Henking Wargana: Relawan Tzu Chi Bandung
Menebar Cinta Kasih, Menggarap Ladang Berkah

“Bagi saya sekarang, prioritasnya adalah: berapa amal yang bisa dikumpulkan, berapa amal ibadah dan karma baik yang bisa dilakukan dalam hidup ini.”
*****
Menjadi Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Bandung bukanlah hal yang ringan. Jabatan ini membawa tanggung jawab besar, karena tidak hanya menyangkut kelangsungan organisasi, tetapi juga menyentuh kehidupan banyak orang yang berharap pada uluran kasih sayang. Namun bagi Henking Wargana, pria muda yang dikenal penuh energi dan semangat, amanah itu bukan beban. Ia menyambutnya sebagai sebuah anugerah, sebuah ladang berkah yang harus digarap dengan sepenuh hati.
“Dipercaya sebagai wakil ketua, ini memang tidak mudah. Tapi saya pribadi tidak merasa terbebani, saya melihatnya sebagai kesempatan. Kesempatan untuk berbuat baik lebih banyak, untuk menjangkau lebih luas, dan untuk melatih diri dalam memberi tanpa pamrih,” ujar Henking dengan nada suara yang penuh keyakinan.
Henking meyakini bahwa semakin besar tanggung jawab, semakin besar pula godaan dan tantangan yang datang. Namun, ia memilih untuk tidak menghindar dari hal-hal itu. Sebaliknya, ia menjadikannya sebagai bagian dari proses spiritual, jalan pembelajaran untuk menumbuhkan kebijaksanaan dan keteguhan hati.
“Godaan itu banyak, apalagi kalau sudah menyangkut waktu, tenaga, dan bahkan ego. Tapi saya belajar bahwa semakin besar godaan, cobaan, tantangan, bebannya itu berarti ladang berkahnya makin besar. Jadi justru harus dijalani, digarap, jangan ditinggalkan. Kalau ada komentar negatif atau persepsi yang salah dari orang lain, saya memilih untuk tidak mengambil pusing. Fokus saya adalah pada ladang berkah ini,” lanjutnya.
Jodoh Baik yang Tak Direncanakan
Jalinan jodoh antara Henking dan Tzu Chi bermula dari sebuah pertemuan yang tak disengaja namun membawa perubahan besar. Awalnya, Henking diajak oleh seorang teman ibunya untuk menghadiri sebuah acara bazar Pekan Amal Tzu Chi di Jakarta. Pada waktu itu, ia sama sekali tidak menyangka bahwa langkah kecil itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
“Saya dikenalkan oleh teman ibu saya. Lalu dia mengajak saya ikut ke Jakarta untuk menghadiri bazar Tzu Chi. Jujur, waktu itu saya datang tanpa ekspektasi apa pun. Saya hanya berpikir ini mungkin seperti kegiatan sosial lainnya. Tapi ternyata dari situ, saya merasa ada jodoh baik yang menyambut saya,” kenangnya.

Melalui Tzu Chi, Henking Wargana belajar arti memberi dengan budaya humanis dimana antara relawan dan penerima bantuan bisa saling menghormati.
Henking mengaku bahwa sebelum mengenal Tzu Chi, ia sudah cukup familiar dengan berbagai lembaga sosial lainnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari cara Tzu Chi bergerak. Ia merasakan bahwa kegiatan sosial yang dilakukan Tzu Chi tidak sematamata untuk pencitraan, melainkan benar-benar berakar dari niat tulus untuk melatih diri dan menebar kebaikan.
“Yayasan sosial itu banyak. Tapi ketika saya mengenal Tzu Chi lebih dalam, saya melihat bedanya jelas. Di sini, yang utama bukan soal reputasi atau siapa yang paling hebat. Fokusnya adalah melatih diri sendiri, menebar kasih di masyarakat, dan semua itu diniatkan sebagai amal ibadah, sebagai karma baik untuk diri kita sendiri. Tzu Chi itu ladang berkah, dan anehnya, di sini yang memberi justru merasa bersyukur,” ungkapnya.
Budaya Humanis yang Mengubah Perspektif
Apa yang paling membekas dalam hati Henking sejak bergabung dengan Tzu Chi adalah budaya humanis yang menjadi landasan gerakan ini. Di dalam Tzu Chi, relasi antara pemberi dan penerima bantuan tidak dibangun dengan berjarak. Sebaliknya, semua dipandang setara. Justru relawanlah yang belajar rendah hati di hadapan para penerima bantuan.
“Di banyak tempat, orang yang membantu sering kali ditempatkan lebih tinggi. Tapi di Tzu Chi, kita justru belajar merendahkan hati. Kita bahkan merasa berterima kasih karena diberi kesempatan untuk membantu. Kita tidak berada ‘di atas’, tapi sejajar, bahkan sering merasa bahwa kita lebih banyak belajar dari mereka yang kita bantu,” kata Henking dengan suara lirih namun mantap.
Prinsip ini semakin memperkuat keyakinannya untuk terus berkiprah di Tzu Chi. Ia merasa tidak ada tempat lain yang lebih cocok untuk menumbuhkan makna hidup dan menjadi pribadi yang lebih berguna.
“Tidak ada penyesalan sama sekali setelah saya terjun di sini. Justru saya yakin, inilah tugas manusia: menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Dan Tzu Chi adalah tempat paling tepat yang saya temukan untuk menjalani itu,” ujarnya penuh rasa syukur.
Makna Baru tentang Kebahagiaan
Dalam perjalanannya mengikuti berbagai misi Tzu Chi melalui kegiatan kemanusiaan, bantuan sosial, hingga tanggap bencana, Henking merasakan makna baru tentang kebahagiaan. Bukan lagi kebahagiaan yang bersifat pribadi dan sementara, melainkan yang tumbuh dari rasa empati, kebersamaan, dan kedekatan hati dengan sesama.

Di hadapan warga Bandung, Henking Wargana menjelaskan tentang Program Renovasi 500 Rumah Tidak Layak Huni yang sedang berlangsung di beberapa wilayah di Bandung.
“Dulu saya pikir kebahagiaan itu soal pencapaian pribadi. Tapi ternyata, kebahagiaan sejati itu muncul saat kita hadir untuk orang lain. Saat kita bisa menyatu dalam kebersamaan, menyentuh hati mereka yang sedang kesulitan, itu kebahagiaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hanya bisa dirasakan,” katanya.
Melalui proses ini, Henking juga menyadari bahwa jalan kebajikan adalah proses melatih diri secara terus-menerus. Bukan hanya untuk membantu orang lain, tetapi yang lebih penting adalah untuk membentuk diri menjadi pribadi yang lebih baik.
“Saya banyak belajar dari semua ini. Dulu saya pikir saya sudah cukup paham orang lain. Tapi ternyata belum. Sekarang saya lebih bisa mendengar, lebih bisa rendah hati, lebih sabar, dan lebih bisa menerima apa adanya. Saya merasa diri saya terus berubah, terus ditempa untuk jadi lebih baik,” lanjutnya.
Ketika Hidup Menjadi Pilihan yang Sadar
Perjalanan spiritual Henking juga semakin dalam setelah dua kali mengalami situasi hidup dan mati. Dalam dua momen itulah ia menyadari betapa rapuhnya kehidupan. Sejak saat itu, ia membuat pilihan bahwa, hidup ini akan dijalani sepenuhnya untuk berbuat baik dan mengumpulkan amal kebaikan.
“Setelah nyaris meninggal dua kali, cara pandang saya berubah. Saya sadar bahwa hidup itu tidak abadi. Kapan pun bisa selesai. Maka dari itu, saya ingin menggunakan setiap kesempatan untuk menggarap ladang berkah. Waktu yang ada terlalu berharga kalau hanya dipakai untuk hal-hal yang sia-sia,” katanya.
Kehidupan yang dijalaninya kini terasa lebih penuh makna. Ia merasa bersyukur dikelilingi oleh keluarga besar Tzu Chi yang penuh semangat dan cinta kasih. Di antara para relawan, komite, dan sahabat seperjalanan, ia menemukan tempatnya.
“Tzu Chi bukan sekadar organisasi sosial. Ini keluarga besar yang membuat saya merasa pulang. Teman-teman di sini punya semangat yang sama. Jadi ketika saya berada di antara mereka, saya merasa lebih mudah, lebih ringan. Ini passion saya sekarang: berbuat baik, membantu sesama, dan memanfaatkan hidup untuk sesuatu yang berarti,” pungkasnya.
Penulis: Penulis: Rizki Hermadinata (Tzu Chi Bandung)
Fotografer: M. Dayar (Tzu Chi Bandung)







Sitemap