Agus Rijanto
Hidup Sederhana

 
“Boleh dibilang, selama 3-4 tahun itu saya tidak ada waktu untuk keluarga ataupun untuk menghadiri acara pernikahan dan berlibur.”

Selama tiga setengah tahun, Agus Rijanto berada sangat “dekat” dengan Master Cheng Yen. Itu karena Master Cheng Yen setiap hari hadir di Indonesia melalui wejangannya yang ditayangkan oleh Da Ai TV Taiwan. Dan Agus Rijanto beserta tim-nya yang menjadi penyambung lidah Master Cheng Yen dengan pemirsa di Indonesia. Agus Rijanto adalah penerjemah dan editor wejangan Master Cheng Yen.
     
Ujian Selama Empat Tahun
Laki-laki kelahiran Medan, 65 tahun lalu ini tidak bisa lepas dari laptop merk Fujitsu kesayangannya. Ia harus memastikan setiap hari bisa terkoneksi dengan internet di manapun dia sedang berada karena ia harus mendownload teks wejangan Master Cheng Yen. Master Cheng Yen biasanya menyampaikan wejangan rutin harian pukul 7 pagi waktu Taiwan atau 6 pagi waktu Indonesia. Wejangan tersebut direkam, dan isi wejangan dibuat dalam bentuk transkrip bahasa Mandarin. Pukul 10 pagi waktu Indonesia, transkrip awal berdurasi 12 menit tersebut diupload ke website oleh tim Tzu Chi Taiwan sehingga bisa didownload oleh relawan Tzu Chi di seluruh dunia. Di Indonesia tugas tersebut dijalankan oleh Agus dan tim. Transkrip tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh bagian penerjemah Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

Wejangan Master Cheng Yen aslinya berdurasi agak panjang, namun untuk menjadi tayangan televisi harus dipotong menjadi 12 menit. Sekitar pukul 5 sore barulah diketahui hasil akhir wejangan Master Cheng Yen yang telah dipotong menjadi 12 menit. Agus harus kembali mendownload naskahnya yang telah disesuaikan dengan panjang video yang telah dipotong.

Tugas Agus belum selesai. Ia masih harus menunggu tayangan wejangan yang telah diberi subtitle (teks terjemahan di acara televisi) bahasa Inggris ditayangkan oleh Da Ai TV Taiwan pukul 18.45 WIB. Setelah mendownload dari website Agus mengedit kembali hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia menyesuaikan subtitle bahasa Inggris. Di situlah tantangan baginya, pilihan kata yang digunakan harus singkat dan tidak boleh melebihi margin penempatan teks. Padahal sebuah kata padat bahasa Mandarin biasanya sering memiliki padanan kata bahasa Indonesia yang panjang. Belum lagi kadang Master Cheng Yen menggunakan istilah-istilah ajaran Buddha yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Nah, tugas Agus Rijanto adalah mengedit hasil terjemahan tersebut agar mudah dimengerti oleh penonton Indonesia. “Dan hal ini bisa terus berlangsung sampai jam sebelas malam, dan saya baru bisa memastikan bahwa itu betul-betul final dan tidak ada perubahan apapun lagi,” terang Agus.
  
Sewaktu melihat aktivitas Tzu Chi di televisi. Agus mengira itu hanya rekayasa. Tetapi setelah bergabung menjadi relawan, ia membuktikan sendiri tayangan tersebut benar adanya.
 
Subtitle bahasa Inggris itu nantinya akan ditimpa oleh subtitle bahasa Indonesia. Tapi untuk tugas ini bukan Agus yang mengerjakannya. Hasil akhir tersebut kemudian ia berikan kepada rumah produksi yang mengolahnya untuk kemudian diberikan kepada operator TV berlangganan Indovision. Indovision menayangkannya keesokan harinya pukul 18.45 WIB. Jadi, pemirsa Da Ai TV di Indonesia melalui Indovision menyaksikan wejangan Master Cheng Yen yang telah dilengkapi terjemahan bahasa Indonesia edisi hari sebelumnya dibandingkan pemirsa Da Ai TV yang lain. Begitulah rumitnya proses yang harus dikerjakan agar penonton di Indonesia bisa menyaksikan tayangan wejangan Master Cheng Yen.

Karena itu merupakan wejangan Master Cheng Yen, Agus sangat hati-hati terhadap isinya, jangan sampai salah arti. “Yayasan Tzu Chi adalah organisasi Buddha sedangkan agama mayoritas di Indonesia adalah agama Islam, jadi dalam penyampaian ini kita harus berhati-hati karena pesan yang ingin disampaikan adalah universal,” jelasnya, “Wejangan Master ini memang bersifat universal dalam bentuk kejadian sehari-hari di seluruh dunia. Dan menurut saya ajaran Master yang diajarkan memiliki satu inti, yaitu meringankan penderitaan dan memberikan kebahagiaan orang lain, dan mengajak orang-orang yang kita bantu untuk membantu orang lain.”

Agus merasa komitmennya di Tzu Chi mendapat ujian yang sangat besar ketika menjalani tugas tersebut, “Boleh dibilang waktu saya selama 3-4 tahun itu  tidak ada sisa waktu untuk keluarga ataupun untuk menghadiri acara pernikahan dan berlibur.” Banyak kesempatan lain yang terpaksa harus Agus lewatkan ketika mengurus wejangan Master Cheng Yen. Bahkan ia seperti berkantor di Tzu Chi karena hampir setiap hari datang, padahal ia mempunyai usaha sebuah toko supplier kain mebel dan kain untuk peralatan kantor. Akhirnya istrinya yang lebih banyak mengurus toko. “Saya tidak mengatakan hal itu sebagai berkorban, melainkan saya melakukan itu karena saya suka dan mau, terlebih lagi agar kita bisa menyebarkan ajaran Master supaya setiap orang bisa mengerti. Dan itu merupakan tujuan dan cita-cita saya pribadi,” ungkap Agus merendah.
  
Agus Rijanto awalnya memandang sinis Tzu Chi, namun sang istri, Ho Sok Cheng, terlanjur jatuh cinta kepada Tzu Chi. Ho Sok Cheng kemudian memintanya menemani untuk mencari keberadaan Tzu Chi di Jakarta. Akhirnya justru Agus lebih aktif di Tzu Chi daripada istrinya.
 
Sisi positif yang ia peroleh adalah ia menjadi semakin mengerti jalan pikiran Master Cheng Yen tentang Tzu Chi. Dan tentu saja ini sangat bermanfaat baginya untuk melangkah di jalan Tzu Chi. Ia beranggapan, “Apabila kita membaca, kita hanya mengetahuiisi kalimat tersebut, istilahnya hanya lewat begitu saja. Sedangkan (kalau) menerjemahkan, saya harus mengerti betul-betul makna dari pesan yang disampaikan, yang terkandung di dalamnya. Dan itu terus berlangsung selama tiga tahun setengah.”

Maka tak heran jika ia merasa sangat berat ketika harus melepas wejangan Master Cheng Yen pada September 2008. Penerjemahannya diserahkan ke sebuah tim khusus dari DAAI TV Indonesia karena akan ditayangkan di DAAI TV Indonesia. Awalnya ia merasa khawatir penerjemahannya terjadi kesalahan tafsir. Namun Agus perlahan akhirnya bisa melepasnya. Rasa cintanya kadang membawanya menyempatkan diri berdiskusi tentang wejangan Master Cheng yen dengan tim penerjemah DAAI TV. Wejangan tersebut kini menjadi tayangan harian DAAI TV berjudul Lentera Kehidupan.

“Itu Mah Palsu”
Jodoh Agus Rijanto dengan Tzu Chi terjalin tahun 2002. Awal tahun itu Jakarta dilanda banjir besar. Relawan Tzu Chi terlihat di beberapa tempat sedang menyalurkan bantuan. Mereka bukan hanya memberikan bahan bantuan, malah sampai membersihkan got dan kali yang penuh sampah. Semua itu disyuting dan disiarkan ke seluruh dunia melalui Da Ai TV Taiwan. Ho Sok Cheng, istri Agus Rijanto sangat terkesan dengan perbuatan mulia itu. Tapi Agus justru tak sependapat, “Ah, udahlah jangan dilihat, itu mah palsu.” Agus merasa adegan itu kebanyakan hasil rekayasa, supaya orang lain mau menonton sehingga tercapai tujuannya untuk mempengaruhi orang lain. “Buktinya apa kalo itu palsu?” timpal Ho Sok Cheng sengit. Agus pun tak mau kalah dengan pendapatnya, “Liat aja itu orang kerja, kerja di got gitu (masa) pake celana dan sepatu putih. Mana mungkin (bukan rekayasa)?!”

Ho Sok Cheng bergeming. Terlebih ia melihat di tayangan tersebut banyak terdapat relawan dari Indonesia, ia yakin Tzu Chi pasti ada di Indonesia juga. Ho Sok Cheng jatuh cinta pada Tzu Chi. Maka ia mengajak Agus untuk mencari tahu keberadaan Tzu Chi di Jakarta. Agus pun akhirnya mengikuti kemauan istri tercinta. Selama 2 bulan mereka mencari-cari, tapi nihil.

Mereka mempunyai sebuah tempat makan langganan, yaitu sebuah restoran kecil di Kelapa Gading. Pemiliknya orang Taiwan. Karena Tzu Chi berasal dari Taiwan, Agus dan istri menduga pemilik restoran itu pasti tahu tentang Tzu Chi juga. “Oh, kau bertemu dengan orang yang tepat, saya juga anggota dari Tzu Chi. Tapi kalau kau ingin tahu Tzu Chi Indonesia, saya masih kurang tau, tapi aku punya majalahnya,” sahut sang pemilik restoran yang membuat Agus dan Ho Sok Cheng lega. Berbekal alamat di majalah tersebut, Agus dan istrinya akhirnya bisa menemukan kantor Tzu Chi Indonesia di ITC Mangga Dua.
  
Hampir semua kegiatan di Tzu Chi pernah diikuti oleh Agus Rijanto. Namun seiring dengan bertambahnya usia, ia kini lebih banyak aktif dalam kegiatan pelatihan relawan dan sosialisasi yang tidak terlalu menguras energi.
 
Agus dan istri mendaftarkan diri menjadi relawan. Kegiatan pertamanya sebagai relawan adalah selama sehari dalam seminggu “ngantor” di Tzu Chi. Tapi Agus malah hanya bingung karena tidak tahu mau melakukan apa, sampai akhirnya seorang relawan, Lulu, mengajaknya membereskan alat-alat dokter gigi untuk baksos kesehatan. Agus sempat kebingungan ketika merapikannya. Namun itu justru memberinya ide untuk mengajak anaknya yang gemar fotografi untuk memfoto satu per satu alat dan dibuatkan tabel agar orang selanjutnya yang membereskannya tahu nama alat itu.

Belum terlalu mantap langkahnya di Tzu Chi, pertengahan tahun 2002, Agus dan istri ikut mengunjungi kantor pusat Tzu Chi di Hualien, Taiwan bersama sejumlah pengusaha. Dalam perjalanan, rombongan ditanya, “Siapa yang mau jadi komisaris kehormatan?” Syarat menjadi komisaris kehormatan adalah dengan menyumbang 1 juta dolar Taiwan (sekitar Rp 300 juta waktu itu). Bagi para pengusaha, uang sejumlah itu tidak terlalu besar. Maka mereka pun serta merta mengangkat tangannya. Tinggallah Agus seorang yang tidak mengangkat tangan. Ia tampak masih ragu. Selain karena ia masih baru mengenal Tzu Chi, uang sejumlah itu baginya bukan jumlah yang kecil karena ia bukan seorang pengusaha besar. Namun Ho Sok Cheng terus mendesak suaminya agar ikut mengangkat tangan. Akhirnya Agus pun ikut mengangkat tangan. Maka ketika Agus pulang dari Taiwan, ia mendapat oleh-oleh teratai merah sebagai komisaris kehormatan Tzu Chi berbentuk kartu tanda pengenal berwarna emas pada akhir tahun.

Memulai Banyak Hal
Bisa dikatakan, Agus Rijanto banyak memulai membuka lahan baru dalam Tzu Chi. Pada tahun 2003, ia dipercaya untuk memulai dan menjadi koordinator sebuah divisi baru dalam Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, yaitu divisi dokumentasi atau yang dikenal juga dengan sebutan “3 in 1”. Karena, divisi ini berfungsi mendokumentasikan aktivitas Tzu Chi dalam 3 bentuk: foto, video, dan naskah liputan.

Pada saat itu, relawan yang menangani divisi ini kebanyakan berasal dari Taiwan sehingga pendokumentasian foto dan naskah pun dibuat dalam bahasa Mandarin. Divisi ini awalnya hanya beberapa orang, tapi dengan terus berkembangnya Tzu Chi Indonesia membuat divisi ini juga terus berkembang. Bahkan pada tahun 2007, divisi ini menjadi cikal bakal berdirinya DAAI TV Indonesia. Namun kini Agus sudah mulai mengurangi keterlibatannya dalam divisi dokumentasi, meski ia masih menjadi quality control dalam penerjemahan Mandarin.

Lainnya yang Agus turut membidani kelahirannya adalah Tzu Ching Indonesia. Dalam beberapa kali kunjungan ke kantor pusat Tzu Chi di Hualien, Taiwan, di sana ia melihat ada kelompok muda-mudi Tzu Chi (Tzu Ching). Di Indonesia tidak ada. Ia berinisiatif untuk membentuk Tzu Ching di Indonesia, namun relawan lain menganggap waktunya belum tepat. Cita-cita Agus baru terwujud tahun 2006. Ketika itu ia membentuk sebuah tim beranggotakan para relawan muda yang ia beri nama “Tim 16”. Ia sendiri ikut serta dalam tim tersebut. “Saya membentuk kelompok ini karena saya melihat bahwa yang ikut serta sebagai relawan di Tzu Chi rata-rata orang tua, dan saya merasa bahwa kita juga butuh penerus,” Agus menjelaskan. Itulah cikal bakal terbentuknya Tzu Ching Indonesia.

Ternyata apa yang ada di benak Agus ketika berinisiatif membentuk Tzu Ching tidak salah. Anak-anak muda tersebut bisa diandalkan dan sangat aktif dalam mendukung kegiatan-kegiatan Tzu Chi, dan yang pasti membuat anak-anak muda mempunyai wadah yang pas di dalam Tzu Chi. Akhirnya kelompok anak muda tersebut secara resmi dibentuk menjadi Tzu Ching. Agus pun lega karena usahanya membuahkan hasil. Ia sendiri kemudian bersama relawan A Thiam menjadi “Tzu Ching Papa” (pembina Tzu Ching) bersama Wang Su Hui yang menjadi “Tzu Ching Mama”.

Pada kesempatan lain ia kembali ke Taiwan, ia melihat ada sesuatu yang baru di Tzu Chi. Sesuatu itu adalah barisan Tzu Cheng (Tzu Cheng Dui) yang merupakan barisan relawan komisaris laki-laki garis depan (frontline) yang harus selalu siap 24 jam jika Tzu Chi membutuhkan. Dalam suatu rapat, Agus menanyakan kepada relawan laki-laki apakah bersedia mengikuti pelatihan Tzu Cheng. “Ternyata hanya saya seorang yang ikut,” tukasnya. Karena tanda bagi relawan yang telah menjadi anggota Tzu Cheng adalah logo teratai di kartu tanda pengenal relawan, maka Agus menjadi satu-satunya relawan Indonesia yang memiliki 3 teratai di kartunya. “Itu bukan karena saya mau mengejar teratai 3 itu, tapi maksud saya untuk mendorong yang lain supaya mau mengikuti,” jelas Agus. Teratai-teratai itu mewakili lambang anggota komisaris kehormatan, Tzu Cheng, dan komite. Itu artinya makin berat pula tanggung jawab yang harus dipikul Agus.
  
Lama aktif di Tzu Chi membuatnya mengerti bahwa ibunya yang telah berumur 97 tahun ternyata juga membutuhkan perhatian, selain memenuhi semua kebutuhannya.
 
Hidup Sederhana
Aktivitas Agus dalam Tzu Chi kini mulai berkurang, terlebih untuk aktivitas yang menguras tenaga. “Karena tenaga dan energi (mulai) berkurang, maka saya (sekarang) kebanyakan (hanya) bergerak di bidang yang seremonial, pertemuan, atau rapat dan sebagai pembicara pada acara tertentu atau istilahnya MC,” jelas Agus. Relawan-relawan lain malah kadang berebutan untuk menggantikan perannya dalam aktivitas yang baginya terasa berat.

Namun tugas yang seperti tidak pernah lepas darinya adalah menjadi penerjemah, entah ketika relawan Indonesia berkunjung ke Taiwan atau ketika relawan dari Taiwan atau negara lain berkunjung ke Indonesia. Kemampuan bahasa Mandarinnya hampir selalu tidak pernah terlewatkan.

Agus juga cukup mahir bernegoisasi. Pertengahan tahun 2006, ia bersama beberapa relawan Tzu Chi lain memfasilitasi pemulangan 19 warga Kamboja dan 4 warga Myanmar. Mereka adalah anak buah kapal (ABK) yang terdampar di perairan Indonesia dan ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Jakarta. Mereka terpisah dengan keluarganya selama 2 tahun. “Kalau tidak ada Tzu Chi, mana bisa kami pulang ke Kamboja,” kata Lon Tha, salah satu warga Kamboja tersebut berkaca-kaca.

“Kalian mungkin bertanya-tanya kenapa kami dari Tzu Chi mau membantu kalian? Kenal pun tidak sebelumnya bukan?” ujar Agus yang disambut anggukan oleh mereka, “ Kami membantu karena rasa kemanusiaan. Satu harapan kami, bahwa kalian suatu saat harus juga mau membantu orang lain yang memang memerlukan bantuan kalian.”

Bergabung di Tzu Chi juga membuatnya menjadi lebih sederhana. Walaupun ketika kecil pernah merasakan hidup susah di Medan, ketika kini telah memiliki ekonomi yang baik, ia tidak aji mumpung “membalas dendam” masa susah tersebut. Agus memberi contoh, sudah lama ia ingin mengganti mobil BMW tahun 1997 miliknya. Dulu ketika membelinya, ia berharap dengan mengendarai BMW yang harganya mahal membuat statusnya naik dan dihormati orang lain. “Akan tetapi sejauh ini yang menghormati saya hanya tukang parkir,” ia tertawa lebar.

Beberapa bulan ini ia ingin mengganti BMW-nya tersebut dengan seri yang lebih baru, seri 5. Tapi, “Sekarang ini saya sudah lebih sederhana. Uang yang seharusnya akan saya gunakan untuk membeli mobil BMW seri 5, saya gunakan untuk membeli mobil kijang dan sisanya saya alokasikan untuk menyumbang 1 juta NT atas nama isteri, agar dia juga menjadi komisaris kehormatan Tzu Chi untuk pembangunan Aula Jing Si indonesia.” Maka, untuk kedua kalinya ia menyumbangkan Rp 300 juta kepada Tzu Chi. Ia tidak menyesal keinginannya untuk memiliki BMW seri lebih baru akhirnya kandas. Baginya, BMW tua yang masih ia miliki saat ini masih cukup baik.

Sekarang Agus telah memiliki 2 anak dan 2 cucu, namun ia masih memiliki ibu yang telah berumur 97 tahun. Awalnya ia menduga dengan memberikan segala yang diinginkan ibunya bisa membuatnya bahagia, termasuk kediaman yang nyaman di bilangan Pulo Mas, Jakarta Timur. “Setelah saya lama bergabung dalam Tzu Chi, saya mulai merasakan bahwa orangtua saya yang saya anggap sudah mendapat segala sesuatunya dengan cukup, tapi ternyata orangtua kita itu merasa kesepian dan butuh teman untuk bercakap-cakap,” Agus menyadari kesalahannya. Terlebih ketika beberapa waktu lalu ibunya tersebut sempat terjatuh yang sampai menimbulkan pendarahan di otak. Untunglah semuanya belum terlambat.

Agus kini mengubah caranya bersikap kepada ibunya, “Sekarang setiap pulang dari kerja saya selalu menyempatkan diri untuk mengajak ngomong dan bercanda dengan orangtua saya.” Ia menambahkan, “Sekarang bayangkan saja, orangtua pada umur seperti itu sudah tidak memiliki teman-teman seumur yang masih ada. Jadi, sebagai anak kita harus menjadi seorang teman bagi orangtua kita. Walaupun kita hanya berbasa-basi dengan orangtua kita, tapi orangtua kita akan senang sekali.”

Seperti dituturkan kepada Sutar Soemithra
Foto: Anand Yahya & Sutar Soemithra
 
 
Jika selalu mempunyai keinginan untuk belajar, maka setiap waktu dan tempat adalah kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -