Rumah Sopan, Sebuah Oase di Tengah Kepadatan Kota


Di tengah hiruk pikuk Kota Bekasi, keberadaan Rumah Sopan bagai oase yang menawarkan ketenangan, keasrian, dan udara yang segar. Rumah sopan adalah harmoni antara manusia dan lingkungan.

*****

Perintah untuk merawat bumi ada dalam setiap agama dan keyakinan. Dalam ajaran Buddha, Buddha mengajarkan penghormatan terhadap semua bentuk kehidupan dan menghindari tindakan yang menyebabkan kerusakan pada alam. Karma juga berperan di mana tindakan merusak alam membawa konsekuensi buruk bagi individu dan masyarakat.

Dalam Islam, menjaga bumi dan alam adalah tanggung jawab umat manusia sebagai khalifah atau pemimpin di bumi. Banyak ayat dalam Al-Qur’an dan hadis mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan alam, melestarikan lingkungan, dan tidak merusak bumi.

Di Kristen, menjaga bumi dianggap sebagai tanggung jawab yang diberikan Tuhan pada umat manusia. Dalam Kitab Kejadian (1:28), Tuhan memberi mandat pada manusia untuk memelihara bumi. Ini dilihat sebagai panggilan untuk merawat ciptaan Tuhan dengan penuh tanggung jawab dan kasih.

Setiap inci lahan di Rumah Sopan dipenuhi dengan tanaman yang tidak hanya mempercantik, tapi juga berfungsi sebagai penyaring polusi udara.

Dalam Hindu, bumi sering dianggap sebagai Dewi (Bhu Devi) yang harus dihormati dan dilindungi. Banyak ajaran Hindu yang mengajarkan pentingnya keselarasan dengan alam dan keberlanjutan lingkungan. Konsep Ahimsa atau tidak menyakiti juga diterapkan dalam menjaga alam agar tidak rusak.

Secara umum meski setiap agama pendekatan dan penekanannya sedikit berbeda, namun prinsip dasar untuk menjaga dan merawat bumi sebagai amanah dari Tuhan adalah hal yang universal. Sayangnya masih banyak orang mengabaikan hal ini, bahkan melakukan hal-hal yang justru merusak bumi.

Keberadaan Rumah Sopan
Di bilangan Jatimakmur, Pondok Gede, Bekasi terdapat sebuah rumah tinggal yang diberi nama Rumah Sopan. Pemiliknya Bernama Sony Teguh Trilaksono, seorang dosen dan penggiat lingkungan.

Sopan adalah akronim dari Seni, Olahraga, Pendidikan, Akhlak, dan Niaga. Tidak hanya sekadar menjadi tempat percontohan, Rumah Sopan juga menjadi wadah bagi orang-orang yang ingin belajar dan berpartisipasi dalam gerakan pelestarian lingkungan. Setiap orang yang datang untuk mengikuti pelatihan atau konsultasi akan menjadi bagian dari komunitas yang didorong untuk mengimplementasikan solusi lingkungan di rumah mereka masing-masing.

Mengunjungi Rumah Sopan, kesan pertama yang muncul adalah suasana rindang yang begitu menenangkan.

Berbeda dengan kebanyakan rumah di perkotaan yang cenderung minim ruang terbuka hijau, Rumah Sopan dikelilingi berbagai pohon besar dan tanaman subur. Tanah seluas 1.500 meter persegi, Sony manfaatkan secara maksimal, dengan hanya 500 meter persegi untuk bangunan rumah. Sisanya untuk penghijauan.

Pohon-pohon besar seperti durian dan rambutan tumbuh subur, menciptakan naungan alami yang membuat suasana di sekitar rumah terasa sejuk dan nyaman meski di tengah cuaca panas. Ini juga membuktikan bahwa tanaman yang biasanya hanya bisa tumbuh di hutan pun bisa berkembang dengan baik di lingkungan perkotaan jika diperlakukan dengan benar.

“Jadi tanah penyuburannya saya pakai biopori dan sumur resapan, jadi semua air yang ada di rumah saya itu saya masukkan ke bawah pakai sumur resapan,” jelasnya.

