Sepenuh Hati Melestarikan Wayang Orang

Dalam epos Mahabharata dikisahkan suatu perebutan kekuasaan di Ke­rajaan Manduro. Kerajaan ini di­pimpin oleh Prabu Basudewo. Pada suatu ketika seorang raja raksasa yang berasal dari Kerajaan Guwabarong bernama Guru­wangsa jatuh hati kepada Dewi Maerah, istri Prabu Basudewo.

Karena ketamakannya ini Guruwang­sa  menyusun siasat buruk dengan men­jelma menjadi Prabu Basudewo dan mencuri kesempatan saat Prabu Basudewo yang asli pergi meninggalkan istana. Akhir­nya perbuatan ter­cela Guruwangsa ini diketahui oleh Prabu Basudewo yang asli setelah pulang berburu. Perkelahian pun tak terelakkan, namun kesaktian si raja raksasa tak mudah dikalahkan oleh Prabu Basudewo dan Guruwangsa  akhirnya ber­hasil melarikan diri.

Setelah peristiwa itu hubungan antara Prabu Basudewo dengan Dewi Maerah menjadi dingin. Tiada lagi hubungan as­­­­mara sampai akhirnya ketika Dewi Ma­erah hamil, ia diusir dari Manduro. Dewi Maerah kemudian diterima oleh Suratrimontro, adik Guruwangsa di Kerajaan Guwabarong. Di sinilah Dewi Maerah melahirkan Kongso. Di kerajaan ini pula Kongso dididik, dan dihasut oleh Suratrimontro agar kelak menjadi raja di Manduro.

Setelah dewasa, Kongso datang ke Manduro dan berhasil mengusir Prabu Basudewo. Demikian  seterusnya peperang­an ini berlanjut hingga akhirnya kezaliman Kongso dikalahkan

Kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan, dan ketamakan akan melahir­kan petaka. Itulah pesan moral yang dipetik dari pertunjukan wayang orang berjudul “Kongso Adu Jago” yang dipentaskan pada Sabtu 15 Mei 2010 di Gedung Wayang Bharata, Jalan Kalilio, Senen, Jakarta Pusat.

Tak Tergoyahkan. Penghasilan yang minim dari bermain wayang orang tidak menyurutkan tekad Kenthus untuk terus melestarikan kesenian ini.

Karya Seni Bernilai Tinggi

Wayang orang sebagai karya seni khas Indonesia menjadi wujud peradaban bangsa Indonesia yang kaya akan ke­­­ragam­an suku, bangsa, agama, dan ba­hasa. Tetapi kenyataannya di tengah ke­majuan zaman, wayang orang tidak lagi menjadi tontonan yang menarik minat dan digemari oleh kawula muda. Seni bernilai tinggi ini justru sedang mengalami krisis karena tidak mampu bersaing dengan seni modern.

Namun ketika kebanyakan mudamudi lebih tertarik pada hiburan mo­dern, tidak de­mikian dengan Teguh Ampiranto. Pria berusia 42 tahun yang biasa disapa Kenthus ini justru sangat tertarik pa­da pelestarian kesenian wa­yang orang. Ketertarikan Kenthus pada ke­senian ini bermula ketika memasuki usia remaja. Saat itu bibinya me­min­ta Kenthus untuk melanjutkan seko­lah menengah per­tama di Jakarta. Mulailah ia mening­galkan kampung halamannya di Ba­­nyu­­wangi dan hijrah ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, Kenthus lantas tinggal ber­­sama bibinya di kompleks Pa­depo­kan Wayang Orang Bharata, Sunter, Jakarta Utara. Di tempat inilah Kenthus yang semula awam dengan seni mulai tertarik pada tari dan menyanyi seperti yang banyak dilakukan oleh para pemain wayang di tempat itu.

Dari sekadar melihat, akhir­nya Kenthus mulai mem­beranikan diri untuk belajar menari. Di bawah asuhan Nanang Kuswandi –seorang seniman senior dalam kesenian wayang orang, Kenthus menjadi te­rampil menari hingga di­percaya untuk bergabung di ke­lompok seni wayang orang dan mendapatkan peran se­bagai Arjuna.

Di usianya yang ke-27 pada tahun 1995, Kenthus melihat adanya kesulitan pada Wayang Orang Bharata dalam melakukan regenerasi. Didasari oleh kecintaan pada seni dan kepeduliannya pada wayang orang, maka Kenthus bersama Nanang Kuswandi memberanikan diri untuk membentuk Wa­yang Orang Remaja. Untuk mendapatkan anggota, Kenthus langsung mengajak para remaja di kompleks Padepokan Wayang Orang Bharata. Berhasil mendapatkan para pemain wayang tidak lantas berarti usaha Kenthus sudah berhasil. Masih banyak tan­tangan lain yang harus ia hadapi, salah satunya mencari dukungan biaya dan mengajarkan dialek “kromo inggil” (bahasa Jawa dengan tuturan yang halus) kepada para remaja masa kini. Setelah beberapa kali latihan dan berusaha keras mencari dukungan, akhirnya Wayang Orang Remaja ini berhasil mengadakan pagelaran sampai 7 kali.

Masih Bertahan. Wayang Orang Bharata adalah salah satu kelompok pertunjukan wayang orang yang masih bertahan di tengah zaman modern.

Tontonan Sekaligus Tuntunan

 Lambat laun kesadaran melestarikan kesenian wayang orang dan sendratari semakin tertanam di dalam benak para remaja. Ini terbukti setelah terampil memerankan tokoh di wayang orang, para remaja ini semakin percaya diri untuk bergabung sebagai pe­main di Wayang Orang Bharata. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang bergabung di Teater Tanah Airku Taman Mini Indonesia Indah dan menjadi pengemban misi kesenian Indonesia di luar negeri.

Setelah berhasil menghidupkan kembali generasi penerus Wayang Orang Bharata, kecakapan Kenthus dalam pertunjukan seni mulai dilirik oleh beberapa seniman peran di Indonesia. Salah satunya ketika Ketoprak Humor dibentuk, Kenthus langsung diajak bergabung oleh almarhum Timbul untuk memainkan beberapa peran di acara itu. Berawal dari memerankan prajurit, lama-ke­lamaan Kenthus dipercaya untuk memerankan salah satu tokoh di acara itu. Sampai-sampai oleh manajemen Ketoprak Humor, Kenthus diberi ke­percayaan untuk menyutradarai Ke­toprak Humor seri 2 di TPI.

Usaha Kenthus dalam melestarikan seni budaya tidak terhenti sampai di situ. Pada tahun 2001 Kenthus kem­bali dipercaya oleh Nani Sudarsono, Men­teri Sosial Republik Indo­­nesia untuk membuat program acara Wayang Orang di TVRI. Bersama Nanang Kuswandi, Kenthus kembali mengolah wayang orang yang ditayangkan di televisi agar menjadi tontonan yang menarik, menghibur se­kaligus memberikan tuntunan kepada penonton akan nilai-nilai moral yang ter­kandung dalam setiap cerita.

Sepenuh Hati

Setelah 10 tahun Wayang Orang tayang di TVRI, pada awal 2010 ini Kenthus kembali diberi kepercayaan sebagai penata lagu pada Ketoprak Canda di RCTI yang mulai tayang pada April 2010.

Bagi Kenthus melestarikan kesenian wa­yang orang tidaklah mudah. Ia menyadari betul tantangan yang dihadapi adalah per­kembangan zaman dimana masyarakat cenderung kurang tertarik pada kesenian tradisional. Imbasnya banyak kesenian tra­disional menjadi tidak berkembang, bahkan “mati” karena kurangnya peminat dan dukungan dari ber­bagai pihak. Karena itu di tengah krisis perkembangan seni budaya, Kenthus berupaya mempopulerkan kembali wayang orang ke berbagai pihak, seperti melakukan pertunjukan ke kedutaan besar luar negeri atau mengolah pementasan wayang orang agar sesuai dengan selera masyarakat di masa kini. “Alhamdulillah sekarang penonton sudah kembali lagi pada wayang orang. Tetapi itu belum cukup. Sehebat apa pun itu sebagai tontonan, sebagai pelestarian budaya ini tetap harus didukung oleh pemerintah,” tegasnya.

Dedikasi Kenthus pada pelestarian wayang orang memang dilakoninya se­­­­­penuh hati. Baginya penghasilan da­ri pementasan wayang orang yang ti­dak seberapa, tidak menyurutkan tekad­­­­nya untuk terus berkarya dan melestarikannya. Karena tujuan utama da­lam hidupnya bukanlah sekadar materi tetapi menjadikan wayang orang sebagai seni yang populer di Indonesia dan tak tergerus oleh perkembangan zaman. “Darah seni sudah mengalir di jiwa saya, maka dengan sepenuh hati saya akan melestarikannya,” tekad Kenthus.

Mampu melayani orang lain lebih beruntung daripada harus dilayani.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -