Jie Tju Foeng: Relawan Tzu Chi Jakarta
Jawaban atas Pencarian Makna Hidup

“Di usia 50 tahun banyak orang mulai berpikir untuk memperlambat langkah. Tapi tidak bagi Jie Tju Foeng yang akrab disapa Cucu. Di saat kebanyakan orang menantikan masa pensiun dengan tenang, ia justru memulai perjalanan baru menjadi relawan Tzu Chi.”
*****
Sebelum menjadi relawan Tzu Chi, Cucu menjalani hampir dua dekade hidupnya di industri garmen. Ia pernah bekerja di berbagai kota seperti Ciputat, Bandung, Bekasi, Semarang dan meniti karier dari bagian purchasing hingga mencapai puncaknya sebagai General Manager di perusahaan ekspor garmen ternama yang melayani merekmerek besar seperti Quiksilver, O’Neill, dan Adidas.
“Saya dulu wanita karier banget. Pergi pagi, pulang malam sampai tak pernah lihat matahari, workaholic, sering tugas ke luar negeri sendirian,” kenang Cucu.
Latar belakang pendidikan di bidang akuntansi sempat membawanya menjadi staf accounting di pabrik kancing dan benang. Tapi takdir membawanya pada dunia pemasaran. Ketika seorang karyawan mendadak mengundurkan diri, Cucu yang belum lama bekerja dipercaya untuk menangani divisi marketing. Ia terima tantangan itu dengan semangat belajar.
“Langsung di meja itu setumpuk file buyer. Jadi kerja saya itu pabrik kan jual, ketemunya pembeli-pembeli dari luar negeri yang mau bikin jaket seperti ini atau bikin kemeja seperti ini, bahannya ini, modelnya seperti ini, harganya berapa? Nah saya yang kasih harga,” jelas Cucu.
Pengalamannya tak hanya membentuk insting bisnis yang tajam, tapi juga kepekaan terhadap detail. “Saya kalau pegang bahan, saya bisa tahu ini bahan apa, terbuat dari berapa persen katun, berapa persen polyester, berapa persen elastane. Padahal saya tak bisa menjahit, tapi kan saya harus ngerti,” katanya.
Cucu menyebutkan bagaimana detail kecil dalam desain bisa sangat mempengaruhi biaya produksi. Misal sebuah kaos dengan kantong sederhana yang hanya ditempel, tentu lebih murah dibanding model yang menggunakan kantong dengan pelipit. Begitu pula dengan model kerah, kerah lipat biasa relatif murah, sedang kerah hwanki yang lebih rumit, harganya jelas lebih mahal. Keahliannya membaca bahan dan memahami proses produksi menjadikannya sosok penting dalam menentukan harga jual produk.
Karier cemerlang tak membuat Cucu lupa pada keinginan yang sejak lama tertanam yakni terjun ke bidang sosial untuk memberi makna hidup yang lebih dalam. Selama bekerja ia merasa terlalu sibuk dan hanya mampu membantu secara materi. Karena itu ia putuskan di usia 50 tahun nanti, ia berhenti kerja agar bisa terjun dalam kegiatan sosial.
Dari Tayangan DAAI TV yang Disukai Ibu
Adapun di rumah, sang ibu gemar menonton DAAI TV. Waktu itu Cucu belum pernah dengar tentang Tzu Chi maupun DAAI TV. Sang ibu beberapa kali mengajaknya menonton agar bisa sambil belajar bahasa Mandarin. Waktu itu responnya biasa saja.
Namun tiap kali pulang, lagi-lagi sang ibu menonton DAAI TV. Ia jadi penasaran. Hari itu tayangannya tentang kegiatan para relawan dengan seragam khas biru putih. Tayangan itu menjadi pemantik yang membakar kembali keinginannya terjun dalam kegiatan sosial.

Cucu menyanyikan sebuah lagu diiringi petikan nada Guzheng yang indah oleh Aron penerima bantuan biaya implan koklea.
Tahun 2013 tepat di usia 50 tahun, Cucu menepati janjinya berhenti kerja profesional dan mencari ladang pengabdian. Sebenarnya sejak menonton DAAI TV itu, Cucu penasaran di mana kantor Tzu Chi, tapi tak terjawab juga.
Sampai suatu ketika Jessica sahabatnya cerita jika ia adalah relawan Tzu Chi. Kaget dan heran Cucu dibuatnya, kenapa tak cerita dari dulu padahal beberapa kali Jessica juga mengajaknya berkegiatan di wihara.
Cucu pun mengikuti kegiatan pertamanya sebagai relawan dalam Gathering Gan En Hu (Penerima Bantuan Tzu Chi) di ITC Mangga Dua. Tugas pertamanya sederhana, memberikan kantong sepatu pada Gan En Hu. Tapi dari sanalah segalanya dimulai.
“Nah ini yang saya cari. Kita lihat sendiri orang-orang yang datang susah dan kita bantu langsung,” ujarnya bersemangat.
Tahun awal menjadi relawan Tzu Chi rupanya tak mudah. Ibunya mendadak sakit. Cucu pun merawatnya selama enam bulan dan kemudian meninggal dunia pada September 2013. Di pertengahan merawat sang ibu itu juga kakaknya yang paling dekat dengannya divonis kanker rahim. Dalam waktu bersamaan, Cucu merawat keduanya bahkan mendampingi sang kakak berobat ke Penang, Malaysia. Juni 2014, sang kakak menghembuskan nafas terakhir di Penang. Dua kehilangan besar ini sangat mengguncangnya.
“Saya selama setahun itu sering menangis di mobil, sendiri,” ungkapnya. Tapi justru di masa duka itulah ajaran Tzu Chi dan ceramah Master Cheng Yen memberi penguatan yang akhirnya membantunya merelakan kepergian orang terkasih.
“Melalui Xun Fa Xiang saya belajar memahami mengenai ketidakkekalan, dan ketidakkemelekatan hingga saya bisa kuat. Saya sudah tidak sedih lagi setelah itu.”
Mengabdi dengan Empati
Sejak kembali aktif pertengahan 2014, Cucu sepenuhnya mencurahkan tenaga, waktu dan perhatiannya di Misi Amal Tzu Chi. Ia terjun langsung untuk survei para penerima bantuan Tzu Chi dan pendampingannya. Ia yang tahu betul bagaimana perasaan kehilangan dan kebingungan, maka ia berusaha hadir sebagai penyejuk dan penyemangat.
Cucu tak menjadi relawan sekadarnya. Dalam menjalankan survei misalnya, ia mendokumentasikan lengkap dengan foto-foto dan menyimpannya dalam satu folder serta mencatat data dan kronologi dengan rapi menggunakan excel.

Cucu mengunjungi Dessy Chandra, penerima bantuan Tzu Chi yang menderita penyakit autoimun langka yang menyebabkan lepuh menyakitkan pada kulit dan selaput lendir.
Bagi Cucu menjadi relawan Tzu Chi sama saja seperti bekerja karena ia bisa berkembang. Di Tzu Chi para relawan bahkan bisa belajar gratis seperti ia yang akhirnya belajar membuat dan mengedit video. llmunya saat bekerja di garmen juga terpakai. Menjadi relawan juga penuh kesibukan, apalagi sejak Tzu Chi Hospital diresmikan, Cucu menjadi relawan pemerhati yang mendampingi pasien dan keluarga pasien.
“Pernah saya temani pasien yang tiba-tiba detak jantungnya berhenti. Saat itu keluarganya bingung. Kami dampingi dan ajak samasama berdoa sampai dokter berhasil memacu jantungnya kembali berdenyut. Keluarga pasien sangat berterima kasih dan saat kami buatkan teh hangat, suasana jadi lebih tenang.”
Keteladanan Cucu mendampingi pasien membuatnya dipercaya menjadi pendamping para relawan pemerhati. Sejak Februari 2024, Cucu juga dipercaya menjadi Ketua Misi Amal di komunitas He Qi Pusat. Saat ini tercatat ada 130 Gan En Hu di komunitasnya serta 60 Anak Teratai yang dibantu biaya pendidikan, dan dibina dengan kasih dan budaya humanis.
Menyirami Batin dengan Air Dharma
Tiga tahun terakhir, Cucu memiliki kebiasaan yang tak pernah ia lewatkan setiap hari, yaitu mendengar ceramah Master Cheng Yen yang penuh inspirasi dan pencerahan yang menyirami jiwa dan pikirannya.
Melalui ceramah Master Cheng Yen, Cucu belajar lebih jeli melihat ke dalam dirinya sendiri, merenungkan kekurangan, dan membuka diri terhadap proses pembelajaran yang tak berkesudahan.
“Kadang kita ketemu orang yang kurang menyenangkan, tapi kata Master Cheng Yen, bisa jadi mereka adalah guru kita. Jangan sampai kita seperti mereka,” tuturnya bijak.
Cucu juga memulai sesuatu yang baru,, menjual sayur matang vegetarian. Bukan demi uang, tapi demi menyebarkan gaya hidup yang selaras dengan cinta lingkungan dan kasih terhadap semua makhluk hidup.
Sejak menjadi relawan Tzu Chi hingga kini, tak pernah terbersit olehnya untuk keluar dari Tzu Chi. “Buat saya enggak ada yang seperti Tzu Chi. Saya sudah berikrar, pokoknya sampai napas terakhir saya ikut Tzu Chi,” tuturnya mantap.
Penulis: Khusnul Khotimah
Fotografer: Arimami Suryo A, Khusnul Khotimah