Dengan memanfaatkan biopori, rumah ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menjadi tempat yang mendukung keberagaman mikroorganisme tanah yang sehat, seperti cacing dan rayap, yang berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanah.

Biopori adalah pengolahan tanah dengan cara melubangi tanah dan memasukkan sampah organik ke dalamnya. Proses ini membantu mendukung kehidupan mikroorganisme dalam tanah yang sangat penting untuk menjaga kesuburan tanah.

Mengedukasi Masyarakat
Bermula dari aktif di organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala), Sony muda menyaksikan kerusakan alam yang semakin parah. Ia pun terdorong untuk mengabdikan diri dalam upaya pelestarian lingkungan.

“Lingkungan itu ada tiga masalah; pertama udara, yaitu pencemaran udara. Lalu masalah tanah berupa kerusakan tanah, kesuburan tanah hilang. Yang ketiga masalah air, seperti pencemaran kali, laut. Di kota-kota terjadi tiga unsur itu yaitu udara, tanah, dan air. Tiga unsur inilah yang di Indonesia sekarang ini rusak dan makin rusak,” ujarnya.

Rumah Sopan menjadi tempat lahirnya berbagai solusi untuk masalah sampah, terutama sampah organik, salah satunya pengomposan.

Meskipun latar belakangnya bukan ilmu lingkungan, karena ia mendalami berbagai macam hal, ia pun mengajar di IPB, Sekolah Ilmu Lingkungan UI, dan Universitas Brawijaya, berkat pengalamannya.

“Pengalaman saya itu konservasi, pelestarian lingkungan perkotaan. Jadi bukan pelestarian lingkungan di hutan, enggak. Tapi bagaimana melestarikan lingkungan di kota, namanya konservasi lingkungan perkotaan,” terang Sony.

Bagi Sony, konservasi lingkungan perkotaan bukan sekadar teori, melainkan sesuatu yang harus dipraktikkan langsung. Seperti yang sudah ia praktikkan di Rumah Sopan.

Di banyak rumah tangga, sampah organik sering kali dianggap masalah besar, namun melalui pengelolaan yang tepat, sampah organik bisa diubah menjadi kompos yang berguna. Dengan biopori, sampah organik dimasukkan dalam tanah dan diolah oleh mikroorganisme. Bahkan, sejak 2005, Sony tidak pernah membuang sampah keluar rumah karena semua sampahnya sudah terkelola dengan baik.

Rumah Sopan seolah tak pernah berhenti berdenyut dengan aktivitas yang memadukan semangat pelestarian lingkungan dengan edukasi bagi masyarakat luas.

“Sampah di dapur itu kan paling banter sehari itu 0,6 kilo rata-rata di Jakarta. Sedangkan biopori kita itu isinya 10 kilo, jadi kapan penuhnya? Saya mulai ide masukin sampah-sampah daun-daun, dari 2005 sampai sekarang itu berapa tahun? Sudah 20 tahun kan? Saya tidak pernah buang sampah keluar,” jelasnya.

Sony juga mengembangkan konsep bank sampah, tempat bagi masyarakat untuk mengelola sampah plastik dan organik secara terpisah. Sampah plastik yang terkumpul kemudian dijual ke pihak ketiga, sementara sampah organik diproses menjadi kompos.

“Jadi masalah tanah itu sumur resapan dan biopori, polusi saya kurangi dengan tanaman. Paling tidak rumah saya itu polusinya tertahan, debu-debu tertahan oleh pohon-pohon. Lalu air saya masukkan ke tanah. Kalau lagi panas banyak penduduk atau teman, atau warga minta air ke sini. Di sini kan penuh air, dan saya bangun rumah ini, ini kontur asli, saya tidak rusak apa-apa. Saya ikuti saja konturnya. Naik turun, jadi tidak merusak alam dan lingkungan, karena perusakan kontur menyebabkan bencana-bencana,” pungkasnya.

Teks dan Foto: Khusnul Khotimah
Dalam berhubungan dengan sesama hendaknya melepas ego, berjiwa besar, bersikap santun, saling mengalah, dan saling mengasihi.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -