Mewariskan Dharma, Memperpanjang Jalinan Cinta Kasih


Lagu-lagu berisi rangkaian Sutra mengalun merdu di Aula Jing Si beriringan dengan ratusan gerakan isyarat tangan yang gemulai namun mempunyai kekuatan. Kekompakkan, keharmonisan, kegigihan, ketulusan, dan kesabaran tercermin dalam setiap sisi membuat Persamuan Dharma adaptasi Sutra ini terdengar merdu di telinga, terlihat indah di mata, dan menyentuh di lubuk hati.

*****

Pemberkahan Akhir Tahun 2022 mengambil tema Berbuat Baik Dengan Welas Asih Mendatangkan Berkah, Membawa Diri Dengan Kebijaksanaan Mewariskan Nilai Luhur Bagi Keluarga dan menampilkan Persamuan Dharma Adaptasi Sutra berjudul Persamuhan Dharma di Puncak Burung Nasar Tidak Pernah Berakhir. Ada 500 relawan yang tampil dalam setiap sesinya sehingga dalam dua hari ada 1.000 relawan Tzu Chi yang menampilkan adaptasi Sutra ini.

Rasa sukacita yang melebihi kebahagiaan terpancar dari tatapan berbinar setiap relawan yang datang pada Sabtu dan Minggu, 10 dan 11 Desember 2022 lalu. Walau belum terlalu lega dengan akan sukses atau tidaknya penampilan mereka, tapi inilah yang mereka rindukan: rasa berdebar di belakang panggung juga rasa mulas di dalam perut ketika menanti penampilan besar mereka.

Lim Ai Ru: Ada Kisah di Balik Penampilan Memukau
“Ini adalah perjalanan yang panjang sekali,” kata Lim Ai Ru, PIC sekaligus sutradara Adaptasi Sutra. Relawan senior Tzu Chi Indonesia ini menuturkan bahwa ia sempat khawatir ketika menerima tanggung jawab untuk menampilkan Adaptasi Sutra dalam Pemberkahan Akhir Tahun, namun ia juga punya keyakinan bahwa Tzu Chi Indonesia mampu.


“Inti dari Persamuhan Dharma ini adalah, kami diajak menghayati kembali pembabaran Dharma oleh Buddha 2.500 tahun lalu di Puncak Burung Nasar,” tutur Ai Ru. “Dalam kesempatan kali ini ada beberapa bagian yang kami bawakan, terutama bagian Sutra Makna Tanpa Batas yang adalah intisari Sutra Teratai yang menjadi pedoman penting bagi Tzu Chi,” lanjut Ai Ru.

Ai Ru memaparkan Sutra ini mengajarkan relawan bahwa di Jalan Bodhisatwa ini, mereka harus membangkitkan keyakinan akan keluhuran para Buddha dan Bodhisatwa. Selain yakin, relawan juga berikrar untuk menerima dan mempraktikkan ajaran. “Ajaran ini isinya adalah bahwa semua makhluk mempunyai benih kebajikan di dalam hati. Jadi, selain membimbing diri sendiri, kita juga harus menginspirasi orang lain. Sesuai ikrar ini, kita harus menjalankan praktik secara nyata di tengah masyarakat, baru bisa mencapai hasil yang diharapkan,” jelasnya.

Dengan Dharma yang maknanya mendalam, persiapan pementasan Persamuhan Dharma adaptasi Sutra ini pun digodok begitu seriusnya dalam waktu yang lumayan panjang. Persiapannya sendiri memakan waktu tujuh bulan untuk mengumpulkan 1.000 relawan, menerjemahkan materi Sutra, melakukan bedah Sutra atau bedah buku, menyesuaikan formasi, dan berlatih ratusan gerakan isyarat tangan 13 lagu adaptasi Sutra dan 2 lagu (Gatha Pembuka dan Doa).

Tahun ini, relawan juga membentuk formasi berupa kapal, ombak, dan riak-riak di lautan yang mana merupakan interpretasi dari Dharma (kapal) yang dibabarkan oleh Buddha bertujuan untuk menyeberangkan umat manusia ke daratan – pantai bahagia.

“Kami berharap para peserta dalam formasi dan penonton juga menyadari bahwa Sutra itu bisa dipahami melalui berbagai media dan bisa lebih mudah diserap serta dimengerti,” harap Ai Ru.

Sepanjang tujuh bulan, Lim Ai Ru dan tim melatih seluruh relawan yang menjadi bagian dari Persamuhan Dharma Adaptasi Sutra Makna Tanpa Batas dimana ada 500 orang relawan yang tampil setiap sesinya.

Ai Ru mencontohkan salah satu relawan yang memberikan sharing bahwa ketika selesai latihan, karena dia adalah orang yang sangat sibuk, dia baru menyadari bahwa ‘oh… Sutra Makna Tanpa Batas itu bisa dimengerti dan dihayati dengan mudah ketika dilagukan.’

“Kalau baca Sutra kan tebal dan mungkin membosankan, baru membaca berapa halaman saja sudah mengantuk. Tapi ternyata dari lagu, relawan ini lebih mudah paham dan mengerti,” ungkap Ai Ru. “Jangankan orang luar (masyarakat umum), relawan yang sangat sibuk begitu, yang tidak sempat ikut bedah buku, dengan persamuhan ini, dia menjadi paham dengan isi Sutra. Jadi melalui penampilan ini, relawan juga membabarkan Dharma, mewariskan ajaran Buddha. Semoga para penonton mampu meresapinya juga,” lengkapnya.

Menjadikan Kendala untuk Menempa Diri
Dalam persiapan yang begitu panjang, Ai Ru bercerita banyak sekali kendala yang dihadapi. Salah satunya adalah mengumpulkan peserta. “Karena awalnya persamuhan itu dijadwalkan di bulan Juli lalu mundur sampai Desember, ternyata di tengah-tengah itu, banyak peserta yang mengundurkan diri karena sudah ada jadwal akhir tahun masing-masing. Akhirnya ya kita ulang lagi dari awal,” cerita Ai Ru.

Tapi di tengah itu semua, Ai Ru sangat salut dengan peserta yang semangatnya juga luar biasa. Terlebih kepada mereka yang usianya tak lagi muda. Seperti seorang relawan yang mengalami cedera otot bagian lutut dan sempat tidak bisa berjalan hingga harus pergi ke dokter untuk mendapatkan perawatan. “Tapi minggu depannya, dia sudah ikut latihan lagi. Saya salut sekali,” ungkap Ai Ru.

Tak mudah untuk menyamakan gerakan Adaptasi Sutra dari ratusan relawan, terlebih dengan kendala bahasa dan juga penyusunan formasi kapal, ombak, dan riaknya.

Ai Ru pun ingin mengungkapkan terima kasih kepada suaminya (Hardiman Tiang) yang dalam waktu yang panjang ini sangat pengertian dan memahami kesibukan Ai Ru dan tim dalam menyiapkan Persamuhan Dharma. Ia pun sejak lama sudah mewanti-wanti sang suami untuk tidak pergi travelling dulu karena harus focus.

“Untung shixiong (suami) relawan Tzu Chi juga. Kalau nggak, wah… bisa complain,” tuturnya tertawa, “di awal latihan malah saya harus full 1 hari setiap Minggu karena paginya susun ppt dulu baru sorenya kasih latihan dan ngajarin peserta. Dalam tujuh bulan ini, saya bisa hitung pakai jari berapa kali kita nggak ada latihan. Pertama dan kedua itu pas ada training relawan dan yang ketiga karena ada kegiatan pindapatta.”

Ai Ru juga bersyukur bisa mengajak tim (24 relawan) untuk bersama-sama menjadi tim isyarat tangan. Kalau tidak, ia mengaku tidak sanggup menyiapkannya sendiri. Dengan adanya tim, mereka bisa membantu mengatur ritme latihan hingga membantu menyelesaikan PPT. Bagi Ai Ru, ini juga salah satu wujud mewariskan semangat Bodhisatwa ini kepada yang muda.

“Jadi yang tadinya sempat ragu dan khawatir untuk menampilkan persamuan Dharma ini, sekarang perasaan itu sudah hilang berganti dengan rasa sukacita, sangat happy, sangat terinspirasi juga karena relawan pun menyambut dengan baik sekali,” tuturnya.

Surya Kheng: Hidup Manusia Saling Berkait
Sekitar bulan Mei 2022, Surya Kheng mengajak meeting membahas Persamuhan Dharma. Saat itu juga sudah ada beberapa relawan yang dipilih untuk menjadi PIC (penanggung jawab), termasuk dirinya yang kemudian dipercaya sebagai PIC di bagian panggung.

Untuk persiapan latihan terbilang cepat, di awal meeting Persamuhan Dharma dijadwalkan akan dilakukan bulan Juli, jadi latihan tidak lebih dari tiga bulan. “Kami (panitia) segera menyusun time table latihan seminggu sekali di hari Minggu. Namun akhirnya Persamuhan Dharma dijadwalkan mundur ke bulan Desember 2022,” jelas Surya.


Sebagai PIC dan penanggung jawab formasi, Surya Kheng dan tim belajar dari berbagai video tutorial yang disediakan oleh Guru di Taiwan (via Youtube). Dari hasil pembelajaran ini kemudian disesuaikan lagi dengan kondisi formasi dan lapangan. “Istri saya (Surianti) juga ikut terlibat sebagai pengajar di grup AB,” katanya

Mempersiapkan kegiatan sebesar ini tentu tidak mudah. Ada banyak tantangan yang mereka hadapi agar Persamuhan ini bisa berjalan dengan baik, khidmat, dan menyatu dalam gerakan sesuai dengan yang diceritakan oleh Ai Ru.

Di panggung, panitia menargetkan 92 orang peserta, yang terdiri dari satu kapal besar dan dua kapal kecil. Untuk itu mereka meminta masing-masing He Qi mencari relawan untuk menjadi peserta. Mereka kemudian membuat tutorial dalam bentuk PPT untuk menyeragamkan gerakan.

“Tantangan yang ketiga adalah sulitnya mengumpulkan peserta untuk mengikuti latihan secara lengkap sehingga kita membuat video hasil latihan agar bisa di-review oleh peserta yang berhalangan hadir, sekaligus sebagai review peserta latihan untuk perbaikan gerakan yang masih salah atau telat hadir sehingga belum seragam (masih salah gerakannya),” papar Surya.

Belum lagi mereka juga memberikan latihan eksra (private) kepada peserta yang terlambat hadir atau yang gerakannya masih ketinggalan (belum sempurna) sehingga pada akhirnya semua bisa seragam.

Dan terakhir, kendala dan tantangan yang ia hadapi adalah adanya peserta yang mengundurkan diri dari formasi Persamuhan Dharma ini. Alasannya beragam, mulai dari yang karena pekerjaan (dinas luar kota), sakit, jadwal kuliah dan lainnya sehingga mempengaruhi formasi yang sudah dibentuk. Otomatis barisan formasi sering ikut berubah menyesuaikan dengan jumlah peserta.

Dengan persiapan yang matang, tim yang solid, serta peserta Adaptasi Sutra yang teguh dan bekerja keras, penampilan Persamuhan Dharma tersebut dapat berlangsung dengan lancar.

Selain kendala dan tantangan, yang membuatnya sangat terkesan dalam mempersiapkan Persamuhan Dharma ini adalah kekekompakan setiap tim baik tim AB, C, dan Panggung menunjukan semangat He He Hu Xie untuk saling bekerja sama satu sama lain demi menyempurnakan Persamuhan Dharma ini.

Tentu banyak suka duka selama persiapan Persamuhan Dharma ini. Bagi Surya, hal yang paling mengembirakan adalah ketika video hasil latihan para PIC dan pengajar gerakan (benih) lolos QC oleh Ci Yue Shigu (relawan Tzu Chi Taiwan) sebagai koordinator utama seluruh Persamuhan Dharma ini.

Mengemban tanggung jawab sebagai PIC membuat Surya banyak belajar dan lebih memahami kata Master Cheng Yen, bahwa setiap mahkluk di dunia hidup saling mempengaruhi satu sama lain. “Dulu kalau ada relawan yang sakit mungkin saya akan berpikir, ‘oh... karmanya lagi berbuah,’ seolah-olah itu tidak ada hubungan dengan saya. Melalui Persamuhan Dharma ini bila ada peserta yang tiba-tiba info sakit seperti positif Covid-19 dan lainnya, saya tidak semata-mata berpikir karmanya lagi berbuah, tapi sebaliknya karma saya yang lagi berbuah karena saya harus memikirkan pengaruh bagi formasi barisan, dan lainnya,” ungkapnya.

Usman Sutanto: Membagi Pengalaman Berarti
Menjadi satu dari ratusan relawan yang ikut dalam persamuhan, Usman Sutanto awalnya mengaku sangat sulit mendalami Sutra. Namun, setelah mengikuti Xun Fa Xiang (Harumnya Menghirup Dharma) setiap pagi, Usman mulai mengerti. “Dalam persamuhan ini, kita bisa melihat Gatha Wu Liang Yi Jing ini sangat lengkap, saya sendiri bersama Tio Mei Hui (istri) harus ikut dalam persamuhan Dharma ini,” kata Usman, yang terus bertekad untuk menyelami Sutra ini dan mempraktikkan dalam kehidupan keluarga, juga bermasyarakat.


Ketika kendala pertama terlewati, kendala lain pun timbul dimana ia sampai harus ke dokter untuk mengatasi kendalanya. “Dalam satu sesi latihan, dalam satu gerakan, posisi kaki saya tidak di posisi yang tepat sehingga menyebabkan ototnya ketarik, sakit luar biasa. Sepulang latihan, malam sampai pagi itu bagian lutut itu sakit sekali sampai saya cek ke dokter,” ungkap Usman.

Dokter menasihatinya, bahwa apabila ingin melakukan gerakan, ia harus lebih dulu stretching (peregangan). Usman juga harus memastikan posisi kaki terletak sesuai dengan kuda-kuda. “Ketika dokter tahu kalau latihan saya masih sangat panjang, dia kasih nasihat itu. Dokter membekali obat dan kembali bisa latihan di minggu depannya, dan itu sakitnya bisa 4 hari baru berasa enak lagi,” ungkap Usman.

Dari pengalaman itu, Usman berbagi kepada teman-teman relawan tentang hal yang harus dihindari ketika mengambil posisi sehingga mereka tidak mengalami otot tertarik seperti yang ia rasakan. Namun begitu, ketika mengalami rasa sakit itu, Usman sama sekali tidak berniat untuk berhenti dalam formasi persamuhan. “Makanya saya langsung ke dokter sehingga keadaan saya cepat membaik,” tuturnya.

Lo Hoklay dan Lie Fa Li: Wujud Saling Menghormati
Apabila beberapa relawan yang sempat terkendala dengan kondisi dalam peregangan otot karena latihan isyarat tangan, berbeda dengan pasangan Lo Hoklay dan Lie Fa Li. Walaupun sudah tak muda lagi, pasangan relawan ini merasa tidak ada menemukan kendala-kendala tersebut. Di usianya yang kini sudah menginjak 64 tahun, Hoklay mengaku masih sering melakukan olahraga berupa lari pagi di sekitaran komplek rumah maupun di lingkungan lapangan olahraga seperti Gelora Bung Karno. “Kendala pribadi mungkin lebih ke ketika melawan rasa malas kalau harus latihan lagi di rumah,” tutur Hoklay tertawa.


Sementara itu sang istri, Lie Fa Lie yang 3 tahun lebih tua darinya (67 tahun), juga tak menemukan kendala yang berarti. “Memang saya memakai bantuan busa di lutut karena semua relawan ditawari untuk pakai (bantuan busa) kalau kesulitan dan sakit. Nah karena itu (busa), saya jadi enak gerak dan atur posisi kaki,” jelas Lie Fa Lie.

Dari tujuh bulan latihan ini, keduanya pun tak pernah absen karena merasa mempunyai tanggung jawab sekaligus ingin mendalami Dharma yang ada dalam Sutra yang mereka tampilkan.

Lo Hoklay dan Lie Fa Li berkomitmen terus hadir pada setiap sesi latihan karena dengan hadir sama saja menghormati ratusan peserta yang lain.

Bagi Lie Fa Lie, Dharma yeng teruntai melalui lagu-lagu tersebut sangat bagus dan bermanfaat untuk melatih diri menjadi semakin sabar, harmonis, dan kompak. Melalui setiap kehadirannya dalam latihan pun, adalah wujud menghormati seluruh relawan satu sama lain termasuk PIC latihan.

“Kehadiran kami juga adalah wujud gan en kepada seluruh PIC karena begitu sungguh hati dan sabar mengajarkan kami berbagai gerakan dalam Persamuhan Dharma ini. Makanya setiap minggu saya berusaha datang supaya bisa tampil kompak dan rapi,” papar Lie Fa Lie.

Elly dan Juwenny Winarta: Melampaui Keterbatasan
Harapan serupa juga diungkapkan oleh pasangan ibu dan anak, Elly (46) dan Juwenny Winarta (22). Keduanya juga sangat antusias ikut dalam formasi ini dengan harapan apa yang mereka tampilkkan benarbenar bisa mengena di hati para penonton. Ia juga ingin apa yang disampaikan melalui lagu dan Sutra bisa menyentuh setiap orang sehingga bisa ikut tergerak untuk bersumbangsih pada sesama.


Walaupun sempat mundur dari formasi karena alasan jadwal penampilan yang saat itu bertabrakan dengan jadwal menengok keluarga di Medan, namun jalinan jodoh membawa mereka tetap bisa ikut mendalami Dharma ini. Elly pun tak ingin meninggalkan kesempatan baik tersebut dan mengajak anaknya yang mempunyai keterbatasan (autism) untuk ikut serta.

“Sebenarnya ketika mengajak Juwenny untuk ikut dalam persamuhan, awalnya terasa ada sedikit kekhawatiran karena takutnya Juwenny tidak bisa fokus dan nggak bisa lama melakukan sesuatu hal, susah khusyuk,” tutur Elly. Menurut Elly, Juwenny kerap kali ingin berdiri, berjalan, dan juga gelisah. “Tapi saya tanya langsung sama anaknya, ‘Juwenny bisa nggak untuk fokus dan berdiam diri?’ dia jawabnya mau,” imbuh Elly. Walaupun berada di formasi berbeda dengan ibunya, ternyata Juwenny juga bisa konsisten dengan jawabannya yang ingin ikut dan bisa fokus dalam persamuhan.

“Melihat Juwenny mampu ikut aba-aba itu rasanya senang sekali. Rasanya semua jalan yang memang kami inginkan itu lancar, seperti semua pintu terbuka,” kata Elly, “saya juga terbantu dengan teman-teman relawan dari satu komunitas He Qi Pusat dan ada juga teman sekolah saya dulu yang mau ikut persamuhan juga dan menemani Juwenny di grup C itu.”

Khidmat dan penuh makna, Persamuhan Dharma Adaptasi Sutra diikuti oleh relawan dari berbagai komunitas termasuk di dalamnya Elly dan Juwenny Winarta, anaknya yang mempunyai keterbatasan.

Elly pun salut dan bangga pada anak pertamanya itu karena ternyata Juwenny menghafal 13 lagu yang ada, ditambah lagu Gatha Pembukaan dan doa, beserta isyarat tangannya dengan baik. Malahan Elly yang tekun menghafal, masih saja merasa susah, sedangkan Juwenny sedikit melihat langsung hafal dengan cepat. “Saya bilang, di antara kekurangannya pasti ada kelebihannya. Ternyata di dalam sini dia sangat fokus,” ungkapnya bahagia, “saya sangat salut dan bangga karena apa yang saya khawatirkan tidak muncul sehingga saya pun merasa sangat tenang. Dia pun sangat tekun dan perasaan saya sangat bahagia.”

Teks: Tim Redaksi
Foto: Dok. Zhen Shan Mei Tzu Chi Indonesia
Hakikat terpenting dari pendidikan adalah mewariskan cinta kasih dan hati yang penuh rasa syukur dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -