Ernie Lindawati (Relawan Misi pendidikan)
Kekuatan Kesungguhan Hati

Menjadi Relawan Pendamping Siswa. Tzu Chi memberikan kesempatan bagi Mei Rong untuk berbuat baik yang bisa mengubah sikap dan memberi pengaruh baik bagi orang lain.

“Kesungguhan hati adalah profesionalitas” merupakan satu Kata Perenungan Master Cheng Yen yang dipilih Mei Rong ketika ditanya tentang kata perenungan mana yang paling ia ingat. Relawan Tzu Chi yang aktif dalam Misi Pendidikan itu lalu melanjutkan, “Artinya, kalau kita melakukan sesuatu dengan bersungguh hati, lama-lama (kita) akan menjadi profesional.”

Kata perenungan tersebut juga menjadi hal yang benar-benar dipegang oleh relawan Tzu Chi yang aktif sejak tahun 1995 ini. Buktinya, ia bisa menjadi seorang pengajar (Da Ai Mama) walaupun bukan seorang guru. Ia juga sering dipercaya untuk menjadi pembawa acara (MC), walau tidak pernah khusus belajar menjadi seorang MC. Semua karena kesungguhan hatinya untuk melakukan setiap hal.

Menggenggam Kesempatan Baik

Ernie Lindawati atau yang akrab disapa Mei Rong lahir di Medan pada 16 Maret 1965. Ia adalah anak perempuan pertama dari lima bersaudara. Sejak kecil, ia dididik seperti anak-anak biasa dengan materi yang berkecukupan. Kemudian ketika ia menginjak remaja (SMP), orang tua Mei Rong mengirimnya ke Taiwan untuk bersekolah di sana. “Karena orang tua saya berpikir kalau pendidikan di sana lebih bagus,” katanya. Sejak tahun 1978 itulah ia tinggal di negeri orang. Mei Rong jarang pulang ke Indonesia sampai pendidikannya di perguruan tinggi usai.

Lebih dari 10 tahun tinggal di Taiwan membuatnya fasih berbahasa Hokkian ataupun Mandarin. Namun ketika pulang ke Indonesia, ia malahan susah berkomunikasi dalam bahasa ibunya. “Susah bergaul dengan orang lain karena lupa sama tata bahasa Indonesia,” ucapnya tersipu.

Di tahun 1994, ia bertemu dengan teman-temannya yang juga berkuliah di Taiwan. Dari sanalah ia diperkenalkan dengan Tzu Chi. Saat itu ia tidak pikir panjang dan langsung mau ikut kegiatan karena berpikir bahwa pergaulan di Tzu Chi tidak akan menyusahkannya. “Kan Tzu Chi banyak pakai bahasa Mandarin, jadi saya langsung tertarik,” aku Mei Rong.

Lambat laun, pandangannya akan Tzu Chi tidak sekadar bahasa. Di Tzu Chi ia mendapat banyak hal lain. “Saya menyadarinya saat mendengarkan satu sharing dari relawan Tzu Chi Taiwan yang berkunjung ke Indonesia,” katanya. Sharing itu seakan memberikan pesan padanya bahwa dengan  mengerjakan sesuatu, seseorang bisa belajar, bisa mengubah sikap, juga bisa memberi pengaruh untuk orang lain. Mei Rong pun menambahkan bahwa Tzu Chi memberi kesempatan bagi setiap orang untuk berbuat baik. Selain itu juga ada keakraban dan kebahagiaan yang terasa setelah memberikan bantuan. “Saya merasa terharu,” jelas Mei Rong.

Masukan-masukan yang ia dapatkan melalui sharing mulai ia terapkan dalam kegiatannya di Tzu Chi. Sampai pada 2003, ia lebih memfokuskan diri di Misi Pendidikan Tzu Chi kala Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng baru berdiri. Di sana ia mengajar bahasa Mandarin untuk anak-anak (sekolah dasar). Walaupun bukan seorang guru, ia berusaha mengajar siswa dengan sebaik-baiknya. “Mama saya bilang kalau saya punya bakat jadi guru karena ayah saya seorang guru, mertua saya juga guru,” kata Mei Rong.

Kecintaan terhadap dunia pendidikan dan perkembangan anak, membuat Mei Rong memutuskan untuk lebih fokus pada Misi Pendidikan Tzu Chi.

Tugas dan tanggung jawab yang diemban Mei Rong, dilakukannya dengan kesungguhan hati karena baginya kesungguhan hati merupakan profesionalitas.

Mei Rong menganggap bahwa mengajar adalah hal yang menyenangkan karena apa yang ia ajarkan kepada siswa, ternyata nantinya bisa mengubah mereka. Baginya, pendidikan pun sangat penting karena berguna sampai kapan pun. “Jadi ya berharap bahwa satu atau dua kata dari kami (Da Ai Mama) bisa mengena di hati mereka dan juga bisa membawa sedikit perubahan. Apalagi kalau di Sekolah Cinta Kasih itu dulu masih banyak anak-anak pindahan (dari bantaran Kali Angke –red). Jadi selain mengajar, kita juga memberi pendampingan, perhatian, dan kehangatan untuk mereka.”

Setelah dua atau tiga tahun mengajar, ada satu guru bahasa Mandarin yang menggantikan Mei Rong. Lepas dari kesibukannya mengajar, ia kemudian konsen mengembangkan kelas budi pekerti. Dengan mengadopsi konsep pendidikan karakter yang sudah diterapkan di Tzu Chi Taiwan, Mei Rong lalu merangkul relawan untuk membentuk Da Ai Mama (relawan wanita, pendamping siswa).

“Membentuk Da Ai Mama bukanlah perkara yang mudah,” kata Mei Rong. Da Ai Mama harus bisa mendampingi anak yang macam-macam sifatnya. Kita pun harus bisa memberikan contoh yang baik untuk siswa. Mei Rong menekankan bahwa untuk menjadi seorang Da Ai Mama itu butuh berkali-kali training. Bahkan training saja tidak cukup. Da Ai Mama lebih menekankan pada pendampingan dan hubungan yang berkelanjutan. “Bukan sekali dua kali datang,” tuturnya. Seiring perkembangan waktu, ternyata semakin banyak relawan yang bergabung. “Mereka senang karena memang dalam mendidik kita memposisikan diri sebagai seorang ibu atau pun seorang nenek yang ingin melihat anak atau cucunya berkembang baik. Jadi ternyata banyak relawan yang kalau dengar kelas budi pekerti, banyak yang ikut,” ungkap Mei Rong.

Mei Rong melanjutkan bahwa pendidikan karakter adalah hal yang unik. Dalam pendidikan karakter, seorang relawan atau pengajar tidak akan melihat hasilnya secara langsung. “Tidak tiba-tiba langsung pintar atau pulang-pulang langsung berbakti. Kalau di baksos (kesehatan) kita bisa langsung lihat kesembuhan pasien setelah operasi. Kalau di pendidikan harus sabar dan bertahap,” jelasnya, “maka relawan harus terus menerus mendampingi.”

Selama memberikan pendidikan budi pekerti kepada siswa, Mei Rong mengambil banyak contoh dari lingkungan yang disesuaikan dengan kurikulum pengajaran kelas Taiwan. “Sebagian besar bahan dari Taiwan dan saya menerjemahkan. Ada juga yang saya ambil dari lingkungan sekitar.” Melalui kelas budi pekerti, Mei Rong ingin mengajarkan anak-anak itu bagaimana membina akhlak yang baik, karena kebiasaan yang baik adalah hal yang paling  penting. Mulai dari bagaimana cara bertutur kata yang baik, cara duduk, cara berjalan, cara makan, kerapihan, kedisiplinan, dan lain sebagainya diperhatikan.

Hal-hal yang diajarkan pada siswa, secara tidak langsung juga mengubah kepribadian Mei Rong. Ia kini lebih tekun, karena ia juga turut menyesuaikan jam belajar siswa. Ia pun menjadi penyabar karena banyak menghadapi karakter anak-anak. Karena lebih sabar, emosi Mei Rong perlahan menjadi lebih terkontrol. “Menghadapi anak-anak memang membuat saya banyak belajar,” akunya. Mei Rong bisa menjadi lebih lembut sekarang melalui berbagai proses pelatihan diri yang dilakukannya selama di Tzu Chi. “Saya (sebenarnya) dulu orangnya emosian, maunya buru-buru. Kehendak kalau tidak dituruti pasti akan marah,” akunya.

Menjajal Pengalaman Baru

Bukan hanya aktif di Misi Pendidikan Tzu Chi, Mei Rong juga menantang dirinya sendiri untuk mencoba sesuatu yang baru. Kala itu Tzu Chi membutuhkan pemandu acara dalam kegiatan besar yang diadakan. Mei Rong tidak mahir dalam menjadi MC, namun ia pernah menjadi pembicara dalam kegiatan kelas budi pekerti. Pengalaman inilah yang dijadikan bekal untuk maju ke atas panggung memandu jalannya acara yang digelar Tzu Chi, walaupun pada awalnya Mei Rong merasa ragu apakah ia bisa melakukannya atau tidak. Namun keraguan itu lama-lama hilang karena dukungan yang diberikan relawan lainnya. “Shixiong-shijie (relawan) senior merasa saya memiliki bakat (MC), ini yang membuat saya berani,” ujarnya.

Dari pengalaman pertama menjadi MC membuat Mei Rong ketagihan, sehingga ia terus memanfaatkan kesempatan yang diperolehnya untuk mengasah kemampuannya sebagai MC. Setiap ada kegiatan besar Tzu Chi, ia selalu tampil di atas podium memandu jalannya acara. “Saya dikasih kesempatan, dikasih ladang berkah membawakan acara besar memang satu kesempatan, tetapi bagaimana untuk membuat acara berjalan bagus, lancar, dan sukses kita sendiri harus tanggung jawab,” ujarnya.

Meski begitu bukan berarti tidak ada kendala yang dirasakan Mei Rong ketika menjadi seorang MC. “Apa yang selalu dilihat di depan (panggung) sebetulnya di belakang itu penuh dengan perjuangan dan persiapan.” Walaupun sudah sering membawakan acara, ia mengaku tetap merasa grogi sebelum naik ke atas panggung. “Bersiap diri semampunya kita. Di atas panggung kita harus membuat diri setenang-tenangnya, agar peserta di bawah merasa nyaman,” tutur Mei Rong.

Ajaran Jing Si menjadi pedoman Mei Rong dalam menjalani kehidupannya. Tekad dan semangat inilah yang membuatnya berkomitmen terus berjalan di jalan Tzu Chi.

Menularkan Nilai Tzu  Chi Dalam Keluarga

Adanya perubahan diri selama berjalan di Tzu Chi secara tidak langsung juga dirasakan oleh keluarga Mei Rong. Seperti anak-anak Mei Rong yang awalnya sering komplain karena direpotkan dengan pekerjaan membantu menerjemahkan materi kelas budi pekerti Tzu Chi. Terlebih sang anak juga memiliki tugas sekolah sendiri yang cukup banyak. “Dulu Bahasa Indonesia saya tidak begitu bagus, padahal saya harus memberi materi sekolah, jadi (bahannya) harus di-translate dulu. Makanya paling cepat minta bantuan anak saya,” ujarnya.

Mei Rong selalu memanfaatkan kebersamaan dengan keluarga untuk sharing pada anak-anaknya tentang apa yang diperoleh dari Tzu Chi. Sharing-sharing itulah yang menyihir anak-anaknya. Mereka pun mulai terinspirasi. “Dulu kan mamanya (gampang) marah, tapi sekarang beda,” tebak Mei Rong akan sikap anak-anaknya. Bagi Mei Rong bisa mengatur waktu adalah kunci kebahagiaan keluarga, sehingga tidak mengabaikan kewajiban sebagai istri, seorang menantu, dan seorang ibu. “Kadang-kadang kalau lelah, kita harus bisa mengorbankan perasaan lelah untuk bisa bergabung dengan mereka,” ungkap ibu dua anak ini. Bahkan anak bungsunya pun aktif di Tzu Shao Ban (setara SMP dan SMA). Selama ikut di Kelas Budi Pekerti, anak Mei Rong tentu terlibat langsung dengan Tzu Chi, dan dengan begitu banyak pengalaman yang dirasakannya sendiri.

Mei Rong juga mengajarkan nilai-nilai Tzu Chi dalam lingkungan keluarga. Salah satu caranya tentang bagaimana memaafkan orang lain dan bersikap lapang dada dalam menghadapi setiap persoalan. Ia mengajak untuk lebih melihat kebaikan orang lain, bukan hanya sisi negatif orang tersebut saja. “Mata hanya melihat orang, tapi tidak melihat diri sendiri. Sekarang kita bisa lihat dulu positifnya orang tersebut,” ujarnya. Dengan begitu maka kita bisa berpikir positif terhadap orang lain. “Di balik melihat kesalahan orang juga bisa berbalik melihat diri sendiri apakah ada yang sesempurna yang kita pikirkan,” ungkapnya.

Pesan moral dari nilai-nilai Tzu Chi yang diajarkan dalam keluarga dan dilakukan oleh Mei Rong memberikan dampak positif pada keluarga. Anggota keluarganya pun mendukung setiap langkahnya dalam bersumbangsih di Tzu Chi. “Dari Tzu Chi kita membawa sesuatu ke rumah, yang bisa membuat suasana rumah menjadi nyaman maka pasti mereka akan mendukung,” katanya.

Suami Mei Rong memang tidak ikut terjun dalam barisan relawan Tzu Chi, tetapi kontribusi yang diberikan untuk mendukung istrinya cukup banyak. Pada awal mengenal Tzu Chi pasangan suami-istri ini aktif di Tzu Chi. Namun karena kesibukan, suaminya memutuskan untuk tidak melibatkan diri dulu di Tzu Chi. “Suami saya walaupun tidak kelihatan di (kegiatan) Tzu Chi, tapi banyak hal di belakang dia lakukan untuk Tzu Chi,” ungkap Mei Rong memuji. Banyak pekerjaan Tzu Chi yang melibatkan suaminya, misalnya mencari bahan ajar untuk kelas budi pekerti di media sosial maupun lainnya. terkadang Mei Rong juga bertukar pikiran dengan suaminya mengenai materi-materi apa yang cocok untuk dibawakan di dalam kelas.

Demikian pula anak-anaknya ketika sedang mengenyam pendidikan di Taiwan, jika Mei Rong memerlukan bantuan untuk mencari video maupun games yang sesuai dengan materi yang disampaikan, dengan sigap putrinya pun segera mencarikan bahan-bahan tersebut. Bahkan sampai mengirimkan video tutorialnya. Bentuk dukungan dari keluarga seperti ini yang telah memberikan kekuatan bagi Mei Rong, sehingga ia pun makin mantap berjalan di jalan Tzu Chi untuk membantu sesama yang membutuhkan.

Selain menjadi Da Ai Mama juga menggenggam kesempatan yang dimiliki untuk mengasah kemampuan dengan menjadi seorang pembawa acara.

Terus Berkomitmen

Dengan mengikuti pelatihan diri di Tzu Chi, Mei Rong merasa makin dekat dengan para relawan lainnya. Ketika menemukan persoalan maupun kendala ia tidak mau membebani keluarga untuk mencari solusinya, sehingga terkadang Mei Rong lebih memilih untuk berbagi dengan relawan Tzu Chi yang dianggap sebagai teman se-Dharma. “Kadang-kadang saat kita ada kendala, siapa yang bisa kita ajak sharing? Ya ini Shixiong-Shijie se-Dharma ini,” ungkapnya tersenyum. Mei Rong pun menganggap Tzu Chi adalah keluarga kedua baginya.

Selain bersumbangsih di Tzu Chi membantu orang lain, Mei Rong juga makin mendalami ajaran Jing Si yang dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Semakin menyelami semakin memahami semangat dan tekad Master Cheng Yen dalam menebarkan cinta kasih. Tekad dan semangat itulah yang diwarisi oleh Mei Rong, sehingga membuatnya berkomitmen untuk terus berjalan mengikuti jejak Master Cheng Yen. “Bukan Tzu Chi yang memerlukan kita, tapi kita yang memerlukan Tzu Chi,” tukasnya.

Bagi Mei Rong, Tzu Chi merupakan tempat yang tepat dalam pelatihan diri. Dari tempat inilah ia mendapatkan banyak perubahan positif dalam dirinya, sehingga ia pun mengaku tidak pernah memiliki niat untuk berhenti berkegiatan di ladang berkah ini. “Inilah satu tempat yang benar-benar kita bisa memahami pendidikan kehidupan, pendidikan jiwa,” ungkapnya mengakhiri pembicaraan.

Kerisauan dalam kehidupan manusia disebabkan dan bersumber pada tiga racun dunia, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -