. Orang yang menderita penyakit tidak akan mampu mencari nafkah, dan orang yang kaya pun bisa jatuh miskin jika digerogoti penyakit.” Hal tersebut kerap terjadi dalam kehidupan manusia.

Seperti yang dialami oleh penerima bantuan Tzu Chi, pasangan suami istri, Maladia Manalu (58) dan Isden Sinaga (Alm) yang tinggal di Jl. TelagaRiau, Kec.Karimun, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Kehidupan mereka yang sederhana tidak memiliki anak, dan finansial juga terbatas. Kesederhanaan ini berubah secara tiba-tiba ketika sang suami menderita stroke pada tahun 2010 yang mengakibatkan kebebasan beraktivitas keluarganya menjadi terganggu. Sejak saat itu, sang istri dengan hati yang penuh cinta, menjadi pilar keluarga dan berkomitmen untuk merawat sang suami.

Kondisi sang suami yang mengalami stroke membuat ekonomi keluarga mereka menjadi terpuruk. Maladia harus mencari nafkah sebagai tukang bersih-bersih rumah. Pekerjaan ini tidak memberikan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Setiap bulan, ia hanya mendapatkan penghasilan sebesar 300 hingga 500 ribu. Namun pekerjaan ini sangat fleksibel dan cocok baginya karena hanya bekerja paruh waktu sehingga ia bisa kembali ke rumah dalam waktu beberapa jam untuk merawat sang suami yang kesulitan dalam melakukan aktivitas.



Hari demi hari Maladia Manalu melawan kelelahan fisik dan emosional untuk merawat suaminya. Berbagai pihak mulai bermunculan memberikan janji manis untuk membantu namun tidak pernah ada yang terwujud (atas). Hingga pada tahun 2018, relawan Tzu Chi hadir untuk meringankan beban ekonomi keluarga mereka. Bantuan yang diberikan berupa beras, uang santunan, biaya pengobatan dan popok dewasa (bawah).

Tidak hanya menjadi tulang punggung keluarga, ia juga harus menjadi perawat yang setia selama bertahun-tahun lamanya. Ia mempelajari terapi fisik dari dokter demi membantu sang suami untuk pulih. Selama bertahun-tahun merawat sang suami, kulitnya berubah menjadi coklat legam. Namun malah kulit sang suami menjadi halus dan merona karena kesungguhannya dalam merawat.

Hari demi hari, ia melawan kelelahan fisik dan emosional. Ia menolak semua rasa putus asa yang mengintainya. Perhatian dari berbagai pihak juga mulai bermunculan, mereka menunjukan rasa iba, “merekam” kehidupan mereka, memberikan harapan akan mensejahterakan mereka, tetapi semua itu hanya janji-janji manis. Ia kecewa seakan- akan kondisi keluarga mereka dieksploitasi untuk tontonan khalayak ramai. Keadaan ini membuatnya menjadi pribadi yang keras, berpikir tidak akan lagi membuka hatinya dan mempercayai janji-janji manis dari siapapun lagi.

Hingga pada tahun 2018, relawan Tzu Chi mengunjungi mereka, awalnya ia amat kesal dengan kedatangan relawan dikarenakan tidak butuh iba dari pihak manapun, ia tidak perlu dikasihani, lagipula pasti relawan-relawan ini sama saja dengan yang sebelumnya, hanya memberikan harapan palsu. Namun relawan Tzu Chi berhasil membuktikan yang sebaliknya, para relawan merangkulnya dan memberi dukungan layaknya sebagai sahabat, atau bahkan keluarga, sesuatu yang selalu ia dambakan. Bantuan yang diberikan Tzu Chi kepada keluarganya berupa beras, uang santunan, biaya pengobatan dan popok dewasa.

Relawan Tzu Chi yang menangani kasus ini sejak awal merasa empati dengan kondisi keluarga ini. Walaupun sempat ditolak, namun ketulusan relawan membawa jalinan jodoh yang baik.

“Pada waktu itu saya percaya dan terus berdoa kepada Tuhan. Rupanya inilah jalan yang terbuka biar saya bisa merasa agak ringan sedikit. Kalau dipikir-pikir dari kehidupan saya sehari-hari, memang saya tidak bisa membiayai suami saya. Sebab, yang dibutuhkan suami saya tidak hanya makan, tetapi juga popok, dan kalau gatal badannya, harus beli bedak dan pakai obat lagi. Sungguh luar biasa perasaan saya, makanya saya mengucap syukur dan berdoa semoga sukses yayasan (Tzu Chi) ini,” ungkap Maladia Manalu sembari menangis terenyuh.

Sukmawati (51) relawan Tzu Chi yang menangani kasus ini sejak awal merasa tersentuh dengan kondisi keluarga ini saat melakukan survei ke rumah. Walaupun tidak disambut baik oleh Maladia, dengan cinta kasih, relawan perlahan-lahan membuka pintu hatinya.

“Saat kita survei, kita sudah melihat kondisi mereka. Kita sangat terharu dan mempertimbangkan bahwa ini memang sangat layak untuk dibantu. Bapak Isden Sinaga tidak punya anak, terus memang tidak ada yang mencari nafkah sama sekali, kecuali Ibu Maladia. Ia terkadang dipanggil untuk kerja oleh tetangga, bantu masak saja. Benar, awal kita ke rumah beliau, tidak ada senyumnya. Perlahan-lahan kita dekati, lalu ajak ngobrol, terus kita rutin berkunjung seperti keluarga. Kadang kita peluk beliau, kadang kita juga bercanda tawa bersama,” ungkap Sukmawati.

Pada tahun 2020, suami Maladia berpulang ke sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Kepergian sang suami meninggalkan kesedihan mendalam baginya. Di setiap kunjungan, relawan selalu memberikan perhatian kepada Maladia agar tidak terus larut dalam kesedihan. Akhirnya, ia mulai mencari aktivitas untuk mengalihkan pikirannya dengan menanam sayuran yang banyak dan subur di depan halaman rumah. Hasil panen pun dijual kembali untuk memenuhi kebutuhan pokok sehariharinya. Relawan turut membantu menjualkan hasil panennya. Atas persetujuan Maladia, relawan menyisihkan Rp 5.000 per kilo dari hasil penjualan untuk didonasikan ke Tzu Chi dengan niat membantunya menanamkan benih kebajikan dalam membantu sesama yang membutuhkan.

Pada tahun 2020, suaminya berpulang ke sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, kepergian sang suami meninggalkan kesedihan mendalam baginya. Untuk mengalihkan pikiran atas kepergian sang suami, ia mulai mencari aktivitas dengan menanam sayuran yang banyak dan subur di depan halaman rumah.

“Aku berdoa, tunjukan (jalan) Tuhan, saya sudah pasrah. Tetapi itulah mukjizat Tuhan, yayasan (Tzu Chi) membantu sampai sekarang. Makanya suami saya bisa dibawa untuk berobat, bisa saya urus sampai bagusbagus, sampai sepuluh tahun sakit. Jadi Puji Tuhan, yayasan inilah yang kurasa yang paling banyak berkorban buat keluarga aku, sampai dia meninggal bahkan sampai sekarang, memang luar biasa yayasan (Tzu Chi) ini,” ungkap Maladia sembari menangis terenyuh.

Langkah pertama Tzu Chi dimulai dari misi amal dengan berpedoman pada ajaran dan niat luhur Buddha yaitu, welas asih kepada sesama tanpa harus sedarah serta sependeritaan dan sepenanggungan, dan menjunjung tinggi komitmen demi ajaran Buddha, demi semua mahkluk yang diamanatkan oleh Master Yin Shun, guru dari Master Cheng Yen.

Master Cheng Yen menyadari bahwa niat baik harus diwujudkan dengan berbuat baik pada sesama. Rasa empatinya pada orang-orang miskin dan menderita, membuat beliau bertekad untuk berbuat sesuatu demi membantu mereka.

Tzu Chi tidak hanya mengutamakan pemberian bantuan dan keberhasilan bantuan saja, namun lebih memperhatikan motivasi kemampuan bajik setiap manusia. Menginspirasi yang mampu untuk menolong yang kurang mampu artinya berupaya agar orang yang mampu merasakan sukacita karena bersumbangsih, serta belajar membantu yang kurang mampu dengan bersumbangsih hingga memperoleh makna dalam kehidupannya.

Hal ini menjadi pedoman bagi relawan, Sukmawati (51) dalam menangani setiap kasus penerima bantuan Tzu Chi. “Mungkin dia sudah kecewa sama siapapun yang datang. Awalnya kita tidak tahu, kog muka ibu ini serem banget. kebetulan, mungkin kita sudah biasa menangani kasus seperti ini, intinya hati kita harus tulus biar mereka juga merasakan ketulusan kita. Setiap mau survei kasus, kita harus memilki rasa welas asih dan empati terhadap setiap kasus yang kita kunjungi,” ungkap Sukmawati.

Teks & Foto: Beverly Clara (Tzu Chi Tanjung Balai Karimun)
Hadiah paling berharga di dunia yang fana ini adalah memaafkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -