Hj. Richtiarty Superani
Membangkitkan Welas Asih Melalui Kebijaksanaan

   
 
Marhaban ya Ramadhan…

Bulan ini adalah bulan suci bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Bagi umatnya, di bulan suci inilah saatnya kita menyucikan diri dengan berpuasa dan menuju kemenangan di Hari Raya Idul Fitri. Berpuasa bukan berarti segala aktivitas kita terhenti dan tidak melakukan apapun, namun kita bisa melakukan kegiatan yang lebih bermakna sambil menjalankan puasa.
 
  
Hj. Richtiarty Superani (55), atau relawan Tzu Chi biasa memanggilnya Etty Shijie. Ia adalah salah satu relawan yang beragama Islam yang tergabung di He Qi Timur dan bergerak di bagian amal sosial. Aktivitas dalam berbagai kegiatan Tzu Chi sama sekali tidak mengganggunya di dalam menjalankan ibadah puasa. Di lingkungan relawan Tzu Chi, sosoknya sangat menonjol dan mudah dikenali. Itu dikarenakan penutup kepala (jilbab) yang ia kenakan sebagai seorang hajjah, membedakannya dari relawan-relawan lainnya. Tapi perbedaan itu tidak membuatnya merasa minder dan asing. Ia merasa inilah keanekaragaman suku dan agama yang digabungkan dalam satu wadah sosial yang bermisi mulia. “Saya merasa berjodoh dengan Tzu Chi dan teman-teman di sini yang merupakan perpanjangan tangan Allah untuk membantu mereka yang membutuhkan uluran cinta kasih,” tuturnya.

Etty Shijie adalah anak kedua dari 10 bersaudara. Ia lahir dan besar di Jakarta setelah orangtuanya hijrah dari kota Palembang. Pada masa sekolah ia termasuk anak yang periang dan tomboy. Memasuki masa kuliah, ia sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi di Universitas Indonesia, namun karena sesuatu hal ia harus berhenti lalu melanjutkan dengan bekerja. Melanjutkan pendidikannya yang sempat terhenti, ia kemudian menjalani pendidikan Akademi Sekretaris dengan jenjang S1 dan berlanjut hingga S2 jurusan Industri Kecil Menengah yang kesemuanya itu digunakan untuk menunjang pekerjaannya. Menurutnya ia adalah seorang yang sangat setia, termasuk dalam hal pekerjaan, dari awal hingga akhir pensiunnya ia habiskan untuk berkarier di perusahaan bank pemerintah terkemuka di Jakarta. Ia memulai kehidupan berumah tangga di usia 26 tahun dan dikaruniai 3 orang anak yang sudah tumbuh dewasa sekarang. Kehidupan rumah tangganya yang cukup harmonis membuatnya sangat bahagia. Walaupun menjalani kehidupan dengan sederhana namun ia sangat bersyukur dengan apa yang dimilikinya saat ini. Memasuki masa pensiun di usia 53 tahun, ia mulai memikirkan kegiatan apa yang akan ia jalani di masa tuanya. Jodoh dengan Tzu Chi-lah yang akhirnya membuat ia cinta dengan segala kegiatan yang ia jalani. Tzu Chi telah membuat hari-hari yang ia lewati begitu indah dan bermakna.
  
Selama bergabung dalam Tzu Chi, Etty sering aktif mendampingi pasien penanganan khusus yang membutuhkan bantuan dan penghiburan dalam kondisi sakitnya.
  
Bersyukur Adanya Dukungan dari Keluarga
Awal ketertarikannya mengikuti kegiatan Tzu Chi karena melihat seorang teman yang sudah menjadi relawan Tzu Chi sedang mengikuti kegiatan pelestarian lingkungan. Dalam kegiatan itu temannya mengumpulkan sampah-sampah yang dapat didaur ulang kembali. Menurutnya, memungut sampah adalah suatu perbuatan yang sangat mulia. “Hanya orang yang sangat rendah hati yang mau memungut sampah, apalagi sampah-sampah itu dikumpulkan untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Saya sungguh sangat terharu,” ucapnya. Setelah itu, dengan ditemani dua orang temannya, ia pun mengikuti sosialisasi calon relawan. “Awalnya saya merasa takut, yang saya lihat ini yayasan Buddha, sementara saya beragama Islam, apa mungkin saya bisa bergabung di yayasan ini? Lalu di sana dijelaskan, Yayasan Buddha Tzu Chi adalah yayasan yang bergerak di bidang sosial dan lintas agama, dan yang memprakarsai yayasan ini adalah Master Cheng Yen yang beragama Buddha,” ungkapnya lagi. Memahami segala penjelasan membuatnya menjadi yakin melangkahkan kakinya untuk ikut bergabung.
  
 
Etty turut merasakan kebahagiaan karena dapat membantu sesama melalui Tzu Chi. Meski ini adalah yayasan Buddha, Etty memandangnya sebagai perpanjangan tangan Allah untuk membantu orang yang membutuhkan.
 
 

“Saya bersyukur karena suami dan anak-anak mendukung apa yang saya kerjakan. Saya pernah mengajak anak saya ikut menemani saya dalam kegiatan. Saat itu saya mengajaknya ke daerah yang cukup terpencil dan kumuh, di sana banyak preman-preman yang memperhatikan kita. Lalu ada kejadian kunci mobil yang dibawa anak saya jatuh dan hilang. Anak saya cukup panik dan mencarinya. Di saat saya sendirian, beberapa preman itu menghampiri saya dan menanyakan. Beruntung saat itu saya mengenakan seragam Tzu Chi, saya menjelaskan bahwa saya dari Yayasan Buddha Tzu Chi datang  untuk memberikan bantuan ke salah satu penduduk di sini. Setelah mendengar penjelasan saya, preman-preman itu langsung mengerahkan teman-temannya untuk membantu mencari kunci mobil yang hilang. Malah saya dipinjamkan mukena untuk shalat di mesjid dekat sana. Saat itu yang ada di dalam hati saya hanya satu kata yaitu ‘bersyukur’. Karena saya menjalankan ini dengan niat dan tujuan yang tulus, akhirnya bisa menggerakkan hati mereka,” lanjutnya, ”Setelah pulang, anak saya menceritakan ke ayah, adik, dan teman-temannya. Dia bilang, ‘Kok ada ya yang tinggal di tempat kaya gitu?’ (sebuah tempat yang hanya berdinding tripleks rapuh dan berada di kolong tempat tinggal orang lain dan sangat sempit –red). Pengalaman itulah yang berkesan pada anak saya saat mengikuti kegiatan yang saya jalankan.”

Di awal keikutsertaannya di Tzu Chi, keluarga dan saudaranya sempat mempertanyakan apakah mengikuti kegiatan yayasan Buddha akan dapat mengubah iman seseorang? Etty menjawab, “Saya dengan sangat yakin menjelaskan kepada mereka bahwa setiap individu berhak untuk meyakini suatu agama dan semua agama mengajarkan hal yang sama yaitu cinta kasih dan saling menolong sesama umat manusia. Jadi mengikuti kegiatan sosial dimana pun tidak akan menggoyahkan iman dan keyakinan saya.”
  
Ketertarikan Etty bergabung dengan Tzu Chi karena diajak temannya untuk menjalankan daur ulang. Menurutnya, mengumpulkan sampah daur ulang merupakan latihan kerendahan hati.
  
Makna Penting di Balik Setiap Kejadian
Tanpa terasa keikutsertaannya di kegiatan Tzu Chi telah berjalan selama kurang lebih dua tahun sejak ia bergabung di dalam tim amal sosial. “Semakin saya menjalani setiap kasus yang diberikan ke saya, semakin saya tertarik untuk menangani kasus-kasus yang lain. Ini sangat memberikan pelajaran penting di dalam kehidupan saya. Banyak perubahan dari diri saya setelah saya mengikuti berbagai kegiatan. Sungguh pelajaran yang sangat berharga,” ungkapnya jujur. Diakui dirinya yang dulu adalah tidak sabar, selalu merasa kekurangan dan sering merasa tidak puas. Dari setiap kasus inilah ia banyak mendapatkan pelajaran yang membuat dirinya lebih bisa menata hati dan pikiran, perasaan bersyukur dan ikhlas mulai timbul di dalam hatinya. “Pernah ada suatu kasus (pasien pengobatan khusus –red), seorang bapak yang memohon-mohon sambil menangis di hadapan saya karena tidak bisa membayar biaya melahirkan istrinya yang sedang di rumah sakit. Hati saya sangat trenyuh, saya sangat sedih karena tidak bisa membantu. Saat itu saya hanya bisa menghibur dan memberikan support. Pelajaran penting yang saya dapat dari kasus ini adalah membantu orang lain tidak harus lewat materi, dengan dukungan, support dan memberikan perhatian pun kita bisa membantu mereka melewati penderitaan. Ada juga kejadian yang membuat saya tersenyum setiap mengingatnya, saya pernah dipanggil ‘Bunda Suci’, mungkin mereka mendengar nama Yayasan Buddha Tzu Chi, mereka mengira namanya Yayasan Bunda Suci, jadilah setiap kunjungan kasih, mereka memanggil saya Bunda Suci,” ceritanya sambil tersenyum.
  
 
Etty meyakini bahwa kehidupan akan menjadi bermakna bila dapat bermanfaat untuk orang lain. Ia terus menjalani pelatihan diri dan mengembangkan kebijaksanaan di dalam dunia Tzu Chi.
 
 

“Membangkitkan welas asih melalui kebijaksanaan, kata-kata itu yang selalu saya ingat dan menjadi pedoman saya di dalam menjalani berbagai kasus di Tzu Chi. Di dalam memberikan bantuan kita pun harus bisa memberikan pelajaran untuk mereka. Mereka juga bisa ikut berbagi dan  membantu orang lain. Bukan dengan memberikan bantuan membuat mereka menjadi tidak baik atau malah menjadi terlena. Ada yang berpikir, kita membantu adalah kewajiban dan mereka yang dibantu adalah sudah seharusnya. Pemikiran seperti itu yang harus kita luruskan agar mereka bisa lebih memahami,” Etty membeberkan.

Setiap makna di balik kejadian menjadi inspirasi Etty dalam proses perjalanan hidup dimana ia belajar untuk lebih bijaksana dalam pelatihan jiwa, pola pikir, dan perilakunya. Kata perenungan Master Cheng Yen yang ia teladani adalah “kehidupan kita bermakna apabila kita dapat bermanfaat untuk orang lain. Dengan melihat penderitaan orang lain barulah mengetahui kebahagiaan diri sendiri.” Dengan berpedoman inilah, ia siap melangkahkan kaki lebih jauh lagi di jalan Boddhisatwa. Suku, ras, dan agama bukanlah penghalang yang besar untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain. Semoga sharing ini dapat menginspirasi lebih banyak lagi umat beragama lain untuk bersama-sama bergandengan tangan menyebarluaskan cinta kasih di seluruh penjuru bumi.

Seperti dituturkan kepada Eileen
Foto: Effendy & Kurniawan
 
 
Semua manusia berkeinginan untuk "memiliki", padahal "memiliki" adalah sumber dari kerisauan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -